WELCOME

selamat datang wahai para pencari tuhan, kami akan membantu anda memasuki dunia yang penuh warna...

Sabtu, 02 Juni 2012

Perkembangan Filsafat Pendidikan Islam dan Tokoh-tokohya


BAB I
PENDAHULUAN


Pada awalnya filsafat disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) sebab filsafat seakan-akan mampu menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu dan segala hal, baik yang berhubungan dengan alam semesta, maupun manusia dengan segala problematika dan kehidupannya. Namun seiring dengan perubahan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan berbagai disiplin ilmu baru dengan masing-masing spesialisasinya, filsafat seakan-akan telah berubah fungsi dan perannya.
Dewasa ini, peran dan fungsi filsafat mengalami perkembangan dalam posisi approach (pendekatan). Filsafat, dengan cara kerjanya yang bersifat sistematis, universal, dan radikal, yang mengupas sesuatu secara mendalam ternyata sangat relevan dengan problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat kembali antara berbagai macam disiplin ilmu yang terpisah kaitannya satu sama lain.
Dengan demikian, dengan menggunakan analisa filsafat, berbagai macam ilmu yang berkembang sekarang ini, akan menemukan kembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan masyarakat dan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan hidup manusia.
Filsafat pendidikan telah mengalami perubahan dan kemajuan yang cukup besar. Dulu filosof sebagai penguasa tunggal berwenang dalam merumuskan suatu filsafat tentang pendidikan yang sistematis sebagaimana idealisme, realisme, dan pragmatisme untuk menyimpulkan prinsip-prinsip umum filosofis tentang tujuan pendidikan. Namun sekarang hal itu tidak dapat dilakukan secara sepihak, sebab telah terdapat keragaman keahlian yang dimiliki masyarakat, ini berarti harus ada koherensi antara filosof dan perkembangan pemikiran dan kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan apa yang terjadi sekarang, maka kami mencoba untuk merumuskan kembali perkembangan filsafat pendidikan Islam serta tokoh yang ada di dalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan Filsafat Pendidikan Islam dan Tokoh-tokohya

A.    Periode Awal Perkembangan Islam

Periode ini meliputi masa kehidupan nabi Muhammad SAW. Dan masa pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin. Periode awal perkembangan Islam ini dibedakan dari periode berikutnya dengan pertimbangan bahwa selama masa kekuasaan Nabi dan para penggantinya (khulafa’ al-Rasyidin), kekuasaan Islam masih berpusat di wilayah Arab. Dan mengingat masa antara kehidupan Nabi SAW dan masa penggantinya relatif hanya sekitar 29 tahun (Nabi wafat tahun 632 M dan Ali RA. Wafat tahun 661 M).
Seperti diketahui dari latar belakang sejarah, bahwa Islam bukan diturunkan diwilayah terasing, melainkan diwilayah yang terletak pada lalu-lintas dagang yang pelabuhan transito (penghubung) antara dua kekuatan adikuasa yang dominan ketika itu, yakni Persia di Timur dan Romawi di Barat. Namun demikian, kondisi masyarakat Arab yang memiliki mobilitas yang tinggi itu secara sosial politik masih tergolong sebagai masyarakat yang relatif primitif. Latar belakang kehidupan masyarakat nomaden masih merupakan ciri umum kehidupan masyarakat Arab sekitar kota Mekah dan Madinah. Dengan demikian kedatangan Islam membawa suatu revolusi besar dalam mengubah tatanan sosial politik dan sosial budaya. Masyarakat nomaden yang hidup berpuak-puak berubah menjadi masyarakat berpemerintahan, dan dari masyarakat penyembah berhala menjadi suatu ummah yang diikat suatu akidah yang sama. Masyarakat Arab dan latar belakang kehidupannya, setelah kedatangan Islam ternyata mampu menjadi masyarakat yang berperadaban.
Padahal sebelum kedatangan Islam masyarakat Arab adalah terdiri atas masyarakat pribumi yang buta aksara, meskipun kemampuan hafalan mereka rata-rata mengagumkan. Waktu kedatangan Islam, menurut Ibn Khaldun baru ada 17 orang Quraisy yang pandai tulis baca, ditambah empat orang wanita. Ubaidah Ibn Jarrah, Thalhah Ibn Zubair, Yazid Ibn Abi Sufyan, Abu Huzaifah Ibn ‘Utbah, Khatib Ibn Amr, Abu Samah Ibn Abd al-Asad al-Mahzumi, Aban Ibn Sa’id Ibn Ash dan saudaranya Khalid, Khawaitib Ibn Abd al-‘Azy al-‘Amiry, Abu Sufyan Ibn Harb, Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, Juhaimah Ibn al-Shalah dan al-‘Alla’Ibn al-Hadhramy. Adapun yang perempuan adalah Hafsah Bint ‘Umar, ‘Aisyah hanya bisa baca tapi tak bisa menulis, demikian pula Ummu Salamah.
Pemikiran mengenai falsafat pendidikan pada periode awal ini merupakan perwujudan dari kandungan ayat-ayat al-Quran dan hadits, yang keseluruhannya membentuk kerangka umum ideologi Islam. Dengan kata lain, kata Hasan Langgulung, bahwa pemikiran pendidikan Islam dilihat dari segi al-Quran dan hadits, tidaklah muncul sebagai pemikiran yang terputus, terlepas hubungannya dengan masyarakat seperti tang digambarkan oleh Islam. Pemikiran itu berada dalam kerangka paradigma umum bagi masyarakat seperti yang dikehendaki oleh Islam. Dengan demikian pemikiran mengenai pendidikan yang kita lihat dalam al-Quran dan hadits mendapatkan nilai ilmiahnya.[1]
Di periode kehidupan Rasul S.A.W. ini tampaknya mulai terbentuk pemikiran pendidikan yang bersumber dari al-Quran dan hadits secara murni. Jadi hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan berbentuk pelaksanaan ajaran al-Quran yang diteladani oleh masyarakat dari sikap dan perilaku hidup Nabi SAW.
Memang wilayah kekuasaan Islam, sejak awal perkembangannya berada diantara dua kerajaan besar, yaitu Parsi dan Romawi Timur. Dan sejak zaman Rasul SAW. Pun upaya untuk mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan itu sudah dilakukan, terutama dalam kegiatan perdagangan. Namun demikian, dalam kaitannya dengan perkembangan Islam itu sendiri, kegiatan Rasul SAW.baru terbatas pada kegiatan dakwah”mengajak menyerukan”agar para pemimpin kerajaan tersebut menerima Islam. Usaha ini misalnya terlihat dari bukti surat-surat yang dikirimkan Rasul SAW. Kepada Kaisar Heraclius (Kaisar Romawi Timur), Muqauqis (Gubernur Romawi Timur di Mesir), Kisra (Raja Persia), al-Najasyi (Raja Ethiopia), al-Mundzir Ibn Sawi (Raja Bahrain), Hudzah Ibn Ali (Raja Yamamah), dan kepada al-Harits Ibn Abi Syammar (Gubernur Romawi di Syam), tetapi hal itu baru terbatas pada misi dakwah ).
Di zaman pemerintahan khulafa’ al-Rasyidin pun, terutama semasa pemerintahan Umar Ibn Khattab, wilayah kekuasaan Islam sudah luas ke luar tanah Arab. Untuk itu diperlukan perangkat tertentu dalam pemerintahan seperti administrasi pemerintahan, sistem keuangan maupun pasukan khusus maupun yang menyangkut hubungan antar wilayah dengan pusat pemerintahan. Tetapi sejauh yang dapat diketahui, perubahan-perubahan yang terjadi belum terlalu banyak, karena perluasan wilayah masih terbatas pada kegiatan dakwah dan bukan dengan tujuan menjajah.

B.     Periode Klasik
Periode klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan khulafa al-Rasyidin hingga awal masa imperialis barat. Rentang waktu tersebut meliputi awal kekuasaan Bani Ummayah zaman keemasan Islam dan kemunduran kekuasaan Islam secara politis hingga ke awal abad XIX.  Beberapa pertimbangan yang dijadikan dasar pembagian.
Faktor pertama, sistem pemerintahan. Seperti diketahui, sistem pemerintahan periode Rasul dan para Khalifah yang empat berbeda dengan sistem pemerintahan di periode-periode sesudahnya. Yang jelas, memasuki era kekuasaan Bani Umayyah, sistem pemerintahan Islam lebih bersifat monarki absolut (kerajaan). Pengangkatan Khalifah sudah tidak didasarkan pada prinsip pemilihan dan petunjukkan atas dasar baiat, melainkan didasarkan keturunan. Sistem khalifah berganti menjadi sistem kerajaan. Adanya perubahan sistem dalam pemerintahan ini mempengaruhi pula berbagai perubahan yang menyangkut kepentingan kepemerintahan seperti kelembagaan, peristilahan dan lainnya. Untuk itu diperlukan perangkat khusus yang diperkirakan dapat menunjang penyaelengaraan sistem tersebut.
Faktor kedua, yaitu luas wilayah. Sejak periode pemerintahan Umar Ibn Khattab (634-644 M), wilayah kekuasaan Islam sudah meluas ke luar jazirah Arab hingga ke Mesir dan Irak. Tapi baru di zaman kekuasaan Bani Umayyah Timur (660-749 M.), pusat pemerintahan dipindahkan ke Damaskus. Dan dalam kelanjutan dinasti ini, kemudian ketika menguasai Andalusia (755-1031 M.) pusat pemerintahan berada di Granada. Selanjutnya, di Timur kekuasaan Bani Umayyah diambil alih oleh Bani Abbas (749-1258 M.) dengan ibukotanya Baghdad.
Adapun faktor ketiga, yaitu kemajuan yang dicapai dalam berbagai bidang seperti politik, pemerintahan, ilmu pengetahuan, sastra, arsitektur dan ekonomi memungkinkan negera-negera Islam untuk mengembangkan diri. Berbagai kelembagaan didirikan sejarah dengan kebutuhan dan tuntutan kemajuan yang dicapai. Dan kelembagaan itu sendiri pada dasarnya lahir dari hasil pemikiran para ahli bidangnya, terutama yang berkaitan dengan pendidikan.
Kemudian faktor keempat, yaitu hubungan antar bangsa. Di zaman klasik ini, terutama melalui kekuasaan Bani Abbas di Baghdad, kerajaan Islam sudah menjadi negara adikuasai. Secara politis memang kerajaan-kerajaan Islam merupakan kerajaan besar. Selain itu wilayah kerajaan ini menjadi pusat peradaban dunia ketika itu. Di wilayah Timur Baghdad dikenal sebagai kota Metropolitan, pusat peradaban dunia di Timur. Dan status yang sama, untuk wilayah Barat (Eropa) diwakili oleh Granada di Andalusia.
Dari dasar pertimbangan tersebut, maka diketahui bahwa di awal periode klasik terlihat munculnya sejumlah pemikiran mengenai pendidikan. Pemikiran mengenai pendidikan tersebut tampak disesuaikan dengan kepentingan dan tempat serta waktu. Beberapa karya ilmuan Muslim pada periode klasik yang karya-karyanya secara langsung memuat pembahasan mengenai pendidikan yaitu:
1.      Ibn Qutaibah (213-276 H.)
Nama lengkap Ibn Qutaibah adalah Abu Muhammad Abdullah Ibn Muslim Qutaibah al-Dainuri. Ia dilahirkan di Kufah tahun 213 H. Dan meninggal dalam usia 63 tahun (276 H.). Walaupun sebagai seorang keturunan Parsi, sebagian besar usianya dihabiskan di Baghdad. Di kota ini ia belajar berbagai disiplin ilmu dari sejumlah ulama terkemuka di zamannya seperti Abu al-Fadl al-Rayyani, Ishaq Ibn Rahawiyah al-Mahruzi al-Nasaiburi dan Abu Hatim. Menurut Imam Sayuti, Ibn Qutaibah dikenal sebagai seorang ilmuan dalam bahasa Arab dan sejarah. Selain itu ia dikenal sebagai ilmuwan yang produktif. karya yang terkenal : al-Ma’ani al-Kabirah, syakl al-Qur’an, Gharib al-Qur’an, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, Fadhl al-Arab, al-Syi’r wa al-Syu’ara; al-Ma’arif, al-Radd ‘ala al Jahimmiyah wa al-Musyibbihah, Imamah wa al-Siyasah, dan ‘Uyun al-Akhbar. Pemikirannya menyangkut tentang masalah pendidikan bagi kaum wanita, ilmu yang bermanfaat dan nilai-nilai bagi yang mengembangkannya
2.      Abu Sa’id Sahnun dan Muhammad Ibn Sahnun
Abu Sa’id Sahnun Ibn Habib al-Tanubi lahir di kairawan sekitar tahun 160 H. Kemudian menuntut ilmu di Mesir, Hijaz dan Syam. Karya ilmuwan ini dibidang pendidikan kurang dikenal. Tetapi ilmuwan yang kemudian lebih dikenal adalah Muhammad Ibn Sahnun al- Tanubi yang juga berasal dari Kairawan. Muhammad Ibn Sahnun lahir tahun 202 H. Ia merupakan pemikir yang mempelopori pembaharuan pendidikan di zaman keemasan Islam.
Muhammad Ibn Sahnun adalah pencetus pemikiran pendidikan yang lepas dari keterkaitannya dengan sastra dan mashab-mashab pemikiran falsafat. Disini terlihat Ibn Sahnun mulai menampak kepemikiran pendidikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mandiri. Buku karanganya mengenai pendidikan berjudul Adab al-Mu’allimin merupakan pembahasan tentang pendidikan pertama kali yang dipisah dari hubungan integralnya dengan ilmu-ilmu keislaman, seperti halnya hasil karya ilmuwan muslim pendahulunya. Dengan demikian muhammad Ibn Sahnun dapat digolongkan menjadi pencetus pemikiran kependidikan islam di zaman klasik.
3.      Ibn Masarrah (269-319)
            Muhammad Ibn Abdillah Ibn Masarrah al-Jabali adalah seorang Muslim Andalusia (spanyol). Ia dilahirkan di Cordova pada tahun 269 H. (883 M), dan meninggal ditempat perkampungan (komunitas Sufi atau Zawiyah) dekat Cordova tahun 319/931 M. Ibn Masarrah dingenal sebagai seorang sufi dan filosof Muslim pertama dibelahan wilayah Islam barat. Namun demikian Ibn masarrah juga menulis pemikirannya mengenai pendidikan dalam bukunya berjudul kitab al-Tabsirat (Buku pengajaran), dan kitab al-Huruf (Lambang-lambang huruf).
            Dalam pemikiran falsafatnya, Ibn masarrah juga menguraikan tentang sifat-sifat  jiwa manusia. Ia berpendapat bahwa secara individual, jiwa manusia merupakan pancaran dari jiwa universal (al-Nafs). Keberadaan jiwa dalam tubuh manusia dikiaskannya sebagai terkungkung  itu, manusia harus membersihkan dirinya secara sepiritual, denga cara mendekatkan diri kepada Tuhan.
4.      Ibn Maskawaih (330-421 H.)
            Abu ali Ibn maskawaih dilahirkan di Ray tahun 330 H/940 M. Karya tulis Ibn maskawaih seluruhnya berjumlah 18 judul, dan kebanyakan berhubungan dengan masak kejiwaan dan akhlak. Slah satu dari karya Ibn Maskawaih yang memuat pemikiran pendidikannya adalah termuat dalam bukunya Tahzib al-Akhlaq (pendidikan Akhlak). Ia juga berpendapat bahwa penulisan sejarah harus didasarkan atas kajian yang bersifat ilmiah dan filosofis.
            Menurut pandanganya, manusia adalah makhluk yang memiliki keistemewaan dari kenyataannya manusia memiliki daya pikir. Berdasarkan daya pikir itu pula manusia dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, serta yang baik dan yang buruk. Dan manusia yang paling sempurna kemanusiannya adalah mereka yang paling benar berfikirnya serta yang paling mulia usaha dan perbuatannya. Selain itu ia berpendapat bahwa untuk menunjukkan kebaikan manusia harus membina kerjasama. Usaha untuk melakukan kebaikan merupakan indikator dari tingkat kesempurnaan dan tujuan dari penciptaan manusia itu sendiri.
5.      Ibn Sina (370-428 H.)
            Abu Ali al-Husein Ibn Abdullah Ibn Sina lahir di Bukhara tahun 370 H/980 M). Ia dianggap sebagai orang yang cerdas, karen adiusia yang sangat muda (17 tahun) Ibn Sina telah dikenal sebagao filosof dan dokter termuka di Bukhara, selain itu Ibn Sina juga dikenal sebagai tokoh yang luar biasa. Kecuali sebagai seorang ilmuwan ia juga dapat melakukan berbagai pekerjaan dengan baik seperti dalam bidang kedokteran, pendidikan, penasehat politik, pengarang dan bahkan menjadi waris ( menteri)
            Sebagi ilmuwan Ibn sina telah berhasil mennyumbangkan buah pemikirannya dalam buku karangannya yang berjumlah 276 buah. Diantara karya besarnya adalah al-Syifa’ berupa ensiklopodi tentang fisika, matematika, logika dan matematika. Kemudian al-Qanun al-Tibb adalah sebuah ensiklopodi kedokteran.
6.      Al-Ghazali (450/1058-505/1111 M.)
            Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali dilahirkan di Thusia di daerah Khurasan (persia), tahun 450H/1058 M. Sejak kecil, al-Gazali dikenal sebagai anak yang sngat senang dengan ilmu pengatahua. Jadi tak mengherankan sejak masa kanak-kanak ia telah belajar kepada sejumlah guru di kota kelahiranya, antara lain Ahmad Ibn muhammad al-Radzikani. Selain itu juga tak segan-segan ia belajar kepada guru yang jauh dari kota kelahirannya. Diantara guru yang terkenal yang pernah jadi gurunya ialah Imam al Juwaini (Imam al-Haramain), sewaktu al_Gazali menuntut ilmu di Nausabur.
            Melihat kemampuan dan kecerdasan al-Gazali, al-Juwaini memberinya gelar “bahrun mughriq” (laut yang menenggelamkan).Al-Gazali baru meninggalkan Naisabur setelah Imam al-Juwaini meninggal dunia tahun 1085 M.(478 H.) Dari Naisabur al-Ghazali menuju baghdad dan menjadi guru besar di universitas yang didirikan Nidham al-Mulk seorang Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai guru besar, ternyata al-Gazali yang kreatif ini sempat mengarang sejumlah buku ilmu pengetahuan, antara lain Al-Basith,Al-Wajiz.Khulashah Ilmi Fiqh, Al-Munqil fi Ilm Al-Jadal, Ma’khaz Al-Kalaf, Lubab Al-Nadzar, Tahsin Al-Ma’akhidz dan Mamadi’ wa Al-Ghayat fi Fan Al-Khalaf.
            Menurut pandangan al-Ghazali, ilmu dapat dilihat dari kedua segi, yaitu ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Dari segi pertama, al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu hissiyah, ilmu aqliyah dan ilmu ladunni. Ilmu hissiyah diperoleh manusia melalui penginderaan (alat dria),sedangkan ilmu aqliyah diperoleh melalui kegiatan berpikir (akal). Sedangkan ilmu ladunni diperoleh langsung dari Allah, tanpa melalui proses penginderaan atau pemikiran (nalar), melainkan melalui hati dalam bentuk ilham.

C.    Periode Modern
            Merujuk kepada pembagian priodisasi sejarah Islam yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Harun Nasution, bahwa periode modern dimulai sejak tahun 1800 M. Menjelang periode modern ini, setelah Bani Abbas dan Bani Ummayah secara politik dapat dilumpuhkan, kekuasaan islam masih dapat dipertahankan. Tiga kerajaan besar yaitu Kerajaan Turki Utsmani (Eropa Timur dan Asia-Afrika), Kerajaan Safawi (Persia) dan kerajaan Mughol (India) masih memegang hegemoni kekuasaan Islam. Namun menjelang abad ke-17 dan awal abad ke-18 kerajaan-kerajaan Islam tersebut, satu persatu dapat dikuasai bangsa-bangsa Eropa (Barat).[2]
            Beberapa pemikir pendidikan yang tersebar di sejumlah kekuasaan Islam tersebut sebagai tokoh yang ada kaitannya dengan perkembangan filsafat pendidikan Islam pada periode modern, seperti:
1.      Rifa’at Badawi Rafi’ al-Thahthawi (1801-1873)
            Al-Thahthawi seorang pemikir pendidikan Mesir, yang dilahirkan dikota Thahtha (Mesir bagian selatan) tahun 1801. Ayahnya masih mempunyai hubungungan keturunan Husein cucu Muhammad SAW. Sebagai anak yang cemerlang, al-Thahthawi kemudian berhasil menamatkan pelajarannya di al-Azhar. Dan setelah tamat berturut-turut iamengembangkan karir kependidikannya sebagai tenaga pengajar di al-Azhar, dan tahun 1824 menjadi iman tentara. Kedudukannya sebagai iman tentara ini pula kemudian yang membawa ia untuk belajar diperancis atas biaya Muhammad Ali[3].
            Selama belajar di perancis al-Thahthawi berusaha melengkapi wawasan ilmiahnya dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan seoerti sejarah, teknik, ilmu bumi, politik dan lain-lain. Selain itu ia juga sempat menerjemahkan sebanyak 12 buku dan risalah, antara lain risalah tentang sejarah Alexander Macedonia, buku-buku mengenai pertambangan, mengenai akhlak dan adat istiadat berbagai bangsa, mengenai ilmu bumi, risalah mengenai teknik, mengenai hak-hak manusia, tentang kesehatan dan sebagainya.
            Adapun ide-ide dan pemikiran kependidikannya ia tulis dalam buku al-Mursyid al-Amin Lil Banati wa al-Banin (pedoman bagi pendidikan putra dan putri). Di dalam buku ini dapat dilihat tentang pemikiran Thahthawi. Ia menulis ide-idenya mengenai pendidikan meliputi:
Pertama, pembagian jenjang pendidikan atas tingkat permulaan, menengan dan pendidikan tinggi sebagai pendidikan akhir. Kedua, pendidikan diperlukan, karena pendidikan merupakan salah satu jalan untuk mencapai kesejahteraan. Ketiga, pendidikan mesti dalaksanakan dan diperuntukkan bagi segala golongan. Makanya tidak ada perbedaan antara pendidikan untuk  anak laki-laki dan anak perempuan. Pemikiran mengenai persamaan antara laki-laki dan pendidikan anak perempuan ini dinilai sebagai mencontoh ide pemikiran Yunani.[4]
  1. Muhammad Abduh (1849-1905)
            Muhammad Abduh dilahirkan tahun 1849 (1266 H.) di salah satu desa di Delta Mesir bagian hilir. Ayahnya adalah seorang petani keturunan Turki yang telah lama menetap di Mesir, dan ibunya keturunan Arab yang memiliki hubungan darah dengan suku Arab asal keturunan khalifah Umar Ibn Khattab. tokoh ini yang memulai membongkar kejumudan umat Islam dengan konsep rasionalitasnya, pemikirannya tentang pendidikan yang disebarkan melalui majalah al-Manar dan al-‘Urwat al-Wusqa menjadi rujukan bagi tokoh pembaharu di dunia Islam. Muhammad Rasyid Ridha meneruskan gagasannya melalui majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar, Kasim Amin dengan bukunya Tahrir al-Mar’ah, Farid Wajdi dengan bukunya Dairat al-Ma’arif, Syeikh Thanthawi Jauhari melalui karangannya al-Taj al-Marshuh bi al-Jawahir al-Qur’an wa al-Ulum. Dan masih banyak lagi tokoh pembaharuan dalam Islam yang mendasarkan pola pikirnya merujuk konsep pemikiran Muhammad Abduh.[5]

3.      Isma’il Raj’i al-Faruqi (1921-1986)
            Al-Faruqi dilahirkan di Yaifa (Palestina) pada 1 Januari 1921. Latar belakang pendidikan al-Faruqi adalah pendidikan Barat. Pendidikan awalnya di College des Feres yang ia selesaikan tahun 1936. Kemudian sarjana mudanya di Amerika University ditamatkannya tahun 1941. Adapun gelar Masterbya dari Indiana University serta Harvard University dalam bidang filsafat. Kemudian gelar dokter diperolehnya dari Indiana University. Selanjutnya selama empat tahun ia menekuni studi keislaman di Univesitas al_Azhar (kairo).
Karir kepegawaian al-Faruqi diawali dari pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat Inggris. Kemudian menjadi Gubernur terakhir Propinsi Galilee (yang tahun 1947 direbut Israel). Hal ini pula yang kemudian mendorong  al-Faruqi hijrah ke Amerika untuk melanjutkan studinya.
Adapun karir akademik al-Faruqi diawali sebagai dosen di McGill University (Kanada) tahun 1959. Selama menjadi dosen, ia menyempatkan diri untuk mendalami Judaisme dan Kristen.Tahun 1961, ia pindah ke Karachi, bergabung dengan Central Institute for Islamic Research, dan tahun 1963 ia kembali ke Amerika mengajar di Fakultas Agama pada University of Chicago.
Setelah mendirikan program pengkajian Islam di University Syracuse(New York) dan pindah ke Temple University(Philadelphia) ia tetap  memantapkan karirnya sebagai tenaga ahli dalam pengkajian islam. Di Syracuse Univeysity  tempat ia menekuni Pusat Kajian Islam yang ia dirikan ini pula Isma’il Raj’i al-Faruqi mengakhiri karirnya. Tahun 1986 ia meninggal dunia sebagai korban pembunuhan.[6]
Sebagai ilmuwan, al-Faruqi dikenal cukup produktif . Ia telah menulis sekitar 20 buku dan 100 artikel. Melalui tulisan itu pula pemikiran al-Faruqi tersebar luas ke negara-nagara Islam di seluruh dunia. Di antara buku-bukunya yang pentimg adalah Christian Ethics, An Historical Atlas of  Religions of  The World, Trialogue of Abrahamic Faith, dan The Cultural Atlas of  Islam. pandangannya bahwa umat Islam sekarang berada dalam keadaan yang lemah, dan dualisme sistem pendidikan yang melahirkan kejumudan dan taqlid buta. Oleh sebab itu pendidikan harus dikembangkan ke arah yang lebih modern dan berorientasi ketauhidan.[7]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin dan Said, Usman, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangannya, (Jakarta : Rajawali Press, 1999)
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2004) cet III.
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, ( Bandung, Ma’arif, 1995)
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, ( Jakarta : Bulan Bintang, 2003) cet XIV.






[1] Hasan langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung, Ma’arif, 1995, hal 120.
[2] Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 2003, hal 6.
[3] Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 2003, hal 35.
[4] Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 2003, hal 39.