WELCOME

selamat datang wahai para pencari tuhan, kami akan membantu anda memasuki dunia yang penuh warna...

Selasa, 28 Juni 2011

DISKURSUS RUMUS ANGKA DALAM AL-QUR’AN

A. Profil Para Peneliti
Sebagaimana telah disinggung pada bab-bab sebelumnya, dalam diskursus rumus rumus angka dikenal beberapa orang yang tampak konsen dalam meneliti kajian ini. Di antaranya adalah Rashad Khalifa, ‘Abd al-Razz.q Nawfal, Abu Zahr.’ al-Najd., dan Rosman Lubis. Berikut ini adalah sekilas profil para peneliti diskursus ini.
Rashad Khalifa lahir pada tahun 1935 M di Mesir yang kemudian berpindah ke Amerika. Latar belakang keilmuannya adalah sarjana bergelar Bachelor dalam bidang pertanian pada tahun 1957. Selanjutnya ia mendapatkan gelar Doktor (Ph.D.) dalam bidang biokimia pada tahun 1984 dan mengajar di Universitas Kalifornia dan Kanada. Ia memperistri seorang wanita muslimah berkebangsaan Amerika yang ikut membantunya dalam penelitian i‘jaz ‘adadi. Khalifa pernah membentuk forum persatuan pelajar-pelajar muslim di Amerika dan Kanada yang di dalamnya diselenggarakan kajian tentang materi dasar al-Qur’an, termasuk terjemahnya. Ia yang terkenal sebagai imam masjid Tucson, Arizona, USA wafat pada 31 Januari 1990 akibat dibunuh.
Khalifa kemudian mempublikasikan karyanya dalam beberapa buku, yakni Miracle of the Quran: Significance of the Mysterious Alphabets (tahun 1973 M), The Computer Speaks: God’s Message to the World (tahun 1981 M), Qur’an: Visual Presentation of the Miracle (tahun 1982 M). Buku pertama merupakan hasil penelitiannya terhadap fenomena huruf inisial (muqaththa‘ah) sebagai pembuka beberapa surat dalam al-Qur’an yang dihubungkan dengan bilangan-bilangan huruf dalam surat-surat yang diawalinya. Sedangkan dalam buku kedua, Khalifa menunjukkan bukti-bukti adanya keajaiban rumus angka 19 dalam al-Qur’an. Karya-karya Rashad Khalifa ternyata cukup konsisten dalam kajian rahasia angka-angka dalam al-Qur’an ini, khususnya berkaitan dengan keajaiban angka tersebut.
Sebelum itu, tersebut pula seseorang bernama ‘Abd al-Razz.q Nawfal. Ia yang lahir pada tanggal 8 Pebruari 1917 di Kairo, Mesir, adalah seorang sarjana pertanian alumnus Fakultas Pertanian Universitas Kairo (1939), dan pernah menjadi Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri pada Departemen Perdagangan Republik Arab Mesir. Karya-karya tulisnya lebih dari 30 judul yang umumnya berhubungan dengan kajian Islam. Di antara karya tersebut adalah kitab al-Isl.m D.n wa Duny. (1959), ‘Alam al-Jinn wa al-Mal.’ikah, al-Sam.’ wa Ahl al-Sam.’, Yawm al-Qiy.mah, dan sebagainya.
Selanjutnya adalah Ab. Zahr.’ al-Najd., seorang dosen filsafat di sebuah universitas di Syria. Namun, waktunya kini lebih banyak digunakan untuk meneliti al-Qur’an. Jalaluddin Rahmat mengatakan pernah bertemu dengannya dalam sebuah konferensi Islam internasional. Al-Najd. menuangkan hasil penelitiannya tentang mukjizat al-Qur’an dan menulis sebuah buku dengan judul min I‘j.z al-Bal.gh. wa al-‘Adad. li al-Qur’.n al-Kar.m.
Dari Indonesia, muncul seorang Rosman Lubis yang juga mempunyai perhatian besar dalam diskursus ini. Ia menuangkan penemuannya dalam buku Keajaiban Angka 11 dalam al-Qur’an. Tidak banyak informasi yang diperoleh tentang biografi atau hasil karyanya yang lain.
Beberapa nama tersebut—dengan segala kelebihan dan kekurangannya—dapat dianggap memberi kontribusi awal terhadap diskursus mukjizat ini. Dalam perkembangan diskusi selanjutnya, tersebut nama yang melanjutkan usaha memperkuat bukti-bukti rumus angka tersebut. Di antaranya adalah Fahmi Basya, seorang Indonesia yang berusaha melanjutkan penelitian terhadap rumus angka 19 dalam al-Qur’an.
Dari sekilas profil-profil di atas terdapat isyarat bahwa penemu atau peneliti kajian ini merupakan orang-orang yang berlatar belakang non ‘ul.m al-Qur’.n, atau kurang dikenal dalam kajian ilmu-ilmu al-Qur’an. Jika suatu penemuan atau penelitian dalam bidang keilmuan al-Qur’an harus memperhatikan kompetensi latar belakang pendidikan di bidang ini, maka hasil karya mereka dapat dianggap kurang perlu dibahas. Namun, untuk menyikapi kasus ini sebaiknya dipertimbangkan beberapa hal. Kajian tentang angka-angka merupakan kajian ilmu pasti yang dapat dilakukan ataupun ditemukan oleh siapa pun, sepanjang dapat dibuktikan kebenarannya. Selain itu, kajian mukjizat angka-angka tampaknya kurang mendapat perhatian lebih dari penulis ilmu-ilmu al-Qur’an, terutama jika dibandingkan dengan kajian mukjizat dalam segi bahasa dan sastranya. Sebagaimana dalam segi bahasa dan sastra yang dikaji oleh para ahli bahasa, dari pada ahli ilmu-ilmu al-Qur’an sendiri, maka diskursus i‘j.z ‘adad. tidak tertutup untuk ahli ilmu hitung (matematika), atau keilmuan lain yang mendukungnya.
Adanya apresiasi dari penulis buku ilmu-ilmu al-Qur’an berpengaruh baik dalam diskursus ini. Selain mengutip hasil karya mereka, para penulis buku ini juga memberikan komentar dan penilaian kritis yang sangat bermanfaat untuk perkembangan diskursus tersebut.

B. Rumus Keajaiban Angka 19
1. Awal Penemuan Rumus
Pada tahun 1968, Rashad Khalifa bermaksud menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris, sehingga muncul rasa penasaran untuk menemukan penjelasan yang memuaskan mengenai makna huruf-huruf inisial (muqaththa‘ah) di awal sejumlah surat al-Qur’an. Penyelidikannya dimulai dengan menempatkan teks surat-surat tersebut dalam sebuah komputer dengan harapan bisa menemukan suatu pola matematis sebagai penjelasan atas huruf inisial tersebut, mulai dari huruf q.f, sh.d dan n.n. Usai mengumpulkan data-data hitungan, ia segera dikejutkan dengan fakta-fakta bilangan yang habis dibagi 19. Dari sini, ia semakin tertarik untuk memecahkan misteri huruf-huruf pembuka surat (faw.tih al-suwar) yang lain. Setelah meneliti dalam beberapa tahun, ia mempublikasikan hasil risetnya dalam Miracle of the Quran: Significance of the Mysterious Alphabets (1973 M). Dalam buku ini belum disebut angka 19 sebagai angka kunci untuk keseluruhan al-Qur’an.
Kemudian pada Januari 1974, ia memperkenalkan angka 19 sebagai common denominator tidak hanya untuk huruf-huruf muqaththa‘ah, tapi juga seluruh al-Qur’an. Usaha-usaha menemukan rahasia angka 19 terus dilakukan, terutama oleh orang-orang di Masjid Tucson, Amerika. Penemuan-penemuan dari penyelidikan lanjutan ini sebagiannya telah dipublikasikan Khalifa dalam bukunya yang lain.
Bila dalam bukunya tidak ditemukan penjelasan tentang latar belakang yang mempengaruhi penelitian Khalifa terhadap angka, maka apa yang dirilis situs submission menceritakan keterkaitan antara usahanya dengan tradisi penghitungan terhadap kitab-kitab suci sebelumnya. Ia terinspirasi dengan usaha Rabbi Judah (pendeta Yahudi) yang berhasil menemukan rahasia angka 19 dalam kitab Tawrah. Jika hal ini benar, maka usaha Khalifa merupakan pengalihan terapan angka 19 dari penyelidikan Tawrah terhadap penyelidikan al-Qur’an.
Rashad Khalifa menyebut fenomena tersebut sebagai physical evidence (bukti fisik) untuk kitab suci dan menandakan adanya perkembangan suatu era baru dalam keagamaan, yakni era yang tidak terlalu membutuhkan keyakinan (faith). Bukti-bukti fisik tersebut dibutuhkan untuk meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dengan bantuan berbagai pengetahuan termasuk matematika, bukti-bukti tersebut dapat muncul dalam bentuk kode-kode yang rumit. Setiap kata (word) bahkan huruf (letter) dalam al-Qur’an ditempatkan dalam kesesuaian dengan model perhitungan matematika, dan hal itu di luar kemampuan manusia untuk melakukannya.
Menurutnya, terdapat rahasia yang tersembunyi selama 1400 tahun dalam surat al Muddatstsir/74, karena nama surat ini sendiri mengisyaratkan rahasia (diartikan sebagai yang tersembunyi [hidden, secret]), selain juga tersebut dalam ayat pertama. Ia menghubungkan hal itu dengan ayat 25 yang menyebutkan bahwa ada sebagian orang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah perkataan manusia (human made). Ayat ini berbunyi: ان هذا الا قول البشر. Perkataan mereka tersebut akan dibuktikan kesalahannya dengan angka 19, sebagaimana dimaksud dalam ayat 30, عليها تسعة عشر, yang juga dikuatkan oleh ayat-ayat selanjutnya terutama ayat ke 35: انها لاحدي الكبر dengan terjemahan: It is one of the Greatest Miracles. Selain itu, angka 19 dapat diartikan Tuhan adalah satu (God is one), dan ini merupakan pesan al-Qur’an. Demikian itu merupakan latar belakang awal dalam pemilihan angka 19.
Namun, angka 19 ini pernah dikaitkan dengan ajaran dalam kelompok Bah.’is. Menurut Annemarie Schimmel dalam the Encyclopedia of Religion, angka 19 adalah angka sakral bagi orang-orang Bah.’is, yang menghitung dalam satu tahun terdiri dari 19 bulan dan setiap bulan terdiri dari 19 bulan, meskipun ia tidak menunjuk karya Khalifa. Mungkin, yang dimaksud adalah adanya pengaruh atau hubungan pemikiran antara Bah.’is terhadap studi angka 19 dalam al-Qur’an. Bah.’is muncul jauh setelah al-Qur’an turun, sehingga secara mutlak tidak dapat dikatakan bahwa al-Qur’an dipengaruhi oleh Bah.’is. Pengaruh Bah.’is terhadap Rashad Khalifa juga sangat kecil kemungkinannya karena tidak ditemukan data atau bukti bahwa ia pernah berhubungan dengan sekte ini, meskipun terdapat kesamaan dalam angka 19.

2. Bentuk rumus keajaiban angka 19
Jika didasarkan pada klasifikasi dalam buku Qur’an: Visual Presentation of Miracle, bukti-bukti rumus angka 19 terdiri dari dua macam, yaitu the simple facts (bukti sederhana) dan the intricate facts (bukti rumit). Di antara the simple facts adalah: pernyataan pembuka al-Qur’an (basmalah) terdiri dari 19 huruf; al-Qur’an terdiri dari 114 surat (19x6); wahyu pertama (Qs. 96:1-5) terdiri dari 19 kata; wahyu pertama terdiri dari 76 huruf (19x4); surat pertama (Qs.96) terdiri dari 19 ayat; Qs. 96 terletak pada nomor 19 dari belakang; surat pertama terdiri dari 304 huruf (19x16); surat terakhir (Qs. 110) terdiri dari 19 kata; ayat pertama dalam surat terakhir terdiri dari 19 huruf; wahyu kedua (68:1-9) terdiri dari 38 kata (19x2); wahyu ketiga (73:1-10) terdiri dari 57 kata (19x3); wahyu keempat (74:1-30) mengandung angka 19 itu sendiri; wahyu kelima (Qs. 1) menempatkan 19 huruf kalimat pembuka (basmalah) secara langsung setelah angka 19 dalam Qs. 74:30; kata pertama lafal basmalah (bism) disebutkan 19 kali; dan sebagainya.
Sedangkan yang termasuk the intricate facts—dengan melalui perhitungan yang lebih rumit—antara lain: surat 50 (Q.f) yang diawali dengan huruf q.f, memiliki 57 huruf q.f (19x3); surat lainnya yang diawali huruf q.f (surat 42) juga memiliki 57 huruf q.f (19x3); dan huruf q.f sebagai salah huruf awal dalam al-Qur’an, jika digabungkan jumlahnya dari dua surat yang berawal q.f, maka diperoleh angka 114 (jumlah surat dalam al-Qur’an). Kategori terakhir ini secara umum menggambarkan hubungan antara huruf-huruf muqaththa‘ah dengan surat-suratnya.
Dari sejumlah bentuk-bentuk rumus angka 19 dalam al-Qur’an, penulis perlu mendeskripsikan beberapa bentuk yang menyimpan persoalan-persoalan sehingga dapat mengundang kritik. Berkaitan dengan penghitungan lafal basmalah, Khalifa pada awalnya menyebut lafal ini sebagai the opening statement of Quran (pernyataan pembuka al-Qur’an). Penyebutan ini berdasarkan pada posisi lafal ini di awal surat al-F.tihah sebagai surat pertama dalam susunan (tata urutan) al-Qur’an, bukan berdasarkan kronologi wahyu. Selain sebagai the opening statement, Khalifa menyebut basmalah sebagai verse no. 0 (ayat ke-0). Istilah ini mengindikasikan pengertian bahwa basmalah masih termasuk hitungan ayat ataupun terdapat hubungan erat antara basmalah dengan surat. Sebagai akibat dari term yang digunakan tersebut, kadang-kadang basmalah dihitung menjadi satu dengan perhitungan suatu surat tertentu. Seperti dalam penghitungan huruf-huruf tertentu dalam suatu surat, ia memasukkan huruf-huruf basmalah sebagai bagian dari objek hitung.
Khalifa melupakan bahwa fungsi umum basmalah di awal setiap surat al-Qur’an adalah sebagai tanda tanda surat baru. Di antara dua surat terdapat lafal basmalah sebagai tanda pemisah, kecuali pada antara surat al-Anf.l dan al-Tawbah yang tidak diberi tanda tersebut. Sehingga, lafal basmalah sebagai penanda awal surat baru, bukan sebagai bagian dari surat itu sendiri, kecuali dalam surat al-F.tihah. Dengan posisi ini, seharusnya basmalah tidak termasuk dalam objek hitung.
Jika huruf-huruf dalam lafal basmalah dipisahkan dari surat tersebut, maka tidak serta-merta diperoleh bilangan sebagai kelipatan angka 19. Penghitungan huruf-huruf dari lafal basmalah ini dilakukan dengan sengaja (dengan istilah ayat ke-0), namun tidak ada penjelasan tentang pendapat yang digunakannya. Dapat diduga bahwa penghitungan basmalah tersebut merupakan cara memperoleh bilangan yang habis dibagi 19 atau kelipatan 19.
Kasus di atas terjadi pada penghitungan huruf muqaththa‘ah yang ada dalam lafal basmalah, tetapi tidak terjadi pada huruf-huruf di luar basmalah. Misalnya pada penghitungan huruf q.f dalam surat Q.f; huruf q.f dalam surat al-Sy.r.; dan total huruf sh.d dalam 3 surat (al-A‘r.f, Maryam dan Sh.d), lafal basmalah pada surat tersebut tidak berpengaruh apa pun karena di dalamnya tidak terdapat huruf-huruf muqaththa‘ah yang dimaksud.
Masih dalam penghitungan basmalah, objek yang dihitung adalah semata-mata kalimat بسم الله الرحمن الرحيم yang dijumpai dalam al-Qur’an sebanyak 114 kali. Sementara, kedudukan di antara bilangan lafal basmalah tersebut tidak pada posisi yang sama. Bila basmalah selain yang terdapat dalam surat al-F.tihah dan al-Naml merupakan tanda pemisah surat dan ayat ke-0, dalam istilah Khalifa, tetapi dalam kedua surat tersebut basmalah adalah bagian integral dari surat, sebagai ayat atau bagian ayat. Khalifa tidak membedakan status ke-114 lafal basmalah tersebut.
Terhadap penghitungan huruf (letter), Khalifa tidak memperhitungkan huruf mudha‘af (rangkap, ber-tasyd.d) dan madd (bacaan panjang). Kritik yang disampaikan Muhammad Shidqi Bek, huruf mudha‘af seharusnya dihitung menjadi dua huruf. Dilihat dari asal kata dan bentuk pengucapan, huruf rangkap menyimpan dua huruf yang sama, tetapi dengan harakat mati dan hidup. Begitu pula dengan bacaan panjang, jika dilihat dari rasm iml.’. (dikte), maka bacaan madd umumnya dapat diberi tanda alif, w.w atau y.’. Apabila proses hitungan tersebut semata-mata dinisbatkan pada naskah (tulisan) mushaf ‘utsm.n., maka huruf rangkap atau bacaan panjang dianggap tidak berpengaruh. Padahal, hal itu sangat signifikan pengaruhnya terhadap makna kata.
Begitu pula, dalam perhitungannya terhadap konsep word (kata), Khalifa mencampur aduk antara bentuk “kalimah” (kata) dan “harf” (atribut/artikel). Misalnya, kadang-kadang huruf jarr dihitung menjadi satu dengan (kata) majr.r-nya, tetapi kadang-kadang dihitung sendiri sebagai kata (word). Bentuk harf dalam bahasa Arab seperti min, aw, ‘an, l., idz. dan lain-lain dianggap sebagai satu kata (word, kalimah). Tetapi, wa inna, y. ayyuh., m. lam, laka dan sebagainya—seharusnya merupakan gabungan dua harf—juga dihitung sebagai satu kata. Selain itu, m. yaq.l.n, wa uhjurhum, fa ittahidz.h, wa m. yasth.r.n, dan sebagainya (gabungan harf dan kalimah) juga dihitung satu kata. Bahkan, dalam Qs. al-Qalam/68:1 huruf muqaththa‘ah “n.n” (ن ) dihitung sebagai satu kata.
Kasus ini tampak pula ketika Khalifa menyebut kata pertama dalam lafal basmalah—sebagai the first word—adalah “ism”, tetapi “bism” masih pula dianggap sebagai satu kata (word). Bism dan ism keduanya dianggap sebagai kata (word), sehingga dalam pembuktian rumus angka 19 keduanya dihitung secara terpisah. Menurutnya, bism ( b.’-s.n-m.m) dalam al-Qur’an terdapat di tiga tempat (Qs. al-F.tihah/1:1, Qs. H.d/11:41, dan Qs. al-Naml/27:30). Hitungan ini tidak menghitung kata bism dalam Qs. al-‘Alaq/96:1 yang tersusun dari huruf b.’-alif-s.n-m.m, tetapi dimasukkan dalam penghitungan ism. Dengan demikian, Khalifa terlihat inkonsisten ketika melakukan penghitungan bentuk harf, yakni dengan salah satu dari dua pilihan; harf sebagai suatu kata sendiri, atau harf menginduk pada kata lain.
Selain beberapa persoalan di atas, untuk mendukung penelitiannya, Khalifa menggunakan kronologi wahyu sebagai bagian dari objek penyelidikannya. Ia menyebutkan bahwa ayat 1-5 Qs. al-‘Alaq/96 sebagai wahyu pertama (first revelation) dan ayat 1-9 Qs. al-Qalam/68 adalah wahyu yang turun kedua (second revelation). Sedangkan wahyu berikutnya adalah Qs. al-Muzzammil/73 (10 ayat), Qs. al-Muddatstsir/74, dan Qs. al-F.tihah/1. Yang dimaksud dengan revelation tersebut lebih dekat dalam pengertian surat (s.rah, chapter), yakni dilihat dari susunan surat-surat berdasarkan urutan waktu turun. Hal ini berbeda dengan kronologi turunnya ayat, menurut jumh.r ulama, misalnya bahwa wahyu kedua (second revelation) adalah Qs. al-Muddatstsir/74: 1-10. Meskipun istilah s.rah disinonimkan dengan chapter, tetapi kata revelation juga sering digunakan untuk menunjuk pengertian surat (chapter).
Demikian halnya, untuk wahyu yang turun terakhir (the last revelation) yang disebutnya adalah Qs. al-Nashr/110: 1-3. Jika yang dimaksud dengan surat yang terakhir turun, maka hal itu dikuatkan dengan susunan surat-surat menurut kronologi turunnya. Apabila yang dimaksud adalah ayat-ayatnya, maka beberapa versi pendapat tentang ayat terakhir tidak menyebutkan bahwa ayat tersebut sebagai ayat terakhir, atau sebagai pendapat terkuat. Tampaknya, Khalifa ingin membuktikan Qs. al-Nashr sebagai surat terakhir dengan rumus angka 19. Ketika rumus ini tepat digunakan dalam surat ini, hal itu dianggap memperkuat adanya rumus 19, dan bahwa surat ini adalah wahyu terakhir.

3. Teknik penghitungan
Sebagai rumus angka, tidak bisa tidak pendekatan yang digunakan terkait dengan proses hitung-menghitung, atau disebut pendekatan matematis. Rashad Khalifa melakukan pendekatan matematis dengan operasi bilangan yang biasa atau dasar, sehingga diperoleh angka-angka yang dimaksud. Operasi dasar dalam matematika yang digunakan adalah penjumlahan, perkalian atau pembagian.
Operasi penjumlahan digunakan pada:
a. penjumlahan huruf (keseluruhan atau tertentu), seperti dalam penghitungan huruf-huruf pada wahyu pertama yakni Qs. al-‘Alaq/96: 1-5; dan penghitungan huruf-huruf alif-l.m-m.m pada surat al-Baqarah/2.
b. penjumlahan kata, seperti dalam penghitungan kata-kata dalam Qs. al-‘Alaq/96. Selain itu, penjumlahan kata juga digunakan dalam penghitungan jumlah kata tertentu dalam al-Qur’an seperti kata ism, bism, All.h dan sebagainya, meskipun tidak diwujudkan dalam penjumlahan dengan bentuk total atau grand total.
c. penjumlahan antara jumlah kata (dalam al-Qur’an), nomor-nomor surat dan nomor-nomor ayat tertentu, seperti kata bism yang disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 3 kali yaitu: Qs. 1:1, Qs 11:41 dan Qs. 27:30, secara berurutan angka- angka tersebut dijumlahkan sebagai berikut: 3 + 1 + 1 + 11 + 41 + 27 + 30 = 114.
d. penjumlahan nilai–nilai numerik, seperti dalam penghitungan total nilai numerik huruf-huruf pada kata dz. al-fadhl al-‘azh.m, maj.d dan j.mi‘.
Sedangkan operasi perkalian dan pembagian digunakan untuk membuktikan bahwa angka-angka yang diperoleh pada penghitungan objek hitung sebelumnya sebagai kelipatan dari angka 19, atau jika dibagi dengan 19 menghasilkan angka penuh. Contohnya antara lain sebagai berikut:
1. Wahyu kedua (Qs. 68: 1-9) terdiri dari 38 kata ( 38 = 19 x 2 ).
2. Kata al-rahm.n dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 56 kali ( 56 = 19 x 3 ).
3. Jumlah surat dalam al-Qur’an adalah sebanyak 114 surat ( 114 = 19 x 6 ).
4. Jumlah huruf alif-l.m-m.m dalam surat al-Baqarah adalah sebanyak 9899 huruf ( 9899 = 19 x 521 ).
Selain menggunakan pendekatan matematis, Khalifa juga menggunakan pendekatan sistem numerikal yang dimiliki huruf-huruf hij.’iyyah atau abjadiyyah. Dalam praktek yang dilakukan Khalifa, huruf alif dan hamzah dianggap sama dengan nilai numerik 1.
Sedangkan dilihat dari objek perhitungannya adalah nama surat, nomor surat, ayat, kata dan huruf dalam al-Qur’an. Objek tersebut hanya didasarkan pada naskah tulisan dalam versi mushaf ‘utsm.n. atau mushaf standar seperti yang banyak kita temukan saat ini, di mana setiap surat di awali dengan lafal basmalah, kecuali surat al-Tawbah.
Dari objek ini dapat diperoleh suatu kaidah umum dalam penghitungan yang dilakukan Khalifa, yakni: menghitung sesuatu yang tampak secara lahir atau jelas dalam mushaf. Dengan kata lain, acuan yang dipegang dalam perhitungan angka-angka oleh Khalifa adalah apa yang tertulis, bukan yang terbaca. Menurut hemat penulis, acuan pada apa yang tertulis merupakan akibat dari dua hal, yakni pandangan bahwa rasm (tulisan) al-Qur’an (mushaf ‘utsm.n.) adalah tawq.f. (berdasarkan petunjuk Nabi saw), dan al-Qur’an sebagai kit.b (book). Apabila berpegang bahwa rasm al-Qur’an adalah tawq.f., maka naskah mushaf al-Qur’an dapat dianggap sebagai hal yang mutlak dan dapat melahirkan mukjizat dari bentuk rasm ataupun kit.b. Sebagai kit.b, konotasi umum al-Qur’an adalah kumpulan kalimat atau kata-kata yang tertulis dalam suatu media tertentu. Sementara, pengertian al-Qur’an adalah kal.m (perkataan) Allah yang berarti kata-kata verbal. Yang paling dekat ditunjuk oleh pengertian terakhir adalah qir.’ah, bukan rasm atau kit.bah. Dengan demikian, persoalannya adalah apakah sebenarnya yang menjadi acuan untuk teks (nash) al-Qur’an yang digunakan, rasm atau qir.’ah? Sementara ini, penelitian Khalifa lebih banyak mengacu pada bukti-bukti fisik yang tertulis dalam mushaf (termasuk penanda atau penjelasnya seperti nama atau nomor surat), sehingga dapat dikatakan tidak mengacu pada bentuk verbal al-Qur’an.

C. Rumus Keseimbangan Angka
1. Awal Penemuan Rumus
‘Abd al-Razz.q Nawfal, ketika menulis kitab al-Isl.m D.n wa Duny. (1959), menemukan jumlah bilangan kata duny. (dunia) dalam al-Qur’an disebutkan dalam bilangan yang sama dengan akh.rah (akhirat). Selanjutnya ia juga menemukan bahwa kata syay.th.n (setan) dan mal.’ikah (malaikat) disebutkan dalam bilangan yang sama, ketika sedang menulis kitab ‘.lam al-Jinn wa al-Mal.’ikah (1968). Pada awalnya, hal itu tidak dianggap sebagai hal menakjubkan, tetapi setelah ditelusuri di beberapa tempat, ternyata ia menemukan keajaiban dalam bilangan-bilangan kata tersebut.
Fenomena ini memperlihatkan keterkaitan (tan.sub) dan keseimbangan (taw.zun) pada setiap bentuk redaksional yang ditemukan. Bentuk-bentuk ini kemudian dikategorisasi berdasarkan keserupaan (mutam.tsilah), kemiripan (mutasy.bihah), keberlawanan (mutan.qidhah), dan keterhubungan (mutar.bithah). Kategori keserupaan dan kemiripan dapat dianggap sama, sehingga dapat disebut hubungan sinonimitas, yaitu kesamaan jumlah bilangan kata dengan kata sinonimnya. Kategori keberlawanan merupakan kesamaan bilangan suatu kata dengan kata antonim atau lawan katanya. Sedangkan kategori keterhubungan pada umumnya menunjuk bilangan suatu kata dengan kata lain dalam hubungan sebab-akibat atau sebaliknya. Dengan demikian, terdapat tiga kategori dalam fenomena atau diskursus mukjizat ini, yakni keserupaan, keberlawanan dan keterhubungan. Menurut Quraish Shihab, fenomena ini disebut dengan keseimbangan redaksional yang terdiri dari lima kategori.
Menurut Nawfal, fenomena ini merupakan salah satu bentuk i‘j.z al-Qur’.n yang memungkinkan bagi para peneliti atau peminatnya untuk memunculkan wacana tersebut. Hal ini dapat meningkatkan kesempurnaan iman seseorang, bahwa al-Qur’an tidak mungkin tidak sebagai wahyu Allah swt kepada nabi-Nya yang terakhir, karena keadaannya yang di atas kemampuan akal manusia dan makhluk lainnya. Oleh karena itu, diskursus baru dalam mukjizat al-Qur’an ini disebut sebagai al-i‘j.z al-‘adad. (kemukjizatan bilangan angka dalam al-Qur’an yang mulia).
Al-Qur’an menginformasikan bahwa dalam ciptaan Allah terdapat kesesuaian atau keseimbangan, sebagaimana disebutkan dalam Qs. al-Hijr/15: 14 dan Qs. al-Mulk/67: 3. Begitu pula halnya dengan al-Qur’an, selain hanya memberikan informasi dalam hal tersebut, ia juga memiliki prinsip-prinsip kesesuaian, keseimbangan, keserasian, ataupun keterhubungan yang dapat dihitung dengan angka/bilangan. Informasi dan interpretasi seperti ini merupakan salah satu landasan pemikiran tentang adanya kemukjizatan al-Qur’an dalam hal jumlah atau bilangan, khususnya rumus keseimbangan angka.


2. Bentuk-bentuk rumus keseimbangan angka
Bentuk-bentuk keseimbangan bilangan redaksional merupakan hasil penelitian terhadap lafal-lafal (alf.zh) yang menurut hitungan Nawfal secara keseluruhan mencapai jumlah 51.924 kata. Penelitian ini difokuskan pada pola kesamaan makna, keterkaitan maksud, dan kesesuaian lainnya yang ditunjukkan oleh jumlah penyebutannya dalam al-Qur’an. Dari penelitian ini tampak dominasi rumus keseimbangan bilangan redaksi kata-kata tertentu dalam al-Qur’an. Hasil-hasil penelitiannya terhadap kata-kata tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
a. Keseimbangan kata sinonim, semakna atau serupa (mutam.tsilah wa mutasy.bihah)
No. Kata Kata Sinonim/ Semakna/ Serupa Jumlah masing-masing
1 al-la’nah al-karahiyah 41
2 yauma’idz al-qiyamah 70
3 al-bukhl al-hasrah, al-thama’, al-juhud 12
4 al-jabr al-qahr, al-‘uthuww 10
5 al-‘ajab al-ghurur 27
6 al-harb al-asra 6
7 al-ghawayah (al-khata’, al-khathi’ah) 22
8 al-fakhsya’ al-baghy 24
9 al-istm (al-fakhsya’, al-baghy) 48
10 al-asbath al-hawariyun, (al-ruhban, alqissisun) 5
11 al-harts al-zira’ah, al-fakihah, al-atha’ 14
12 al-syajar al-nabat 26
13 al-albab al-af’idah 16


b. Keseimbangan kata berlawanan makna (mutan.qidhah)
No. Kata Lawan Kata Jumlah masing-masing
1. Al-dunya Al-akhirah 115
2. Al-syayathin Al-mala’ikah 68 atau 88
3. Al-hayah Al-mawt 71
4. (al-basyar, al-basyirrah) (al-qalb,al-fu’ad) 148
5. Al-naf’u Al-fasad 50
6. (al-shayf, al-harr) (Al-syita’, al-bard) (1+4=)5
7. Al-ba’ts (qiyam al-mauta) al-shirath 45
8. Al-sayyi’at Al-shalihat 167
9. Al-dhayyiq Al-thuma’ninah 13
10. Al-kufr Al-iman 25
11. Al-jahr Al-‘alaniyah 16
12. Al-syiddah Al-shabr 102
13. Al-raghbah Al-rahbah 8

c. Keseimbangan dalam hubungan/keterkaitan (mutar.bithah) antar kata.
No. Kata Kata Terkait Jumlah masing-masing
1. al-jahim al-iqab 26
2. al-fahisyah al-ghadhah 24
3. al-ashnam al-khamr, al-baghdha’, al-hasbab, al-tankil, al-hasad, al-ru’b, al-khaybah, al-khinzir 5
4. al-rijs al-rijz 10
5. al-thuhr al-ikhlash 31
6. al-iman (al-ilm, al-ma’rifah) 811
7. al-nas al-rusul 368
8. al-insan mata’uh: rizq, mal, banun 368
9. al-furqan bani Adam 7
10. al-malakut, ruh al-quds Muhammad, al-siraj 4
11. al-ruku’ al-hajj+al-thuma’ninah 13
12. al-Qur’an al-mala’ikah 68
13. al-qur’an al-wahy, al-Islam 70
14. risalah (Allah) Suwar (al-Qur’an) 10
15. al-iblis al-fitnah 11
16. al-sihr al-syukr 23
17. al-mushibah al-ridha 75
18. al-infaq al-khubts 73
19. al-khiyanah (al-nas+al-hariq) 16
20. al-kafirun al-mawta 154
21. al-dhallun al-jihad 17
22. al-muslimun al-masajid 41
23. al-din al-masajid 92
24. al-tilawah al-shalihat 62
25. al-shalah al-najah, al-mala’ikah, al-qur’an 68
26. al-zakah al-barakat 32
27. al-shiyam al-shabr, al-darajat 14
28. al-shauwm al-syafaqah 10
29. al-‘aql al-nur 49
30. al-lisan al-mau’izhah 25
31. al-salam al-thayyibat 50
32. al-huda al-rahmah 79
33. al-mahabbah al-tha’ah 83
34. al-birr al-tsawah 20
35. al-qunut al-ruku’ 13
36. al-qalil al-syukr 75
37. al-nuthfah al-thin, al-syaqa’ 12
38. al-mashir al-abad, al-yaqin 28
39. al-ayat (al-nas, al-malaikah, al-‘alamun) 382
40. al-ayat (al-ihsan, al-khayrat) 382
41. nama-nama rasul (asma’ al-rusul) (al-rusul, al-nabi, al-basyir, al-nadzir) 518
42. al-Qur’an (al-nur, al-hikmah, al-tanzil) 68
43. al-Qur’an (al-bayyinat, mubayyinat, maw’idhah, syifa’) 68
44. Muhammad Ruh al-quds, al-malakut, al-siraj, al-syari’ah 4
45. Qalu Qul 332
46. al-his’ib (al-‘adl, al-qisth) 29
47. al-ajr al-fi’l 108

Fenomena yang menarik pula adalah adanya isyarat dari suatu ayat tentang lafal-lafal tertentu yang kemudian dapat diteliti jumlahnya dalam al-Qur’an. Seperti tersebut dalam Qs. al-Ahz.b/33: 35, kata-kata al-muslim.n sampai dengan al-dz.kir.t disebutkan seluruhnya sebanyak 259 kali. Angka ini merupakan bilangan yang sama dengan jumlah keseluruhan dari kata-kata al-ajr, al-fath, dan al-‘azh.m, yang juga disebutkan dalam ayat yang sama.
Termasuk hasil penghitungan Nawfal adalah ditemukannya kata-kata dengan kategorisasi di atas namun tidak menghasilkan bilangan yang seimbang. Bentuk ini dinyatakan dengan perbandingan atau kelipatan dari bilangan kata pertama terhadap kata kedua. Bentuk ini ternyata terdiri dari perbandingan 1 : 2, atau kelipatan 2, seperti yang dapat ditemukan pada:
No. Kata Kata Jumlah
1. al-rahman al-rahim 57 : 114
2. al-abrar al-fujjar 3 : 6
3. al-‘usr alyusr 12 : 36
4. al-jaza’ al-maghfirah 117 : 234
5. al-dhalalah al-ayat 191 : 382

Menurut hemat penulis, hasil penghitungan ini tidak memberikan kontribusi untuk membuktikan atau mendukung rumus keseimbangan angka, jika dibandingkan dengan daftar kata-kata tersebut di atas. Namun, hal ini dapat digunakan untuk menguatkan adanya prinsip keserasian dalam bilangan kata, meskipun tidak berarti keseimbangan dalam jumlah. Kelima bentuk di atas menunjukkan bentuk keserasian dalam perbandingan jumlah kata, yakni 1 berbanding 2.

3. Teknik penghitungan
Menurut hemat penulis, teknik penelusuran Nawfal—dilihat dari pandangan terhadap kata acuannya—dapat digolongkan dalam dua macam cara, yakni ta‘m.m dan takhs.sh. Cara pertama, ta‘m.m, adalah dengan melihat suatu kata dalam berbagai macam derivasi (isytiq.q, bentukan) dan atributnya. Teknik ini mendominasi sebagian besar penelitiannya, sehingga terkesan jika tidak bersama dengan kata-kata derivasinya, maka tidak diperoleh bilangan yang sama.
Termasuk dalam bentuk kata derivasi adalah perubahan (tashr.f) dari asal kata kerja lampau (fi‘l m.dh.) ke bentuk-bentuk yang lain, seperti fi‘l mudh.ri‘, fi‘l amr, ism mashdar, ism f.‘il, ism maf‘.l, zharf, dan sebagainya dalam bentuk mufrad, mutsann., jamak, dan bentuk maz.d-nya. Bahkan, perbedaan atribut dham.r (pronoun, kata ganti), kedudukan kata, atau harakat kadang-kadang termasuk kategori kata derivasi.
Misalnya, dengan kata-kata derivasinya, kata al-rijs dapat dihitung 10 kali. Namun, jika tanpa kata-kata derivasinya, hanya diperoleh angka 8, karena dua di antaranya tersebut dalam bentuk: rijs(an) dan rijs(ihim). Begitu pun dengan kata sinonimnya, al-rijz tanpa derivasinya hanya disebut 6 kali, dan sisanya dalam bentuk: al-rujz(a) (1 kali), rijz(an) (3 kali), dan rijz(in) (1 kali).
Sedangkan cara takhsh.sh yaitu dengan melihat kekhususan suatu kata berdasarkan jenis atau macamnya. Misalnya, khamr dalam al-Qur’an dihitung sebanyak 6 kali, namun dengan teknik takhsh.sh dihitung 5 kali untuk jenis minuman di dunia, sedangkan sisanya adalah untuk minuman di surga. Contoh takhsh.sh yang lain, al-Qur’an dihitung sebanyak 68 kali dengan tidak menghitung dua kata qur’.nah(u) dalam Qs. al-Qiy.mah/75: 17-18, karena berarti mengumpulkan atau membaca. Kata al-wahyu juga dikhususkan dengan tidak memasukkan jenis wahyu untuk semut dan bumi, atau wahyu dari rasul kepada umatnya.
Selain meneliti kata, bagian yang menjadi objek hitung dapat berupa kalimat tertentu. Kalimat yang terulang dalam al-Qur’an dengan bilangan tertentu kemudian dicarikan kata lain yang mempunyai makna yang serupa, mirip atau dapat dikaitkan. Misalnya, dalam al-Qur’an disebutkan kalimat: khalaq al-sam.w.t wa al-ardh f. sittah ayy.m sebanyak 7 kali. Jumlah ini sebanding dengan jumlah kata al-shaff (barisan) dan derivasinya.
Dilihat dari penggunaan kata beserta derivasinya, dijumpai beberapa variasi hubungan antara satu kata dengan yang lain. Antara lain:
1. menghubungkan antara kata (tanpa derivasi / lafzh bi l. musytaq.tih) dengan kata lain (beserta derivasi / lafzh bi musytaq.tih), seperti: muslim.n dengan jih.d.
2. menghubungkan antara kata (beserta derivasi) dengan kata lain (tanpa derivasi), seperti: til.wah dengan sh.lih.t.
3. menghubungkan antara kata (tanpa derivasi) dengan kata lain (tanpa derivasi), seperti: shawm dengan syafaqah.
4. menghubungkan antara kata (beserta derivasi) dengan kata lain (beserta derivasi), seperti: al-birr dengan al-tsaw.b.
5. menghubungkan antara kata (tanpa derivasi) dengan kelompok kata lain (tanpa derivasi), seperti: al-Qur’.n dengan al-n.r, al-hikmah, al-tanz.l.
6. menghubungkan antara kata (beserta derivasi) dengan kata-kata lain (tanpa derivasi, maupun beserta derivasi), tetapi masing-masing memiliki bilangan yang sama, seperti: shawm (beserta derivasi) dengan shabr (tanpa derivasi), daraj.t (tanpa derivasi) dan syafaqah (beserta derivasi).
Singkatnya, penyelidikan ini ditujukan untuk menemukan kata dengan tema-tema yang mirip (mutasy.bihah), berkaitan (mutar.bithah), berlawanan (mutan.qidhah) dan mempunyai bilangan yang sama (mutas.wiyah) atau angka yang berhubungan (mutan.sibah). Proses penghitungan itu dilakukan dengan kombinasi antara prinsip ini dengan teknik pencarian kata tersebut di atas.
Berdasarkan surat al-Sy.r./42: 17, Nawfal meyakini bahwa lafal-lafal al-Qur’an harus memiliki prinsip mutas.wiyah (kesamaan) dan mutaw.zinah (keseimbangan). Yang dimaksud dengan kesamaan bilangan (al-tas.w. al-‘adad.) adalah adanya jumlah bilangan yang sama antara suatu kata dengan kata lain, dalam tema yang berkaitan. Contoh: lafal q.lu (oleh makhluk) tersebut sebanyak 332 kali, begitu pula dengan lafal qul (perintah Allah kepada makhluk) juga sebanyak 332. sedangkan yang dimaksud dengan hubungan angka (al-tan.sub al-raqm.) adalah korelasi antara suatu kata dengan kata lain—dalam tema yang sama—yang ditunjukkan dengan operasi pembagian, perkalian, atau perbandingan. Contoh: lafal al-nubuwwah disebutkan sebanyak 80 kali, sedangkan al-sunnah sebanyak 16 kali, sehingga: 80 : 16 = 5; atau 80 : 16 = 5, atau 80 = 16 x 5 (kelipatan lima). Contoh lain: lafal al-jahr disebutkan sebanyak 16 kali, dan al-sirr sebanyak 32 kali, sehingga: 16 : 32 = 1 : 2.

D. Rumus Kesesuaian Angka dengan Realitas
1. Awal Penemuan Rumus
Penelitian angka-angka dalam al-Qur’an yang dilakukan oleh Ab. Zahr.’ al-Najd. didasarkan pada hasil penemuan ‘Abd Razz.q Nawfal tentang keseimbangan angka. Al-Najd. menyebutkan: “Jumlah kata-kata dalam al-Qur’an yang menegaskan kata-kata lain ternyata jumlahnya sama dengan jumlah kata-kata al-Qur’an yang menjadi lawan atau kebalikan dari kata-kata tersebut, atau di antara keduanya ada nisbat kebalikan atau kontradiktif.” Pernyataan ini merupakan salah satu inti sari hasil penelitian Nawfal.
Al-Najd. menambahkan bahwa apabila jumlah kata-kata yang ada dalam al-Qur’an merupakan mukjizat, maka begitu pula dalam huruf-hurufnya. Baginya, mukjizat dalam al-Qur’an tidak hanya terbatas pada ayat-ayat, makna-makna, prinsip-prinsip dan dasar-dasar keadilan, dan pengetahuan gaib, tetapi juga termasuk jumlah-jumlah (bilangan) yang ada dalam al-Qur’an sendiri. Termasuk dalam kategori jumlah tersebut adalah pengulangan kata dan hurufnya.
Penelitian yang dilakukan oleh al-Najd. menggunakan asumsi-asumsi awal yang berbeda dengan ‘Abd al-Razz.q Nawfal. Al-Najd. menceritakan pengalamannya ketika mengatakan kepada dirinya sendiri, misalnya apabila kata “yawm” (hari) disebutkan sebanyak 365 kali dan kata “syahr” (bulan) sebanyak 12 kali, barangkali kata “s.‘ah” (jam) disebutkan sebanyak 24 kali. Ketika ia membuka kitab al-Mu‘jam al-Mufahras li Alf.zh al-Qur’.n al-Kar.m, kata al-s.‘ah ternyata tersebut sebanyak 48 kali, padahal seharusnya 24 kali sesuai dengan jumlah jam dalam sehari semalam. Meskipun demikian, dengan asumsi bahwa 24 kata tersebut memiliki karakteristik khusus dari 48 kata tersebut, ia menemukan kata “s.‘ah” disebutkan 24 kali dengan didahului oleh harf, sehingga sesuai dengan jumlah jam dalam sehari semalam.

2. Bentuk-bentuk Rumus Kesesuaian
Beberapa bentuk mukjizat angka yang dinyatakan sesuai dengan realitas oleh Ab. Zahr.’ al-Najd. adalah sebagai berikut:
a. Dua puluh empat jam. Kata al-s.‘ah yang didahului dengan harf—tidak didahului oleh ism maupun fi‘l—tersebut sebanyak 24 kali sesuai dengan jumlah jam dalam sehari-semalam.
b. Tujuh langit. Kata sab‘u yang berkaitan dengan sam.w.t (langit), sebelumnya atau sesudahnya, disebutkan sebanyak 7 kali sesuai dengan jumlah langit dan jumlah hari dalam seminggu.
c. Bilangan sujud. Kata suj.d yang dilakukan oleh mereka yang berakal disebutkan sebanyak 34 kali. Jumlah ini sesuai dengan jumlah sujud dalam shalat lima waktu (17 rakaat).
d. Shalat lima waktu. Al-Qur’an menyebutkan kata shalaw.t sebanyak lima kali sesuai dengan jumlah shalat wajib sehari semalam; subuh, zuhur, asar, maghrib dan isya.
e. Shalat fardhu dan sunat. Kata shal.h berikut turunan katanya, disertai dengan kata qiy.m berikut turunan katanya, disebutkan sebanyak 51 kali. Jumlah ini sesuai dengan jumlah rakaat shalat, yaitu 17 rakaat shalat fardhu, ditambah dengan 34 rakaat shalat sunat.
f. Perintah mendirikan shalat. Kata kerja perintah (fi‘l amr) aqim atau aq.m. (dirikanlah) yang diikuti kata shal.h disebut sebanyak 17 kali, sesuai dengan jumlah rakaat shalat fardhu (17 rakaat).
g. Rakaat shalat fardhu. Kata faradha berikut turunan katanya dengan pengertian far.dhah (kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan) disebutkan sebanyak 17 kali sesuai dengan jumlah rakaat shalat.
h. Bilangan rakaat shalat di perjalanan. Kata qashr (meringkas) berikut turunan katanya disebut sebanyak 11 kali sesuai dengan jumlah rakaat shalat harian di perjalanan yaitu 11 rakaat (setelah diringkas).
i. Basuhan dalam wudhu. Kata ghusl (membasuh) dengan air berikut turunan katanya disebut sebanyak 3 kali, sesuai dengan jumlah basuhan dalam wudhu yang diperintahkan Allah, yaitu membasuh muka, membasuh tangan kanan, dan membasuh tangan kiri.
j. Usapan dalam wudhu. Kata imsah. (perintah jamak untuk mengusap) disebut sebanyak 3 kali sesuai dengan bilangan usapan yang wajib dalam wudhu, yaitu mengusap kepala, mengusap mengusap kaki kanan, dan mengusap kaki kiri.
k. Rasul ul. al-‘azm. Kata ‘azm disebut sebanyak 5 kali sesuai dengan jumlah rasul yang termasuk ul. al-‘azm.
l. Thaww.f dan sa‘y. Kata thaww.f berikut kata turunannya disebut sebanyak 7 kali. Bilangan ini sesuai dengan jumlah thaww.f mengelilingi Ka‘bah dan ketika sa‘y, antara bukit Shaf. dan Marwah.
m. Kiblat dan thaww.f. Kata qiblah disebut sebanyak 7 kali sama dengan jumlah thaww.f di sekeliling Ka’bah sebagai kiblat
n. Mi‘r.j dan langit. Kata ‘araja (dalam pengertian naik ke langit) dan turunan katanya disebut sebanyak 7 kali, sesuai dengan jumlah langit yang disebutkan al-Qur’an.
o. Laki-laki dan perempuan. Kata rajul (laki-laki) secara berdiri sendiri disebut sebanyak 24 kali, seperti jumlah penyebutan kata imra’ah (perempuan).
p. Nama Nabi Muhammad saw. Nama Muhammad disebut sebanyak 4 kali. Bilangan ini—dikatakan—sesuai dengan jumlah namanya yang disebut dalam iq.mah (2 kali), tasyahhud awwal (1 kali), dan tasyhahhud akh.r (1 kali).
q. Perbandingan darat dan laut. Kata al-barr (darat) disebut sebanyak 12 kali, sedangkan al-bahr (laut)—baik mufrad, mutsann., dan jamaknya—disebut sebanyak 40 kali. Perbandingan tersebut (12:40) dinyatakan sama dengan perbandingan antara daratan dan lautan di planet bumi.
Selain bukti-bukti di atas, Ab. Zahr.’ al-Najd. juga menyuguhkan tendensi terhadap mazhab tertentu, dalam hal ini adalah Sy.‘ah. Bukti yang ditampilkan tidak hanya memperkuat aliran ini, tetapi juga menyinggung pihak lawan, dengan menggunakan rumus kesesuaian angka ini.
Bukti-bukti tersebut berkaitan tentang jumlah imam setelah Rasulullah saw yang diakui oleh Sy.‘ah, yakni sebanyak 12 orang. Bilangan ini sesuai dengan beberapa kata yang ditunjuknya yang memiliki bilangan penyebutan sebanyak 12 kali. Kata-kata yang disebutkan dalam al-Qur’an dalam bilangan ini adalah:
a. kata im.m beserta turunan katanya,
b. kata khal.fah dan turunan kata bendanya,
c. kata washiyyah (dalam arti wasiat dari Allah kepada makhluk-Nya) dan turunan katanya,
d. kata syah.dah (bangkit bersaksi) berikut turunan katanya,
e. ungkapan hum al-muflih.n dalam al-Qur’an,
f. ungkapan ashh.b al-jannah dalam pengertian surga yang ditetapkan Allah bagi orang-orang yang benar,
g. kata ishthaf. (memilih) berikut turunan katanya,
h. kata kerja ya‘shimu (memelihara kesucian) berikut turunan katanya,
i. kata .lu (jamak dari ahl, keluarga) yang disandarkan kepada nama-nama terpuji, seperti Ibr.h.m dan ‘Imr.n,
j. kata m.lik dalam pengertian penguasa,
k. kata ‘.mil (pelaksana pemerintahan), dalam bentuk tunggal atau jamak,
l. kata kerja ijtab. (mengangkat/memilih) berikut turunan katanya,
m. kata al-birr dari kata al-abr.r (baik), bukan dari kata al-barr (daratan), berikut turunan katanya,
n. kata sy.‘ah (pengikut) berikut turunan katanya,
o. kata najm dan nuj.m (bintang),
p. kata ruhb.n (bentuk jamak dari r.hib, orang suci),
Sedangkan kata-kata yang jumlah bilangannya dijadikan penguat )tudungan) untuk golongan lain adalah seperti firqah dan sulth.n. Kata firqah (golongan) beserta turunan katanya disebut dalam al-Qur’an sebanyak 72 kali. Bilangan ini sesuai dengan banyaknya firqah yang menyimpang dari agama yang benar, yang diajarkan Rasulullah saw. Selain itu kata sulth.n (penguasa) disebutkan sebanyak 37 kali dinyatakan sesuai dengan penyebutan kata nif.q (munafik) yang juga sebanyak 37 kali.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Ab. Zahr.’ al-Najd., dapat disimpulkan suatu rumus kesesuaian dengan realitas. Bukti-bukti yang diungkapkan menunjukkan pola-pola kesesuaian antara jumlah bilangan kata dengan realitas yang dimaksud. Namun, bukti-bukti tersebut terakhir dalam penjelasannya menunjukkan kecenderungan pada mazhab tertentu, dalam hal ini adalah mazhab Sy.‘ah.
Kritik-kritik terdahulu tentang rumus kesesuaian angka dengan realitas ini tidak banyak terungkap dalam diskursus mukjizat ini. Sepintas lalu dapat ditemukan celah kritik (jarh) terkait tentang pemaknaan dan pemaksaan realitas-realitas yang sesuai, baik dalam wilayah ilmu pengetahuan alam (science), syariat agama, ataupun mazhab tertentu. Selain itu, terkesan bahwa di antara pembuktian-pembuktian ini dimanfaatkan untuk memperkuat golongan tertentu.

3. Teknik penghitungan
Teknik penghitungan kata yang dilakukan oleh al-Najd. memiliki kesamaan dengan teknik Nawfal. Teknik tersebut adalah ta‘m.m (melihat keumuman suatu kata dalam berbagai macam derivasi (isytiq.q, bentukan) dan takhs.sh (melihat kekhususan suatu kata berdasarkan jenis atau macamnya).
Teknik ta‘m.m, oleh al-Najd., dilakukan seperti pada penghitungan kata im.m berikut turunannya tersebut sebanyak 12 kali. Dalam hal ini tidak dilihat bentuk mufrad-jamaknya, ataupun artinya. Sejumlah kata im.m—yang dihubungkan dengan jumlah khalifah menurut golongan Syi‘ah—tersebut memiliki beragam arti, antara lain: pemimpin, pedoman, jalan umum, dan kitab induk. Ragam bentuk dan arti tersebut tidak berpengaruh dalam inventarisasi kata yang diinginkan.
Sedangkan teknik takhsh.sh, antara lain, diaplikasikan pada saat ia menghitung kata s.‘ah. Ketika meghitung kata tersebut dan menemukan 48 kata, ia mencari kekhususan kata-kata tersebut, yaitu yang didahului dengan harf. Dengan teknik ini diperoleh bilangan 24 kata dihubungkan dengan 24 jam dalam sehari-semalam. Al-Najd. tidak melihat arti dari kata tersebut, sehingga mempersamakan antara kata yang berarti hari kiamat dan waktu/saat dengan jam.
Selanjutnya, setelah memperoleh bilangan yang dimaksud, al-Najd. mencarikan realitas yang sesuai dengan bilangan tersebut. Khazanah realitas yang dimaksud olehnya adalah seperti ilmu pengetahuan (sains), ajaran syariat (dari al-Qur’an-hadis), dan ajaran/sejarah mazhab yang dianutnya.

D. Rumus Keajaiban Angka 11
1. Awal Penemuan Rumus
Rosman Lubis menganggap rumus angka 11 sebagai pasangan angka 19, sebagaimana penemuan Rashad Khalifa. Asumsi ini didasarkan pada beberapa fakta yang mudah dilihat dalam al-Qur’an, khususnya yang disebutnya dengan mushaf ‘utsm.n., yaitu:
a. Dua surat terakhir (surat al-Falaq/113 dan al-N.s/114) terdiri dari 11 ayat.
b. Ayat ke-4 dan ke-7 surat al-F.tihah/1 terdiri dari 11 dan 44 (11x 4) huruf.
c. Huruf pertama al-Qur’an adalah b.’ (abjad ke-2) dan huruf terakhir dari ayat terakhir adalah s.n (abjad ke-12). Dari 2 sampai dengan 12 adalah 11 angka.
d. Surat Muhammad berada pada nomor surat 47 (4 + 7 =11), dan terdiri dari 38 ayat (3 + 8 = 11).
e. Jumlah surat-surat makkiyyah adalah 19/30 bagian dari al-Qur’an dan surat- surat madaniyyah adalah 11/30 bagian.
Bila angka 19 menyiratkan makna keesaan Allah, maka angka 11 oleh Lubis dianggap menyiratkan nama Allah itu sendiri. Kata All.h terdiri dari beberapa huruf hij.’iyyah (alif, l.m, l.m, h.’) dengan nilai numerik: 1, 30, 30, 5 dengan jumlah 66 (11x 6). Selain dari nilai numerik tersebut, hal itu didukung juga dengan nomor-nomor abjad hij.’iyyah: 1, 23, 23, 27 yang dijumlahkan menjadi 74 (7 + 4 = 11).
Menurut Lubis, sistem hitung al-Qur’an dengan angka kunci 11 dinilai sangat canggih karena ditemukan keteraturan-keteraturan luar biasa dalam banyak bagian dari al-Qur’an dengan tingkat kesulitan tak terhingga. Sistem ini menyangkut angka-angka mulai dari dua digit hingga ratusan digit, dan diperoleh dari angka-angka yang tersembunyi dibalik huruf-huruf al-Qur’an. Angka dengan digit hingga ratusan ini bukan hanya tampak pada hasil penjumlahan, tetapi juga pada rangkaian angka-angka tertentu yang menjadi satu kesatuan angka.

2. Bentuk Rumus Angka 11
Terdapat puluhan data hasil hitungan yang disuguhkan oleh Rosman Lubis yang dirangkum dalam 22 bab/kelompok, yaitu sebagai berikut: awal penemuan, kelompok 11 ayat pertama (surat al-F.tihah/1: 1-7 dan surat al-Baqarah/2: 1-4); surat Y.s.n; surat al-Ikhl.sh; surat-surat yang diawali oleh huruf-huruf muqaththa‘ah; huruf-huruf awal juz yang dicetak tebal; ayat-ayat tentang waktu; ayat tentang jari-jari tangan manusia; ayat kursi; pembukaan surat-surat al-Qur’an; awal turunnya al-Qur’an; ayat-ayat yang pertama turun; empat surat yang berhubungan dengan masa turunnya; ayat-ayat al-Qur’an dengan jumlah huruf 11; al-asm.’ al-husn.; penempatan nama-nama Allah; nomor surat dan jumlah ayatnya; ayat al-Qur’an tentang angka 11; dan juga alam semesta.
Berikut ini adalah deskripsi singkat atas sebagian hasil penghitungan yang dilakukan Rosman Lubis:
a. Angka 11 dalam kata iqra’
Kata pertama (iqra’) yang turun kepada Nabi Muhammad terdiri dari 5 huruf, yaitu: alif, q.f, r.’, alif, hamzah. Dalam daftar nilai numerik dan nomor huruf abjad hij.’iyyah terlihat bahwa angka-angka yang menyertai ke-5 huruf kata “iqra’” adalah:
1) alif : 1 + 1 = 2
2) qaf : 100 + 21 = 121
3) ra’ : 200 + 10 = 210
4) alif : 1 + 1 = 2
5) hamzah : - + 28 = 28
Jumlah = 363

Total nilai angka dalam kata iqra’ adalah 363 = 11x 33.
Dengan model penghitungan ini, Lubis melakukan penghitungan dengan:
 menjumlahkan antara nomor urut huruf hij.’iyyah dengan nilai numeriknya,
 menganggap alif adalah huruf hij.’iyyah pertama dengan nilai numerik: 1, sedangkan hamzah adalah huruf ke-28 dengan nilai numerik: 0.
 menganggap hamzah yang ditulis dengan alif dan hamzah dihitung dua huruf.
b. Angka 11 dalam nomor surat dan jumlah ayat
Rosman Lubis membuat suatu daftar surat-surat al-Qur’an dengan nama surat sejenis, disertai dengan nomor surat dan jumlah ayatnya. Ia mengelompokkan beberapa surat al-Qur’an ke dalam 12 macam, yaitu surat dengan nama: nabi; manusia teladan; manusia/golongan/julukan; suku/ bangsa; tempat/benda; huruf-huruf potong (muqaththa‘ah); sifat Allah swt; keadaan hari kiamat; hari kiamat; penggalan waktu; istilah hukum; dan benda-benda langit tunggal. Dalam daftar yang dibuat oleh Lubis dari pengelompokan surat ini, ia menyusun total angka menjadi 319, 330, 341, 385, 495, 627, 748, 759, 924, 1749, 1958 yang habis dibagi 11. Namun, urutan angka-angka ini tidak berdasarkan urutan kelompok surat seperti yang telah disusun di atas.
Rosman Lubis juga mengungkapkan fakta lain adanya 26 surat-surat al-Qur’an yang jumlah ayatnya 11/ kelipatan 11/ unsur 11. Jumlah nomor surat dari 26 surat ini adalah: 1244, dimana: 1+2+4+4= 11. Nomor-nomor surat ini dalam penulisan ke samping secara berderet juga merupakan satu kesatuan angka dalam 110 digit yang habis dibagi 11.
c. Angka 11 dalam surat al-F.tihah
Sebagai konsekuensi menghitung tulisan yang nyata, apabila terdapat perbedaan dalam jumlah ayat atau tulisan, misalnya dalam surat al-F.tihah, ia mengikuti fakta yang tertera dalam mushaf al-Qur’an itu sendiri. Ketika pada akhir ayat basmalah tertulis angka 1, maka ini adalah ayat ke-1 dari surat al-F.tihah. Begitu pula dalam penulisan (ملك) dan ( الرحمن ), ia hanya menghitung apa yang ada di mushaf tersebut. Ia mengakui ada perbedaan jumlah huruf dan jumlah nilai numerik apabila terdapat huruf alif di dalam kata tersebut.
Dalam pencarian keajaiban dari surat al-F.tihah, ia membuat tabulasi atau daftar huruf-huruf dari surat ini beserta nilai numerik dan nomor abjadnya, dari ayat 1 hingga 7. Dari data ini, kemudian ia membuat daftar pemakaian huruf-huruf dalam al-F.tihah, serta daftar jumlah pemakaian huruf, nilai numerik dan abjadnya. Dengan menyusun jumlah huruf tersebut berdasarkan huruf-huruf dalam kata All.h, Jibr.l, al-Qur’.n dan Muhammad, diperoleh angka dengan kelipatan 11 dalam 17 digit. Selanjutnya, dengan total angka dari nilai numerik dan nomor abjad dengan susunan dari alif sampai y.’ diperoleh angka kelipatan 11 dalam 63 digit.
Suguhan angka-angka ini mungkin terlihat fantastis dan ajaib, namun menyimpan persoalan dalam penghitungan awal yang berakibat pada hitungan selanjutnya. Berdasarkan sampel dari al-F.tihah ini, Rosman Lubis ternyata menghitung huruf hamzah sebagai alif. Hal itu mungkin sekali karena dalam versi mushaf standar Indonesia huruf hamzah di awal kata selalu ditulis alif, dan itu tidak dibedakan. Selain itu, dengan versi rasm (tulisan) atau mushaf yang berbeda dari rasm ‘utsm.n., maka dalam kata al-shir.th terdapat huruf alif, padahal dalam rasm ‘utsman. ditulis tanpa alif. Persoalan lain yang sangat mempengaruhi adalah penggunaan sistem huruf abjad hij.’iyyah dan sistem numerologi yang kurang valid, baik sumber perolehan (reference) maupun pengaplikasiannya.
Secara umum perlu digarisbawahi bahwa perhitungan ini menggunakan pedoman: kombinasi tiga model penghitungan (pemampatan, kelipatan dan unsur angka 11); huruf-huruf yang dihitung adalah huruf yang nyata dalam mushaf; daftar nilai numerik huruf abjad; dan rangkaian angka-angka dengan susunan yang disesuaikan dengan kepentingan hasil.
d. Angka 11 dalam ayat tentang waktu
Hasil penghitungan lain yang tampaknya menakjubkan seperti terdapat pada penggunaan angka-angka yang dilekatkan untuk waktu tertentu (malam, hari, bulan, tahun) yang terdiri dari 33 macam (tanpa pengulangan). Angka-angka tersebut adalah:
a. Malam: 1/3, ½, 2/3, 3, 7, 10, 30, 40;
b. Hari: ½, 1, 2, 3, 7, 8, 10;
c. Tahun: 2, 7, 8, 10, 9, 300, 40, 50, 100, 1000, 50.000;
Total keseluruhan dari angka-angka untuk penunjuk waktu tersebut adalah 52.701 (11 x 4.791).
Berbeda dengan penghitungan sebelumnya, contoh kasus ini tampak elegan karena hanya menghitung bilangan yang disebutkan al-Qur’an (meskipun dalam kategori jenisnya dan tanpa pengulangan). Dalam hal ini tidak diperlukan menghitung bilangan angka di luar al-Qur’an, seperti nomor urut atau nilai numerik huruf. Hanya saja, bukti yang seperti ini masih minor, sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut.

3. Teknik penghitungan
Penelitian Lubis ini melihat keteraturan dalam al-Qur’an berdasarkan tulisan dalam mushaf standar Indonesia. Ciri-ciri khusus yang terdapat dalam mushaf yang ditelitinya antara lain: huruf-huruf pada awal juz memakai cetak tebal yang jumlahnya antara 2 sampai 11; dan tiap-tiap satu kelompok ayat diberi tanda berupa huruf ‘ain (ع, atau disebut tanda ruku‘) pada sisi kanan dan kiri halaman yang seluruhnya adalah : 554 tanda ‘ain. Seperti halnya Khalifa, hitungan ini disandarkan pada bentuk-bentuk tulisan yang tampak (nyata) dalam mushaf tersebut.
Dari bentuk tulisan nyata dari al-Qur’an tersebut diperoleh bentuk-bentuk huruf, kata, penomoran (ayat, juz, surat), baris dan sebagainya. Selanjutnya, bentuk ini menjadi objek penghitungan untuk mendapatkan bukti adanya rumus yang dimaksud. Lebih lengkapnya, objek hitung yang dimaksud adalah:
a. jumlah ayat
b. nama Allah
c. nomor urut huruf dalam ayat
d. nomor ayat
e. nilai numerik
f. nomor abjad
g. jumlah huruf tiap ayat
h. jumlah huruf tertentu
i. jumlah baris tulisan
j. huruf awal dan akhir tiap baris
k. nomor baris
l. titik tengah ayat-ayat
m. titik tengah ayat
n. huruf urutan 11/kelipatan 11
o. kata-kata tertentu
p. huruf-huruf tertentu
q. selisih nomor surat
r. selisih nomor ayat
s. huruf-huruf awal, tengah dan akhir masing-masing 11
t. nomor huruf awal
u. huruf awal surat
v. bilangan waktu
w. huruf yang tidak diikutkan
x. kata/nama yang tidak diikutkan
y. huruf dalam nama Allah saja, atau juga ditambah Jibril, al-Qur’an dan Muhammad.
Dengan objek yang dibidik dari mushaf ini diperoleh suatu bilangan angka, yang terdiri dari nilai numerik, nomor abjad, nomor surat, jumlah ayat tiap surat, jumlah huruf tiap ayat dan sebagainya. Dengan menyusun beberapa bagian angka-angka tersebut, maka rangkaian tersebut dianggap sebagai satu angka utuh yang—menurut perhitungannya—menunjukkan dominasi angka 11.
Untuk membuktikan angka 11 tersebut, ditetapkan tiga versi teknik penghitungan, yaitu:
a. jumlah dari deretan angka-angka habis dibagi 11, misalnya: 2, 3, 4, 5, 8 jumlahnya: 22 atau 11 x 2.
b. jumlah dari deretan angka-angka, komponen-komponennya berjumlah 11, misalnya: 2, 3, 4, 5, 8, 7 jumlahnya 29, kemudian 2 + 9 = 11.
c. deretan angka-angka merupakan satu kesatuan angka yang habis dibagi oleh angka 11, misalnya: 2, 3, 4, 5, 6, 7, 3 merupakan kesatuan angka 2345673 (dalam tujuh digit) yang habis dibagi 11 dengan hasil 213243.
Dari teknik hitung ini, pencarian angka 11 dalam al-Qur’an dilakukan dengan salah satu atau pun ketiganya sekaligus. Artinya, deret angka-angka yang telah diperoleh dari objek tersebut diteliti dengan tiga teknik ini sehingga didapatkan angka 11. Jika hasilnya tepat dengan angka ini, maka bukti keajaiban angka 11 telah ditemukan.
Kelebihan yang ditunjukkan dalam proses perhitungan angka 11 ini, menurut penulis, terletak pada variasi kombinasi objek dan teknik penghitungan dan kejelian dalam membidik objek. Kombinasi beberapa objek hitung secara variatif membuka jalan untuk lapangan penelitian selanjutnya untuk pencarian rumus-rumus tertentu. Apabila melihat hasil yang diperoleh dari penghitungan tersebut, maka penelitian ini telah menunjukkan sajian angka-angka yang dianggap luar biasa, fantastik dan artistik. Hasil-hasil akhir yang diperoleh ternyata banyak bersesuaian dengan rumus angka yang dimaksud oleh peneliti.
Namun demikian, secara scanning (lihat/baca cepat), begitu mudah dijumpai banyak kesalahan dalam pembacaan terhadap huruf-huruf dan pendekatan yang digunakan, meskipun dalam teknik penghitungan akhir (matematis) tidak terlalu banyak menyisakan persoalan. Persoalan lain yang menunjukkan sisi kelemahan adalah penggunaan sistem numerik/numerologi yang tidak valid dan konsisten.
Lihat Na‘im al-Himshi, Fikrah I‘jaz al-Qur’an, (Beirut: Mu’assaah al-Risalah, 1980), h. 279
Ibid. Kajian ini dimulai dengan tafsir al-Fatihah dan selanjutnya al-Baqarah. Ketika membahas pembuka surat ini, ia berhenti pada tiga huruf (alif-lam-mim). Menurutnya, para mufassir kebanyakan mempunyai penafsiran yang relatif seragam dengan mengatakan: wa Allah a‘lam (dan Allah lebih mengetahui). Kemudian, ia mulai berusaha keras memahami ayat ini selama empat tahun sehingga mendapatkan petunjuk yang mengantarkannya untuk menyelesaikan masalah tersebut.
http/: www.submission.org/miracle-history.html
Quran: Visual Presentation of Miracle, terbitan Islamic Productions Arizona USA tahun 1982 setebal 247 halaman, terdiri dari beberapa bab yakni: introduction, the secret remained hidden for 1400 years, physical fact number 1-52, why 19, dan summary and conclusions. Pada awalnya, buku ini didesain dalam format slide fotografi yang masing-masing halaman mempresentasikan satu slide yang berdiri sendiri, dengan judul Visual Presentation of the Miracle. Jika dilihat secara umum, buku ini lebih banyak menunjukkan fakta-fakta yang dijadikan argumentasi oleh Khalifa untuk menguatkan penemuannya. Buku ini sarat dengan ayat-ayat dan angka-angka sebagai bagian dari argumentasinya. Oleh karena itu, pembaca tidak banyak memperoleh informasi deskriptif-analisis tentang diskursus yang menjadi bagian dalam penelitiannya, tetapi hanya dapat mengetahui pendirian atau pendapat yang dipegang oleh Khalifa saja.
Na‘im al-Himshi. menyebutkan dua buah makalah/buku kecil dari Khalifa yaitu: al-I‘jaz al-‘Adad. fi al-Qur’an al-Karim, Dalalat Jadidah f. al-Qur’an (1978). al-Himshi, Fikrah, h. 279-280
Lihat pengantar penerjemah dalam ‘Abd al-Razzaq Nawfal, Langit dan Para Penghuninya, terj. A. Hasjmy, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976). Beberapa bukunya pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
Lihat Kata Pengantar dari Jalaluddin Rahmat dalam Ab. Zahr.’ al-Najd., al-Qur’an dan Rahasia Angka-Angka, terj. Agus Effendi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001)
Buku ini tidak hanya menjelaskan mukjizat angka-angka, tetapi pada bagian awal terdapat penjelasan tentang perkembangan diskursus mukjizat dalam segi balaghah. Buku yang menjadi acuan dalam karyanya ini dikatakan sebagai bagian (jilid) pertama, namun bagian keduanya belum sampai ke tangan kita.
Buku ini hanya diterbitkan satu edisi pada tahun 2001 oleh PT. Pustaka Pelajar Jakarta. Selain buku ini, dari Rosman Lubis tidak diperoleh informasi tentang karyanya yang lain.
Fahmi Basya dilahirkan di Padang, Sumatera Barat tanggal 3 Pebruari 1952. Ia adalah alumnus Universitas Indonesia, dan pada tahun 1974 menjadi seorang dosen di Sekolah Tinggi Teknik Jakarta. Bakat keagamaan dan matematikanya ia kembangkan ketika berada di penjara masa rejim Suharto sekitar tahun 1977-1982. selain mempublikasikan karyanya tentang al-Qur’an melalui seminar dan pameran, ia juga menulis beberapa buku, antara lain: One Million Phenomena, al-Bayyinah (1989, 1990), Paleo Konstanta, Matematika al-Qur’an (2003), dan Matematika Islam (2005). Biografi selengkapnya lihat Fahmi Basya, Matematika al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Quantum, 2003), halaman sampul belakang.
Lihat http:/www.submission.org/miracle-history.html. Seringkali dipahami bahwa Rashad Khalifa memulai penemuannya dari lafal basmalah yang terdiri dari 19 huruf, seperti yang dapat dijumpai dalam uraian Quraish Shihab dan Rosman Lubis. Lihat Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an di Tinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib, (Bandung: Mizan, 2003), cet.ke-13, h. 139 dan Rosman Lubis, Keajaiban Angka 11 dalam al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h. 1
Huruf qaf yang terdapat di awal Qs. al-Syura/42 dan Qs. Qaf/50 terulang 57 (19 x3) kali di masing-masing surat tersebut. Dengan demikian, jumlah total huruf qaf dalam kedua surat itu adalah 114 (19 x 6), sama dengan jumlah surat dalam al-Qur’an. Qs. al-Syura yang merupakan surat ke-42 memiliki 53 ayat. Bila kedua bilangan ini dijumlahkan maka hasilnya adalah 95 (19 x 5). Sementara, Qs. Qaf merupakan surat ke-50 dan memiliki 45 ayat, dan bila dijumlahkan menghasilkan 95 (19 x 5) juga. Huruf shad di awal Qs. al-A‘raf, Maryam dan Shad diulang sebanyak 152 (19 x 8). Sementara, huruf nun di awal surat al-Qalam ditemukan sebanyak 133 (19 x 3).
http:/www.submission.org/beyond.html dan http:/www.submission.org/miracle-history.html
http:/www.submission.org
Khalifa, Quran, bagian pendahuluan (preface).
Qs. al-Muddatstsir/74:25, artinya: tidak lain hanyalah perkataan manusia.
Qs. al-Muddatstsir/74:30, artinya: Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). Ayat ini menjadi landasan pemikiran bahwa angka 19 merupakan angka yang mengindikasikan fungsi matematika murni dalam susunan al-Qur’an. Khalifa, dalam hal ini, menawarkan penafsiran baru, bahwa makna 19 dalam ayat tersebut adalah bukti atau keajaiban rumus angka 19 dalam al-Qur’an.
Angka 19 tersebut—seperti juga angka 8 dalam Qs. al-H.qqah/69:17—yang undefined (tidak beserta ma‘d.d-nya) telah menimbulkan multi interpretasi. Umumnya mufassir menjelaskan bahwa bilangan tersebut adalah untuk sejumlah malaikat penjaga neraka. Orang-orang yang menetapkan al-Qur’an sebagai buatan manusia akan dibalas di bawah pengawasan “sembilan belas”. Quraish Shihab mengatakan lebih bijaksana untuk meyakini firman-firman tersebut dan menyerahkan kepada Allah tentang apa yang dimaksud oleh-Nya, atau menyerahkan penafsirannya ke waktu yang lain oleh generasi selanjutnya. Lihat Na‘im al-Himshi, Fikrah, h. 283 dan M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), vol. 14, h. 592
Rashad Khalifa, Qur’an: Visual Presentation of The Miracle, (Tucson: Islamic Production, 1982), h. 6. Hubungan antara angka 19 dengan angka satu dijelaskan dengan pendekatan perhitungan numeral (menghitung nilai-nilai angka tertentu dari setiap huruf hija’iyyah atau abjadiyah terhadap kata wahid. Kata ini dalam bahasa Arab terdiri dari huruf و , ا , حdan د yang masing-masing huruf memiliki nilai numerik: 6, 1, 8, dan 4. Jika nilai-nilai numerik tersebut dijumlahkan, maka akan dihasilkan angka 19. Oleh karena itu, angka sembilan belas dianggap sebagai angka satu, berarti Tuhan itu satu. Sedangkan keterangan yang dimaksud Khalifa tentang “pesan (message) dari Tuhan” tidak dijelaskan dalam bukunya. Mungkin pernyataan ini didasarkan bahwa al-Qur’an banyak mengajarkan tawh.d, mengesakan Tuhan.
Baha’is adalah suatu ajaran agama monoistik baru, muncul pada tahun 1863 di Baghdad, yang mengikuti ajaran Baha’ Allah (Mirza Husayn ‘Ali, dari Persia). Ia merupakan pengikut Sayyid ‘Ali Muhammad yang mendeklarasikan agama baru pada tahun 1844. Ajaran pokok Baha’is adalah: hanya ada satu Tuhan; satu kemanusiaan (sama di hadapan Tuhan); dan seluruh agama besar dunia berasal dari sumber yang sama. Lihat http:/www.free-definition.com
Mircea Eliade (ed.), “Numbers”, The Encyclopedia of Religion, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), h. 18. lihat juga John L. Esposito (ed.), “Numerology”, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), h. 253
Sering kali latar belakang pemikiran Khalifa dikaitkan dengan jumlah huruf dalam lafal basmalah. Dalam hitungannya, lafal basmalah ( بسم الله الرحمن الرحيم ) terdiri dari 19 huruf yang nyata. Hitungan seperti ini juga diikuti oleh Rosman Lubis dan Fahmi Basya. Namun, dijelaskan bahwa hitungan tersebut berdasarkan tulisan.
Seperti diketahui, terdapat perbedaan pendapat ulama dalam persoalan lafal basmalah: apakah termasuk ayat yang diletakkan di awal surat, bagian dari surat itu, atau hanya sebagai pemisah. Lihat diskusi ini dalam Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (al-Fajalah: Maktabah Mishr, t.th.) , j. I, h. 25
Rashad Khalifa, Qur’an, h. 227
Inkonsistensi penggunaan lafal basmalah tersebut terlihat dalam penghitungan huruf-huruf dalam beberapa surat yang dimulai dengan huruf muqaththa‘ah. Lafal basmalah dimasukkan dalam hitungan bagian dari surat-surat tersebut yang dapat diperhitungkan huruf-hurufnya. Antara lain ditemukan dalam penghitungan huruf nun dalam surat al-Qalam; huruf ya dan sin dalam surat Yasin; total huruf ha’ dan mim dalam Qs. Ghafir, Fushshilat, al-Syura, al-Zukhruf, al-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf. Jumlah huruf nun dalam Qs. al-Qalam ditambah dengan basmalah adalah sebanyak 133 (merupakan kelipatan tujuh dari angka 19).
Seperti disebutkan oleh Abu Zahra’ al-Najd., al-Qur’an dan Rahasia Angka-Angka, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), cet.ke-8, h. 77. Dalam hal ini, Muhammad al-Ghazali juga memberikan kritiknya yang kurang lebih sama, namun juga tidak mendeskripsikan secara jelas. Lihat Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), cet. ke-2, h. 179-180
Misalnya, madda ( مد) asalnya adalah ma-da-da (مدد ) yang kemudian menjadi ma-d-da ) مددhuruf dal pertama disukun, sedangkan huruf kedua tetap).
Misalnya, maliki ( ملك) dalam mushaf ‘utsman. ditulis tanpa alif, tetapi dibaca panjang dengan satu alif, atau dapat ditulis dengan alif menurut rasm imla’. (dikte).
Rashad Khalifa , Quran, h. 11-24. Khalifa kurang memperhatikan konsistensi penghitungan kata berdasarkan bentuk kalimah (kata, word) dalam bahasa Arab, kemungkinan untuk membuat potongan kata yang sesuai dengan rumus angka 19. Apabila konsisten dengan konsep ini, ia tidak akan menghitung harf sebagai kata (word atau kalimah), apalagi menghitung huruf asli sebagai satu kata
Ibid., h. 28
M. Quraish Shihab et.al., Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Bait al-Qur’an, 1998), h. 62 dan Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Riyadh: al-Mants.r.t al-‘Ashr al-Hadits, t.th., h. 68
M. Quraish Shihab, et.al., Sejarah., h. 69-72
Jal.l al-D.n al-Suy.th., al-Itq.n f. ‘Ul.m al-Qur’.n, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1988), h. 77-81 dan Mann.‘ al-Qathth.n, op.cit., h. 69-71. Surat al-Nashr dikenal juga sebagai surat al-Qur’an yang turun terakhir secara sempurna, atau sebagai penutup wahyu yang berhubungan dengan syariat khusus. Al-Suy.th. menjelaskan, di antara pendapat tentang ayat terakhir yang turun adalah ayat kal.lah (Qs. al-Nis.’: 176), dan Qs. al-Tawbah: 128-129.
Salah satu diskursus yang dirilis dalam situs submission, namun tidak dijelaskan dengan detail dalam bukunya, Khalifa menolak Qs. al-Tawbah: 128-129 sebagai ayat al-Qur’an, bukan saja sebagai ayat terakhir. Alasannya adalah ketidaksesuaian rumus angka 19 dalam hitungan kata rah.m dalam al-Qur’an apabila kedua ayat ini termasuk di dalamnya. Selain itu, alasan lainnya adalah—menurutnya—kata-kata dalam kedua ayat ini tidak mungkin sebagai firman Allah karena menceritakan kisah Rasulullah. Untuk membantah alasan pertama, Quraish Shihab pernah menjelaskan bahwa kata rah.m di dalam kedua ayat tersebut berbeda dengan kata yang sama di dalam ayat-ayat lain. Dalam al-Tawbah: 128-129, kata rah.m merupakan sifat dari Rasulullah, sedangkan pada ayat-ayat yang lain merupakan sifat untuk Allah. Lihat http:/www.submission.org dan M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 25
Khalifa, Quran, h. 71-73
Operasi perkalian ini juga dapat dianggap sama dengan operasi pembagian, dikarenakan berorientasi hasil sesuai angka yang diinginkan. Misalnya: 114 = 19 x 6 sama dengan 114 : 19 = 6, karena menyangkut kesesuaian dengan angka 19.
Daftar nilai-nilai numerik abjad yang digunakan oleh Khalifa adalah sebagai berikut:
ا = 1, ب = 2, ج = 3, د = 4, ه = 5, و = 6, ز = 7, ح= 8, ط = 9, ي= 10, ك= 20, ل = 30, م = 40, ن = 50, س = 60, ع = 70, ف = 80, ص = 90, ق = 100, ر = 200, ش =300, ت = 400, ث = 500, خ = 600, ذ = 700, ض = 800, ظ= 900, غ = 1000. Lihat Khalifa, Quran, h. 70
Kaidah ini diperoleh dari komentar Na‘.m al-Himsh. terhadap karya Khalifa. Tidak dijelaskan secara pasti bahwa kaidah ini dibuat oleh Khalifa atau disimpulkan dari penelitiannya. Lihat Na‘.m al-Himsh., Fikrah, h. 281
‘Abd al-Razz.q Nawfal, al-I‘j.z al-‘Adad. li al-Qur’.n al-Kar.m, (Beirut: D.r al-Kit.b al-’Arab., 1983), cet. ke-3, h. 2
Ibid.
Shihab, Mukjizat, h. 140-143. Kelima kategori yang disebut Shihab adalah keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya; keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan sinonim atau kata yang dikandungnya; keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya; keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya; dan keseimbangan khusus.
Kategori terakhir ini, menurut hemat penulis tidak menjadi bagian dalam rumus keseimbangan, meskipun termasuk penemuan Nawfal. Karena, perbandingan antara dua bilangan angka tidak dapat dikatakan seimbang jika kedua bilangan tersebut berbeda. Apabila yang ditunjuk seperti perbandingan antara angka 57 dan 114 (sama dengan 1 : 2 ), maka hal itu merupakan keterhubungan dalam bilangan semata. Jelasnya, satu dan dua tidak dapat dianggap sama atau seimbang, tetapi satu dikali dua sama dengan dua.
Nawfal, al-I‘j.z, h. 2. Nawfal tidak membedakan terminologi al-‘adad (bilangan) dan al-his.b (hitungan). Dengan demikian, kalaupun digunakan istilah al-his.b tidak dianggap salah.
Ibid.
Nawfal, al-I‘j.z, h. 2
Kata al-syayth.n dan al-mal.’ikah (dalam bentuk ma‘rifah dengan alif-l.m) disebut sebanyak 68, sedangkan kata turunan dari syayth.n (baik dalam bentuk jamak [syay.th.n], dan bentuk nakirah [syayth.n(an)]) berjumlah 20, sama dengan bilangan kata malak, mal.’ikatahu, malak(an), dan malakayn
Kedua kata tersebut tanpa beserta kata turunannya.
Dua kata ini disebutkan secara bersama-sama dalam tiga belas ayat yang sama.
Nawfal, al-I‘j.z, h. 251
8 Nawfal, al-I‘j.z, h. 49-50. Dalam penjelasannya, seringkali Nawfal menyebutkan perbedaan-perbedaan penggunaan kata dalam al-Qur’an berdasarkan dham.r muttashil, nakirah-ma‘rifah, i‘r.b atau harakah-nya.Contoh : لعنهم - لعنة – الملعونة - ملعونين- اللا عنون - لعنتي – لعنا – لعن – لعنهما- نلعن – لعناهم – لعنا- لعنت – لعن – لعنوا - يلعنهم - يلعن – لعنه -. Ibid, h. 46-48.
Cara penghitungan atau pengelompokan kata seperti ini hampir sama dengan cara yang dilakukan oleh M. Fu’.d ‘Abd al-B.q. dalam kitab al-Mu‘jam. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam al-Mu‘jam digunakan kategorisasi lafal-lafal dalam al-Qur’an berdasarkan perubahan-perubahan bentuk kata dan penggunaannya dalam ayat-ayat. Lihat. Fu’.d ‘Abd al-B.q., al-Mu‘jam al-Mufahras li Alf.zh al-Qur’.n al-Kar.m, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.)
Nawfal, al-I‘j.z, h. 42
Ibid., h. 77-78
Nawfal, al-I‘j.z, h. 91
Contoh-contoh ini dapat dilihat dalam ibid, h. 137-155, 182, dan 246. Dalam penjelasan Nawfal, keterangan mengenai status isytiq.q (derivasi) dari suatu kata disebutkan dalam uraian pada masing-masing kata. Namun, pada contoh-contoh kata yang disebutkan dalam karya tulis ini tidak mesti ditulis statusnya
Nawfal, al-I‘j.z, h. 166
Ibid., h. 168
Ibid., h. 168 -169
al-Najd., al-Qur’an, h. 73
Ibid.
Hal ini termasuk dalam contoh metode takhsh.sh untuk mencari hal-hal khusus dari objek yang diteliti
al-Najd., al-Qur’an, h. 81-82
Kedua belas tempat tersebut adalah Qs. al-A‘r.f:187, al-Tawbah: 117, Y.nus: 45, al-Hijr: 85, al-Kahf: 21, Maryam: 75, Th.h.: 15, al-Anbiy.’: 49, al-Mu’min.n: 7, al-Furq.n: 11 (2), al-Ahz.b: 23, 63, al-Mu’min: 40, al-Sy.r.: 17,18, al-Zukhruf: 43, al-Dukh.n: 32, al-J.tsiyah: 32, al-Ahq.f: 35, Muhammad: 18, al-Qamar: 46 (2), al-N.zi‘.t: 42
Jumlah 34 rakaat tersebut jika shalat sunat fajar (subuh) dihitung 2 rakaat, 8 rakaat shalat sunat zuhur, 8 rakaat shalat sunat asar, 4 rakaat shalat sunat maghrib, dan sunat isya dipandang satu rakaat dari dua rakaat dengan satu duduk, ditambah dengan 11 rakaat sunat malam. Al-Najd. menyatakan: “Semua itu merupakan karunia Allah yang membuktikan secara jelas kebenaran mazhab fiqh yang memandang bahwa bilangan shalat sunat sehari semalam 34 rakaat.” Tetapi ia tidak menjelaskan mazhab yang dimaksud
Bilangan ini tidak menghitung basuhan untuk kaki. Hal ini dimungkinkan dalam salah satu qir.’ah atau penafsiran atas ayat tentang wudhu, yakni kaki termasuk bagian yang diusap. Lihat poin selanjutnya
Di antara nabi/rasul terdapat lima orang dari kalangan rasul yang tergolong ul. al-‘azm , yaitu memiliki keutamaan sabar yang luar biasa), yakni: Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw
Tidak jelas alasan perolehan bilangan nama dalam iq.mah dan tasyahhud ini, sebagaiman tidak jelas bacaan yang dimaksud olehnya. Bagi kalangan sunn., nama Muhammad terdapat satu kali dalam iq.mah, dua kali dalam tasyahhud awwal, dan tiga kali dalam tasyahhud akhir (bagian bacaan wajib), dan totalnya sebanyak enam kali.
Syi‘ah pada mulanya adalah golongan pendukung ‘Ali ibn Abi Thalib pada saat perselisihan dengan Mu‘awiyah ibn Abi Sufyan. Di antara paham dalam Syi‘ah adalah pengakuan kepada 12 khalifah setelah Nabi Muhammad, dan di antara sekte Syi‘ah yang terkenal dengan paham ini adalah Imamiyyah.
Menurutnya al-Najdi, jumlah ini sama dengan jumlah Nuqaba’ bani Isra’il, dan jumlah Hawari Isa as. Lihat al-Najdi, al-Qur’an, h. 98
Disarikan dari al-Najdi, al-Qur’an, h. 98-142. Dari kata-kata ini dikenal istilah seperti: imam, khalifah, washi, ma‘shum, syuhada’, mushthafa, mujtaba, dan sebagainya.
Kata ini berkaitan secara khusus dengan para syuhad.’ Allah swt., selain para Nabi, dan mereka adalah orang-orang yang bersaksi di hadapan Allah atas para hamba-hambanya di hari kiamat dan hari tegaknya kesaksian. Jadi, maksud kata syuhad.’ ini, bukanlah orang yang terbunuh di jalan Allah.
Yang dimaksud dengan surga ialah yang ditetapkan Allah bagi orang-orang yang benar, bukan surga dunia seperti dalam firman Allah: “Sesungguhnya Kami uji mereka sebagaimana Kami uji penghuni-penghuni surga… (Qs. al-Qalam/68: 17). Surga yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah surga dunia. Selain dalam ayat ini, surga yang dimaksudkan adalah surga yang ditetapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang saleh
Kata ishthaf. ini dalam pengertian legitimasi Allah swt kepada orang-orang pilihan dari dan atau bagi makhluk-Nya. Pengertian ini didasarkan pada Qs. Fathir: 31-32. Yang dimaksud dengan s.biq bi al-khayr.t (orang yang lebih dulu berbuat baik) adalah imam yang dipilih dan diwarisi kitab oleh Allah; muqtashid adalah orang yang konsisten dengan kebijaksanaan imam; sedangkan zh.lim li nafsih adalah orang yang keluar dari jalur imam.
Yang dimaksud oleh al-Najd. dalam hal ini adalah jumlah para penguasa sesat yang sesuai dengan jumlah penguasa penguasa hingga datangnya masa al-Ghaybah al-Kubr.-nya al-Mahd. pada tahun 329 H. (Ia tidak menyebutkan ketiga puluh tujuh penguasa yang dimaksud). Jumlah tersebut juga sesuai dengan tahun wafatnya ‘Al. al-S.mir., wakil (n.’ib) Imam Mahd. yang paling akhir. Lihat al-Najd., al-Qur’an, h.128
Keanehan dari model ini, kata-kata sulth.n yang pada umumnya mengandung makna bukti mukjizat, keterangan, kekuatan, dan kekuasaan, menjadi penguat adanya 37 penguasa yang sesat atau mempunyai persamaan sifat dengan nif.q (munafik), dengan alasan kesamaan jumlah penyebutan
Al-Najd., al-Qur’an, h. 98-99
Rosman Lubis, Keajaiban Angka 11 dalam al-Qur’an, (Jakarta: PT. Pustaka Pelajar, 2000), cet.ke-1, h. 2-3
Khalifa menjelaskan bahwa angka kunci 19 bemakna keesaan Allah dengan kata w.hid (esa) dilihat dari nilai numerik huruf–huruf w.w, alif, h.’ dan d.l, yaitu: 6, 1, 8, 4 dengan total 19. Lihat Khalifa, Quran, h. 243
Lubis, Keajaiban, h. 3
Ibid., h. viii
Di dalamnya termasuk penghitungan terhadap iqra’, nomor surat dan jumlah ayat; surat dengan jumlah ayat 11/kelipatan 11/unsur 11.
Nomor urut berarti menggunakan bilangan bertingkat (ordinal number), seperti ke-1, ke-2, dan ke-10. sedangkan nilai numerik menggunakan bilangan biasa (cardinal number), seperti 1, 2, dan 10. Lubis melakukan penjumlahan hanya melihat simbol angka yang terlihat, tanpa melihat kedudukan atau substansi dari bilangan tersebut. Bilangan cardinal dengan ordinal tentunya tidak mempunyai status yang sama, sehingga keduanya tidak dapat dijumlahkan. Misalnya, mungkinkah terjadi: kesatu (ke-1) ditambah satu (1) menghasilkan angka tertentu?
Lihat lebih lanjut dalam uraian tentang numerologi/gematria (bab IV).
Lubis menghitung huruf hamzah yang ditulis ( أ, ؤ , ئ ) dengan dua huruf (hamzah dan alif/waw/ya’), padahal cara menulis hamzah adalah seperti demikian. Misalnya seperti dalam menghitung nilai numerik kata al-mu’min dan al-b.ri’. Lihat Lubis, Keajaiban, h. 165-166.
Selengkapnya lihat ibid., h. 6-14. Terdapat kejanggalan dalam pengklasifikasian surat-surat al-Qur’an ini—yang tidak disebut sumbernya, atau memang dibuat oleh Lubis sendiri—antara lain: pada kelompok nama nabi, terdapat 6 nama nabi saja yang menjadi nama surat, namun masih harus ditambah surat al-Anbiy.’, untuk menghasilkan total surat yang bernilai angka 11, padahal surat ini dapat masuk dalam kategori lain: nama manusia/golongan/julukan. Selain itu, kategori nama manusia/golongan/julukan dan nama suku/bangsa merupakan kategorisasi yang tumpang tindih karena terdapat surat yang mempunyai kemungkinan masuk dalam dua kategori ini, seperti al-Sh.ff.t (bersaf-saf), al-Zumar (rombongan), al-Shaff (barisan) yang bisa masuk kategori pertama, serta al-Ahz.b (golongan yang bersekutu) dan al-Ins.n (manusia) yang bisa masuk kategori kedua. Cara seperti ini memungkinkan untuk tukar-menukar tempat untuk mendapatkan angka yang diinginkan
Lihat Lubis, Keajaiban, h. 15-18. dalam kasus penghitungan 26 surat ini hanya dicari surat yang jumlah ayatnya adalah 11/kelipatan 11/unsur 11, dengan mengabaikan nomor suratnya. Untuk mendapatkan angka 11, ia melakukan cara perkalian/kelipatan 11, dan pemampatan terhadap jumlah ayat dalam tiap surat. Meskipun total dari nomor-nomor surat dapat dimampatkan menjadi 11, namun total dari jumlah ayat dari 26 surat ini bukan kelipatan 11 atau dapat dimampatkan menjadi 11, yaitu 2088. Dengan demikian, tidak setiap jalur yang dimaksud menampakkan konsistensi angka 11, tetapi hanya bagian-bagian tertentu saja.
Lihat ibid., h. 19-29.
Tidak dijelaskan alasan pengambilan huruf dari empat kata tersebut.
Misalnya pula, dalam kelompok 11 ayat pertama (Qs. al-F.tihah: 1-7 ditambah Qs. al-Baqarah: 1-4) huruf alif dihitungnya sebanyak 78 buah—termasuk hamzah yang ditulis dengan alif—dan hanya ada 2 huruf hamzah (yaitu dalam lafal yu’min.n yang diulang dua kali). Dengan demikian, ketika tidak membedakan antara huruf alif dan hamzah (yang ditulis dengan alif), Lubis justru menghitung hamzah yang ditulis dengan waw dan hamzah ( ؤ ) secara terpisah. Lihat ibid., h. 44-47
Lubis, Keajaiban, h. 103-106
Lihat Lubis, Keajaiban, h. 18 dan 213. Meskipun Lubis menyebutnya sebagai mushaf ‘utsm.n., tetapi dalam catatan kaki dan daftar pustaka disebutkan bahwa mushaf tersebut adalah al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya, diterbitkan oleh CV. Toha Putra, Semarang, dan al-Qur’an dan Terjemahnya, diterbitkan oleh Departemen Agama RI. Kedua mushaf al-Qur’an ini mewakili contoh mushaf yang disesuaikan dengan standar Indonesia sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI nomor 25 tahun 1984, tanggal 29 Maret 1984, atau disebut mushaf standar Indonesia.
Disarikan dari penghitungan Rosman Lubis dalam Keajaiban Angka 11 dalam al-Qur’an
Lubis, Keajaiban, h. 226. Dari kombinasi ini dikatakan terdapat 12 huruf, padahal seharusnya 13. Huruf-huruf yang disebutkan adalah:ا, ل , ه , ج , ب , ر , ي , ق , ن , م , ح , د . ia tidak menghitung hamzah (ء) yang terdapat dalam kata al-Qur’an karena hamzah ditulis dengan alif (القران).
Penjumlahan antar digit (dari awal hingga akhir) seperti itu disebut dengan teknik pemampatan.
Untuk penghitungan angka-angka hingga ratusan digit, digunakan cara manual yang, menurut Lubis, lebih praktis dan mudah, selain dengan bantuan komputer. Misalnya, angka: 234567894 dibagi 11. Penghitungan dimulai dari angka 23 dibagi 11 hasilnya 2 sisa 1. Angka 2 ditulis tepat di bawah angka 3, sedangkan angka 1 ditulis di atas angka 3, menjadi :
1
2 3
2
Selanjutnya, angka sisa 1 digabung dengan angka berikutnya ( 4 ) menjadi 14 dan dibagi 11 hasilnya 1 sisa 3. Angka 1 ditulis dibawah angka 4 dan angka 3 di atasnya, begitu seterusnya hingga diperoleh hasil seperti berikut:
1 3 2 4 3 5 4 0
2 3 4 5 6 7 8 9 4
2 1 3 2 4 3 5 4
Angka baris bawah, 21324354 adalah hasil dari pembagian ini. Dengan sisa angka 0 bahwa angka 234567894 habis dibagi 11. Lihat Lubis, Keajaiban, h. ix