BAB I
PENDAHULUAN
Pada awalnya filsafat disebut sebagai induk ilmu
pengetahuan (mother of science) sebab filsafat seakan-akan mampu
menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu dan segala hal, baik yang
berhubungan dengan alam semesta, maupun manusia dengan segala problematika dan
kehidupannya. Namun seiring dengan perubahan zaman, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang melahirkan berbagai disiplin ilmu baru dengan
masing-masing spesialisasinya, filsafat seakan-akan telah berubah fungsi dan perannya.
Dewasa ini, peran dan fungsi filsafat mengalami
perkembangan dalam posisi approach (pendekatan). Filsafat, dengan cara
kerjanya yang bersifat sistematis, universal, dan radikal, yang mengupas
sesuatu secara mendalam ternyata sangat relevan dengan problematika hidup dan
kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat kembali antara berbagai macam
disiplin ilmu yang terpisah kaitannya satu sama lain.
Dengan demikian, dengan menggunakan analisa filsafat,
berbagai macam ilmu yang berkembang sekarang ini, akan menemukan kembali
relevansinya dengan hidup dan kehidupan masyarakat dan lebih mampu lagi
meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan hidup manusia.
Filsafat
pendidikan telah mengalami perubahan dan kemajuan yang cukup besar. Dulu
filosof sebagai penguasa tunggal berwenang dalam merumuskan suatu filsafat
tentang pendidikan yang sistematis sebagaimana idealisme, realisme, dan
pragmatisme untuk menyimpulkan prinsip-prinsip umum filosofis tentang tujuan
pendidikan. Namun sekarang hal itu tidak dapat dilakukan secara sepihak, sebab
telah terdapat keragaman keahlian yang dimiliki masyarakat, ini berarti harus
ada koherensi antara filosof dan perkembangan pemikiran dan kebutuhan
masyarakat. Sejalan dengan apa yang terjadi sekarang, maka kami mencoba untuk
merumuskan kembali perkembangan filsafat pendidikan Islam serta tokoh yang ada
di dalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan Filsafat
Pendidikan Islam dan Tokoh-tokohya
A. Periode Awal Perkembangan Islam
Periode ini meliputi masa kehidupan nabi Muhammad SAW.
Dan masa pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin. Periode awal perkembangan Islam ini
dibedakan dari periode berikutnya dengan pertimbangan bahwa selama masa
kekuasaan Nabi dan para penggantinya (khulafa’ al-Rasyidin), kekuasaan Islam
masih berpusat di wilayah Arab. Dan mengingat masa antara kehidupan Nabi SAW
dan masa penggantinya relatif hanya sekitar 29 tahun (Nabi wafat tahun 632 M
dan Ali RA. Wafat tahun 661 M).
Seperti diketahui dari
latar belakang sejarah, bahwa Islam bukan diturunkan diwilayah terasing,
melainkan diwilayah yang terletak pada lalu-lintas dagang yang pelabuhan
transito (penghubung) antara dua kekuatan adikuasa yang dominan ketika itu,
yakni Persia di Timur dan Romawi di Barat. Namun demikian, kondisi masyarakat
Arab yang memiliki mobilitas yang tinggi itu secara sosial politik masih
tergolong sebagai masyarakat yang relatif primitif. Latar belakang kehidupan
masyarakat nomaden masih merupakan ciri umum kehidupan masyarakat Arab sekitar
kota Mekah dan Madinah. Dengan demikian kedatangan Islam membawa suatu revolusi
besar dalam mengubah tatanan sosial politik dan sosial budaya. Masyarakat
nomaden yang hidup berpuak-puak berubah menjadi masyarakat berpemerintahan, dan
dari masyarakat penyembah berhala menjadi suatu ummah yang diikat suatu
akidah yang sama. Masyarakat Arab dan latar belakang kehidupannya, setelah
kedatangan Islam ternyata mampu menjadi masyarakat yang berperadaban.
Padahal sebelum
kedatangan Islam masyarakat Arab adalah terdiri atas masyarakat pribumi yang
buta aksara, meskipun kemampuan hafalan mereka rata-rata mengagumkan. Waktu
kedatangan Islam, menurut Ibn Khaldun baru ada 17 orang Quraisy yang pandai
tulis baca, ditambah empat orang wanita. Ubaidah Ibn Jarrah, Thalhah Ibn
Zubair, Yazid Ibn Abi Sufyan, Abu Huzaifah Ibn ‘Utbah, Khatib Ibn Amr, Abu
Samah Ibn Abd al-Asad al-Mahzumi, Aban Ibn Sa’id Ibn Ash dan saudaranya Khalid,
Khawaitib Ibn Abd al-‘Azy al-‘Amiry, Abu Sufyan Ibn Harb, Mu’awiyah Ibn Abi
Sufyan, Juhaimah Ibn al-Shalah dan al-‘Alla’Ibn al-Hadhramy. Adapun yang
perempuan adalah Hafsah Bint ‘Umar, ‘Aisyah hanya bisa baca tapi tak bisa
menulis, demikian pula Ummu Salamah.
Pemikiran mengenai falsafat
pendidikan pada periode awal ini merupakan perwujudan dari kandungan ayat-ayat
al-Quran dan hadits, yang keseluruhannya membentuk kerangka umum ideologi
Islam. Dengan kata lain, kata Hasan Langgulung, bahwa pemikiran pendidikan
Islam dilihat dari segi al-Quran dan hadits, tidaklah muncul sebagai pemikiran
yang terputus, terlepas hubungannya dengan masyarakat seperti tang digambarkan
oleh Islam. Pemikiran itu berada dalam kerangka paradigma umum bagi masyarakat
seperti yang dikehendaki oleh Islam. Dengan demikian pemikiran mengenai
pendidikan yang kita lihat dalam al-Quran dan hadits mendapatkan nilai ilmiahnya.[1]
Di periode kehidupan
Rasul S.A.W. ini tampaknya mulai terbentuk pemikiran pendidikan yang bersumber
dari al-Quran dan hadits secara murni. Jadi hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan berbentuk pelaksanaan ajaran al-Quran yang diteladani oleh masyarakat
dari sikap dan perilaku hidup Nabi SAW.
Memang wilayah
kekuasaan Islam, sejak awal perkembangannya berada diantara dua kerajaan besar,
yaitu Parsi dan Romawi Timur. Dan sejak zaman Rasul SAW. Pun upaya untuk
mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan itu sudah dilakukan, terutama
dalam kegiatan perdagangan. Namun demikian, dalam kaitannya dengan perkembangan
Islam itu sendiri, kegiatan Rasul SAW.baru terbatas pada kegiatan
dakwah”mengajak menyerukan”agar para pemimpin kerajaan tersebut menerima Islam.
Usaha ini misalnya terlihat dari bukti surat-surat yang dikirimkan Rasul SAW.
Kepada Kaisar Heraclius (Kaisar Romawi Timur), Muqauqis (Gubernur Romawi Timur
di Mesir), Kisra (Raja Persia), al-Najasyi (Raja Ethiopia), al-Mundzir Ibn Sawi
(Raja Bahrain), Hudzah Ibn Ali (Raja Yamamah), dan kepada al-Harits Ibn Abi
Syammar (Gubernur Romawi di Syam), tetapi hal itu baru terbatas pada misi
dakwah ).
Di zaman pemerintahan khulafa’ al-Rasyidin pun, terutama semasa
pemerintahan Umar Ibn Khattab, wilayah kekuasaan Islam sudah luas ke luar tanah
Arab. Untuk itu diperlukan perangkat tertentu dalam pemerintahan seperti
administrasi pemerintahan, sistem keuangan maupun pasukan khusus maupun yang
menyangkut hubungan antar wilayah dengan pusat pemerintahan. Tetapi sejauh yang
dapat diketahui, perubahan-perubahan yang terjadi belum terlalu banyak, karena
perluasan wilayah masih terbatas pada kegiatan dakwah dan bukan dengan tujuan
menjajah.
B.
Periode Klasik
Periode klasik mencakup rentang masa
pasca pemerintahan khulafa al-Rasyidin hingga awal masa imperialis barat.
Rentang waktu tersebut meliputi awal kekuasaan Bani Ummayah zaman keemasan
Islam dan kemunduran kekuasaan Islam secara politis hingga ke awal abad
XIX. Beberapa pertimbangan yang
dijadikan dasar pembagian.
Faktor pertama, sistem pemerintahan.
Seperti diketahui, sistem pemerintahan periode Rasul dan para Khalifah yang
empat berbeda dengan sistem pemerintahan di periode-periode sesudahnya. Yang
jelas, memasuki era kekuasaan Bani Umayyah, sistem pemerintahan Islam lebih
bersifat monarki absolut (kerajaan). Pengangkatan Khalifah sudah tidak
didasarkan pada prinsip pemilihan dan petunjukkan atas dasar baiat, melainkan
didasarkan keturunan. Sistem khalifah berganti menjadi sistem kerajaan. Adanya
perubahan sistem dalam pemerintahan ini mempengaruhi pula berbagai perubahan
yang menyangkut kepentingan kepemerintahan seperti kelembagaan, peristilahan
dan lainnya. Untuk itu diperlukan perangkat khusus yang diperkirakan dapat
menunjang penyaelengaraan sistem tersebut.
Faktor kedua, yaitu luas wilayah.
Sejak periode pemerintahan Umar Ibn Khattab (634-644 M), wilayah kekuasaan
Islam sudah meluas ke luar jazirah Arab hingga ke Mesir dan Irak. Tapi baru di
zaman kekuasaan Bani Umayyah Timur (660-749 M.), pusat pemerintahan dipindahkan
ke Damaskus. Dan dalam kelanjutan dinasti ini, kemudian ketika menguasai
Andalusia (755-1031 M.) pusat pemerintahan berada di Granada. Selanjutnya, di
Timur kekuasaan Bani Umayyah diambil alih oleh Bani Abbas (749-1258 M.) dengan
ibukotanya Baghdad.
Adapun faktor ketiga, yaitu kemajuan
yang dicapai dalam berbagai bidang seperti politik, pemerintahan, ilmu
pengetahuan, sastra, arsitektur dan ekonomi memungkinkan negera-negera Islam
untuk mengembangkan diri. Berbagai kelembagaan didirikan sejarah dengan
kebutuhan dan tuntutan kemajuan yang dicapai. Dan kelembagaan itu sendiri pada
dasarnya lahir dari hasil pemikiran para ahli bidangnya, terutama yang
berkaitan dengan pendidikan.
Kemudian faktor keempat, yaitu
hubungan antar bangsa. Di zaman klasik ini, terutama melalui kekuasaan Bani
Abbas di Baghdad, kerajaan Islam sudah menjadi negara adikuasai. Secara politis
memang kerajaan-kerajaan Islam merupakan kerajaan besar. Selain itu wilayah
kerajaan ini menjadi pusat peradaban dunia ketika itu. Di wilayah Timur Baghdad
dikenal sebagai kota Metropolitan, pusat peradaban dunia di Timur. Dan status
yang sama, untuk wilayah Barat (Eropa) diwakili oleh Granada di Andalusia.
Dari dasar
pertimbangan tersebut, maka diketahui bahwa di awal periode klasik terlihat munculnya
sejumlah pemikiran mengenai pendidikan. Pemikiran mengenai pendidikan tersebut
tampak disesuaikan dengan kepentingan dan tempat serta waktu. Beberapa
karya ilmuan Muslim pada periode klasik yang karya-karyanya secara langsung
memuat pembahasan mengenai pendidikan yaitu:
1.
Ibn Qutaibah (213-276 H.)
Nama lengkap Ibn Qutaibah adalah Abu
Muhammad Abdullah Ibn Muslim Qutaibah al-Dainuri. Ia dilahirkan di Kufah tahun
213 H. Dan meninggal dalam usia 63 tahun (276 H.). Walaupun sebagai seorang
keturunan Parsi, sebagian besar usianya dihabiskan di Baghdad. Di kota ini ia
belajar berbagai disiplin ilmu dari sejumlah ulama terkemuka di zamannya
seperti Abu al-Fadl al-Rayyani, Ishaq Ibn Rahawiyah al-Mahruzi al-Nasaiburi dan
Abu Hatim. Menurut Imam Sayuti, Ibn Qutaibah dikenal sebagai seorang ilmuan
dalam bahasa Arab dan sejarah. Selain itu ia dikenal sebagai ilmuwan yang
produktif. karya yang terkenal : al-Ma’ani al-Kabirah, syakl al-Qur’an,
Gharib al-Qur’an, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, Fadhl al-Arab, al-Syi’r wa al-Syu’ara;
al-Ma’arif, al-Radd ‘ala al Jahimmiyah wa al-Musyibbihah, Imamah wa al-Siyasah,
dan ‘Uyun al-Akhbar. Pemikirannya menyangkut tentang masalah
pendidikan bagi kaum wanita, ilmu yang bermanfaat dan nilai-nilai bagi yang
mengembangkannya
2.
Abu Sa’id Sahnun dan Muhammad Ibn Sahnun
Abu Sa’id Sahnun Ibn Habib al-Tanubi
lahir di kairawan sekitar tahun 160 H. Kemudian menuntut ilmu di Mesir, Hijaz
dan Syam. Karya ilmuwan ini dibidang pendidikan kurang dikenal. Tetapi ilmuwan
yang kemudian lebih dikenal adalah Muhammad Ibn Sahnun al- Tanubi yang juga
berasal dari Kairawan. Muhammad Ibn Sahnun lahir tahun 202 H. Ia merupakan
pemikir yang mempelopori pembaharuan pendidikan di zaman keemasan Islam.
Muhammad Ibn
Sahnun adalah pencetus pemikiran pendidikan yang lepas dari keterkaitannya
dengan sastra dan mashab-mashab pemikiran falsafat. Disini terlihat Ibn Sahnun
mulai menampak kepemikiran pendidikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang
mandiri. Buku karanganya mengenai pendidikan berjudul Adab al-Mu’allimin
merupakan pembahasan tentang pendidikan pertama kali yang dipisah dari hubungan
integralnya dengan ilmu-ilmu keislaman, seperti halnya hasil karya ilmuwan
muslim pendahulunya. Dengan demikian muhammad Ibn Sahnun dapat digolongkan
menjadi pencetus pemikiran kependidikan islam di zaman klasik.
3.
Ibn Masarrah (269-319)
Muhammad
Ibn Abdillah Ibn Masarrah al-Jabali adalah seorang Muslim Andalusia (spanyol).
Ia dilahirkan di Cordova pada tahun 269 H. (883 M), dan meninggal ditempat
perkampungan (komunitas Sufi atau Zawiyah) dekat Cordova tahun 319/931
M. Ibn Masarrah dingenal sebagai seorang sufi dan filosof Muslim pertama
dibelahan wilayah Islam barat. Namun demikian Ibn masarrah juga menulis
pemikirannya mengenai pendidikan dalam bukunya berjudul kitab al-Tabsirat (Buku
pengajaran), dan kitab al-Huruf (Lambang-lambang huruf).
Dalam
pemikiran falsafatnya, Ibn masarrah juga menguraikan tentang sifat-sifat jiwa manusia. Ia berpendapat bahwa secara
individual, jiwa manusia merupakan pancaran dari jiwa universal (al-Nafs).
Keberadaan jiwa dalam tubuh manusia dikiaskannya sebagai terkungkung itu, manusia harus membersihkan dirinya
secara sepiritual, denga cara mendekatkan diri kepada Tuhan.
4.
Ibn Maskawaih (330-421 H.)
Abu
ali Ibn maskawaih dilahirkan di Ray tahun 330 H/940 M. Karya tulis Ibn
maskawaih seluruhnya berjumlah 18 judul, dan kebanyakan berhubungan dengan
masak kejiwaan dan akhlak. Slah satu dari karya Ibn Maskawaih yang memuat
pemikiran pendidikannya adalah termuat dalam bukunya Tahzib al-Akhlaq
(pendidikan Akhlak). Ia juga berpendapat bahwa penulisan sejarah harus
didasarkan atas kajian yang bersifat ilmiah dan filosofis.
Menurut pandanganya, manusia adalah
makhluk yang memiliki keistemewaan dari kenyataannya manusia memiliki daya
pikir. Berdasarkan daya pikir itu pula manusia dapat membedakan antara yang
benar dan yang salah, serta yang baik dan yang buruk. Dan manusia yang paling
sempurna kemanusiannya adalah mereka yang paling benar berfikirnya serta yang
paling mulia usaha dan perbuatannya. Selain itu ia berpendapat bahwa untuk
menunjukkan kebaikan manusia harus membina kerjasama. Usaha untuk melakukan
kebaikan merupakan indikator dari tingkat kesempurnaan dan tujuan dari
penciptaan manusia itu sendiri.
5.
Ibn Sina (370-428 H.)
Abu
Ali al-Husein Ibn Abdullah Ibn Sina lahir di Bukhara tahun 370 H/980 M). Ia
dianggap sebagai orang yang cerdas, karen adiusia yang sangat muda (17 tahun)
Ibn Sina telah dikenal sebagao filosof dan dokter termuka di Bukhara, selain
itu Ibn Sina juga dikenal sebagai tokoh yang luar biasa. Kecuali sebagai
seorang ilmuwan ia juga dapat melakukan berbagai pekerjaan dengan baik seperti
dalam bidang kedokteran, pendidikan, penasehat politik, pengarang dan bahkan
menjadi waris ( menteri)
Sebagi ilmuwan Ibn sina telah
berhasil mennyumbangkan buah pemikirannya dalam buku karangannya yang berjumlah
276 buah. Diantara karya besarnya adalah al-Syifa’ berupa ensiklopodi
tentang fisika, matematika, logika dan matematika. Kemudian al-Qanun al-Tibb
adalah sebuah ensiklopodi kedokteran.
6.
Al-Ghazali (450/1058-505/1111 M.)
Abu
Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali dilahirkan di Thusia di daerah Khurasan
(persia), tahun 450H/1058 M. Sejak kecil, al-Gazali dikenal sebagai anak yang
sngat senang dengan ilmu pengatahua. Jadi tak mengherankan sejak masa kanak-kanak
ia telah belajar kepada sejumlah guru di kota kelahiranya, antara lain Ahmad
Ibn muhammad al-Radzikani. Selain itu juga tak segan-segan ia belajar kepada
guru yang jauh dari kota kelahirannya. Diantara guru yang terkenal yang pernah
jadi gurunya ialah Imam al Juwaini (Imam al-Haramain), sewaktu al_Gazali
menuntut ilmu di Nausabur.
Melihat
kemampuan dan kecerdasan al-Gazali, al-Juwaini memberinya gelar “bahrun
mughriq” (laut yang menenggelamkan).Al-Gazali baru meninggalkan Naisabur
setelah Imam al-Juwaini meninggal dunia tahun 1085 M.(478 H.) Dari Naisabur
al-Ghazali menuju baghdad dan menjadi guru besar di universitas yang didirikan
Nidham al-Mulk seorang Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk. Di tengah-tengah
kesibukannya sebagai guru besar, ternyata al-Gazali yang kreatif ini sempat
mengarang sejumlah buku ilmu pengetahuan, antara lain
Al-Basith,Al-Wajiz.Khulashah Ilmi Fiqh, Al-Munqil fi Ilm Al-Jadal, Ma’khaz
Al-Kalaf, Lubab Al-Nadzar, Tahsin Al-Ma’akhidz dan Mamadi’ wa Al-Ghayat
fi Fan Al-Khalaf.
Menurut
pandangan al-Ghazali, ilmu dapat dilihat dari kedua segi, yaitu ilmu sebagai
proses dan ilmu sebagai obyek. Dari segi pertama, al-Ghazali membagi ilmu
menjadi ilmu hissiyah, ilmu aqliyah dan ilmu ladunni. Ilmu
hissiyah diperoleh manusia melalui penginderaan (alat dria),sedangkan
ilmu aqliyah diperoleh melalui kegiatan berpikir (akal). Sedangkan ilmu ladunni
diperoleh langsung dari Allah, tanpa melalui proses penginderaan atau pemikiran
(nalar), melainkan melalui hati dalam bentuk ilham.
C.
Periode Modern
Merujuk
kepada pembagian priodisasi sejarah Islam yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Harun
Nasution, bahwa periode modern dimulai sejak tahun 1800 M. Menjelang periode
modern ini, setelah Bani Abbas dan Bani Ummayah secara politik dapat
dilumpuhkan, kekuasaan islam masih dapat dipertahankan. Tiga kerajaan besar
yaitu Kerajaan Turki Utsmani (Eropa Timur dan Asia-Afrika), Kerajaan Safawi
(Persia) dan kerajaan Mughol (India) masih memegang hegemoni kekuasaan Islam.
Namun menjelang abad ke-17 dan awal abad ke-18 kerajaan-kerajaan Islam
tersebut, satu persatu dapat dikuasai bangsa-bangsa Eropa (Barat).[2]
Beberapa pemikir pendidikan yang
tersebar di sejumlah kekuasaan Islam tersebut sebagai tokoh yang ada kaitannya
dengan perkembangan filsafat pendidikan Islam pada periode modern, seperti:
1.
Rifa’at Badawi Rafi’ al-Thahthawi (1801-1873)
Al-Thahthawi
seorang pemikir pendidikan Mesir, yang dilahirkan dikota Thahtha (Mesir bagian
selatan) tahun 1801. Ayahnya masih mempunyai hubungungan keturunan Husein cucu Muhammad
SAW. Sebagai anak yang cemerlang, al-Thahthawi kemudian berhasil menamatkan
pelajarannya di al-Azhar. Dan setelah tamat berturut-turut iamengembangkan
karir kependidikannya sebagai tenaga pengajar di al-Azhar, dan tahun 1824
menjadi iman tentara. Kedudukannya sebagai iman tentara ini pula kemudian yang
membawa ia untuk belajar diperancis atas biaya Muhammad Ali[3].
Selama
belajar di perancis al-Thahthawi berusaha melengkapi wawasan ilmiahnya dengan
berbagai cabang ilmu pengetahuan seoerti sejarah, teknik, ilmu bumi, politik
dan lain-lain. Selain itu ia juga sempat menerjemahkan sebanyak 12 buku dan
risalah, antara lain risalah tentang sejarah Alexander Macedonia, buku-buku
mengenai pertambangan, mengenai akhlak dan adat istiadat berbagai bangsa, mengenai
ilmu bumi, risalah mengenai teknik, mengenai hak-hak manusia, tentang kesehatan
dan sebagainya.
Adapun
ide-ide dan pemikiran kependidikannya ia tulis dalam buku al-Mursyid al-Amin
Lil Banati wa al-Banin (pedoman bagi pendidikan putra dan putri). Di dalam
buku ini dapat dilihat tentang pemikiran Thahthawi. Ia menulis ide-idenya
mengenai pendidikan meliputi:
Pertama, pembagian jenjang
pendidikan atas tingkat permulaan, menengan dan pendidikan tinggi sebagai
pendidikan akhir. Kedua, pendidikan diperlukan, karena pendidikan merupakan
salah satu jalan untuk mencapai kesejahteraan. Ketiga, pendidikan mesti
dalaksanakan dan diperuntukkan bagi segala golongan. Makanya tidak ada
perbedaan antara pendidikan untuk anak
laki-laki dan anak perempuan. Pemikiran mengenai persamaan antara laki-laki dan
pendidikan anak perempuan ini dinilai sebagai mencontoh ide pemikiran Yunani.[4]
- Muhammad Abduh (1849-1905)
Muhammad
Abduh dilahirkan tahun 1849 (1266 H.) di salah satu desa di Delta Mesir bagian
hilir. Ayahnya adalah seorang petani keturunan Turki yang telah lama menetap di
Mesir, dan ibunya keturunan Arab yang memiliki hubungan darah dengan suku Arab
asal keturunan khalifah Umar Ibn Khattab. tokoh ini yang memulai membongkar
kejumudan umat Islam dengan konsep rasionalitasnya, pemikirannya tentang
pendidikan yang disebarkan melalui majalah al-Manar dan al-‘Urwat
al-Wusqa menjadi rujukan bagi tokoh pembaharu di dunia Islam. Muhammad
Rasyid Ridha meneruskan gagasannya melalui majalah al-Manar dan Tafsir
al-Manar, Kasim Amin dengan bukunya Tahrir al-Mar’ah, Farid Wajdi
dengan bukunya Dairat al-Ma’arif, Syeikh Thanthawi Jauhari melalui
karangannya al-Taj al-Marshuh bi al-Jawahir al-Qur’an wa al-Ulum. Dan
masih banyak lagi tokoh pembaharuan dalam Islam yang mendasarkan pola pikirnya
merujuk konsep pemikiran Muhammad Abduh.[5]
3.
Isma’il Raj’i al-Faruqi (1921-1986)
Al-Faruqi
dilahirkan di Yaifa (Palestina) pada 1 Januari 1921. Latar belakang pendidikan
al-Faruqi adalah pendidikan Barat. Pendidikan awalnya di College des Feres yang
ia selesaikan tahun 1936. Kemudian sarjana mudanya di Amerika University
ditamatkannya tahun 1941. Adapun gelar Masterbya dari Indiana University serta
Harvard University dalam bidang filsafat. Kemudian gelar dokter diperolehnya
dari Indiana University. Selanjutnya selama empat tahun ia menekuni studi
keislaman di Univesitas al_Azhar (kairo).
Karir kepegawaian al-Faruqi diawali
dari pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat Inggris. Kemudian menjadi
Gubernur terakhir Propinsi Galilee (yang tahun 1947 direbut Israel). Hal ini
pula yang kemudian mendorong al-Faruqi
hijrah ke Amerika untuk melanjutkan studinya.
Adapun karir akademik al-Faruqi diawali sebagai dosen
di McGill University (Kanada) tahun 1959. Selama menjadi dosen, ia menyempatkan
diri untuk mendalami Judaisme dan Kristen.Tahun 1961, ia pindah ke Karachi,
bergabung dengan Central Institute for Islamic Research, dan tahun 1963 ia
kembali ke Amerika mengajar di Fakultas Agama pada University of Chicago.
Setelah mendirikan program
pengkajian Islam di University Syracuse(New York) dan pindah ke Temple
University(Philadelphia) ia tetap
memantapkan karirnya sebagai tenaga ahli dalam pengkajian islam. Di
Syracuse Univeysity tempat ia menekuni
Pusat Kajian Islam yang ia dirikan ini pula Isma’il Raj’i al-Faruqi mengakhiri
karirnya. Tahun 1986 ia meninggal dunia sebagai korban pembunuhan.[6]
Sebagai
ilmuwan, al-Faruqi dikenal cukup produktif . Ia telah menulis sekitar 20 buku
dan 100 artikel. Melalui tulisan itu pula pemikiran al-Faruqi tersebar luas ke
negara-nagara Islam di seluruh dunia. Di antara buku-bukunya yang pentimg
adalah Christian Ethics, An Historical Atlas of Religions of
The World, Trialogue of Abrahamic Faith, dan The Cultural Atlas
of Islam. pandangannya bahwa umat
Islam sekarang berada dalam keadaan yang lemah, dan dualisme sistem pendidikan
yang melahirkan kejumudan dan taqlid buta. Oleh sebab itu pendidikan harus
dikembangkan ke arah yang lebih modern dan berorientasi ketauhidan.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR
PUSTAKA
Jalaluddin
dan Said, Usman, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangannya,
(Jakarta : Rajawali Press, 1999)
Zuhairini,
dkk, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2004) cet III.
Langgulung,
Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, ( Bandung, Ma’arif,
1995)
Nasution,
Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, ( Jakarta
: Bulan Bintang, 2003) cet XIV.
http://avicena-sumbersari.blogspot.com/2012/03/sejarah-perkembangan-filsafat.html akses tgl 19/04/2012 : 23/45
[1] Hasan
langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung,
Ma’arif, 1995, hal 120.
[2] Prof.
Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta, Bulan Bintang, 2003, hal 6.
[3] Prof.
Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta, Bulan Bintang, 2003, hal 35.
[4] Prof.
Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta, Bulan Bintang, 2003, hal 39.