WELCOME

selamat datang wahai para pencari tuhan, kami akan membantu anda memasuki dunia yang penuh warna...

Jumat, 06 Januari 2012

Profil Orang Tua Bijaksana


A. Pengertian Orang Tua
Mengenai pengertian orang tua dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan “Orang tua artinya ayah dan ibu.“ (Poerwadarmita, 1987: 688).
Sedangkan dalam penggunaan bahasa Arab istilah orang tua dikenal dengan sebutan Al-walid pengertian tersebut dapat dilihat dalam Alquran surat Lukman ayat 14 yang berbunyi.
Artinya: “Dan kami perintahkan kepada manusia (Berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambahdan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Q.S. Lukman ayat 14)
Banyak dari kalangan para ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang pengertian orang tua, yaitu menurut Miami yang dikutip oleh Kartini Kartono, dikemukakan “Orang tua adalah pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan dan siap sedia untuk memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya.“ (Kartono, 1982 : 27).
Maksud dari pendapat di atas, yaitu apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan telah bersatu dalam ikatan tali pernikahan yang sah maka mereka harus siap dalam menjalani kehidupan berumah tangga salah satunya adalah dituntut untuk dapat berpikir seta begerak untuk jauh kedepan, karena orang yang berumah tangga akan diberikan amanah yang harus dilaksanakan dengan baik dan benar, amanah tersebut adalah mengurus serta membina anak-anak mereka, baik dari segi jasmani maupun rohani. Karena orang tualah yang menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Seorang ahli psikologi Ny. Singgih D Gunarsa dalam bukunya psikologi untuk keluarga mengatakan, “Orang tua adalah dua individu yang berbeda memasuki hidup bersama dengan membawa pandangan, pendapat dan kebiasaan- kebiasaan sehari-hari.“ (Gunarsa, 1976 : 27). Dalam hidup berumah tanggga tentunya ada perbedaan antara suami dan istri, perbedaan dari pola pikir, perbedaan dari gaya dan kebiasaan, perbedaan  dari sifat dan tabiat, perbedaan dari tingkatan ekonomi dan pendidikan, serta banyak lagi perbedaan-perbedaan lainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat mempengaruhi gaya hidup anak-anaknya,  sehingga akan memberikan warna  tersendiri dalam keluarga. Perpaduan dari kedua perbedaan yang terdapat pada kedua orang tua ini akan mempengaruhi kepada anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga tersebut.
Pendapat yang dikemukakan oleh Thamrin Nasution adalah “Orang tua adalah setiap orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai bapak dan ibu.” (Nasution:1986 : 1).
Seorang bapak atau ayah dan ibu dari anak-anak mereka tentunya memiliki kewajiban yang penuh terhadap keberlangsungan hidup bagi anak-anaknya, karena anak memiliki hak untuk diurus danan dibina  oleh orang tuanya hingga beranjak dewasa.
Berdasarkan Pendapat-pendapat para ahli yang telah diurarakan di atas dapat diperoleh pengertian bahwa orang tua orang tua memiliki tanggung jawab dalam membentuk serta membina ank-anaknya baik dari segi psikologis maupun pisiologis. Kedua orang tua dituntut untuk dapat mengarahkan dan mendidik anaknya agar dapat menjadi generasi-generasi yang sesuai dengan tujuan hidup manusia.
B. Tugas dan Peran orang tua
Setiap orang tua dalam menjalani kehidupan berumah tangga tentunya memiliki tugas dan peran yang sangat penting, ada pun tugas dan peran orang tua terhadap anaknya dapat dikemukakan sebagai berikut. (1). Melahirkan, (2). Mengasuh, (3). Membesarkan, (4). Mengarahkan menuju kepada kedewasaan serta menanamkan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku. Disamping itu juga harus mampu mengembangkan potensi yang ada pada diri anak, memberi teladan dan mampu mengembangkan pertumbuhan pribadi dengan penuh tanggung jawab dan penuh kasih sayang. Anak-anak yang tumbuh dengan berbagai bakat dan kecenderungan masing-masing adalah karunia yang sangat berharga, yang digambarkan sebagai perhiasan dunia. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam Alquran surat Al-Kahfi ayat 46.
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amanah-amanah yang kekal lagi soleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi ayat 46).
Ayat di atas paling tidak mengandung dua pengertian. Pertama, mencintai harta dan anak merupakan fitrah manusia, karena keduanya adalah perhiasan dunia yang dianugerahkan Sang Pencipta. Kedua, hanya harta dan anak yang shaleh yang dapat dipetik manfaatnya. Anak harus dididik menjadi anak yang shaleh (dalam pengertian anfa’uhum linnas) yang bermanfaat bagi sesamanya.
Beberapa penelitian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, seperti yang di kemukakan dalam majalah rumah tangga dan kesehatan bahwa “Orang tua berperan dalam menentukan hari depan anaknya. Secara   fisik supaya anak-anaknya bertumbuh sehat dan berpostur tubuh yang lebih baik, maka anak-anak harus diberi makanan yang bergizi dan seimbang. Secara mental anak-anak bertumbuh cerdas dan cemerlang, maka selain kelengkapan gizi perlu juga diberi motivasi belajar disertai sarana dan prasarana yang memadai. Sedangkan secara sosial suapaya anak-anak dapat mengembangkan jiwa sosial dan budi pekerti yang baik mereka harus di beri peluang untuk bergaul mengaktualisasikan diri, memupuk kepercayaan diri seluas-luasnya. Bila belum juga terpenuhi biasanya karena soal teknis seperti hambatan ekonomi atau kondisi sosial orang tua.“ (Sabri Alisuf : 1995 :24  )
Orang tua yang tidak memperdulikan anak-anaknya, orang tua yang tidak memenuhi tugas-tugasnya sebagai ayah dan ibu, akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup anak-anaknya. Terutama peran seorang ayah dan ibu adalah memberikan pendidikan dan perhatian terhadap anak-anaknya. Sebagaimana dikemukakan, “Perkembangan jiwa dan sosial anak yang kadang-kadang berlangsung kurang mantap akibat orang tua tidak berperan selayaknya. Naluri kasih sayang orang tua terhadap anaknya tidak dapat dimanifestasikan dengan menyediakan sandang, pangan, dan papan secukupnya. Anak-anak memerlukan perhatian dan pengertian supaya tumbuh menjadi anak yang matang dan dewasa.”(Depdikbud, 1993 : 12 ).
Dalam berbagai penelitian para ahli dapat dikemukakan beberapa hal yang perlu di berikan oleh orang tua terhadap anaknya, sebagai mana diungkapkan sebagai berikut:
1.    Respek dan kebebasan pribadi.
2.    Jadikan rumah tangga nyaman dan menarik.
3.    Hargai kemandiriannya.
4.    Diskusikan tentang berbagai masalah.
5.    Berikan rasa aman, kasih sayang, dan perhatian.
6.    Anak-anak lain perlu di mengerti.
7.    Beri contoh perkawinan yang bahagia.   (Ahmadi Abu, 1991 : 44)
Dari beberapa poin yang telah dikemukakan para ahli di atas dapat dipahami bahwa banyak hal yang harus dilakukan oleh orang tua dalam melakukan tugas serta peran mereka sebagai orang tua, yaitu harus respek terhadap gerak-gerik anaknya serta memberikan kebebasan pribadi dalam mengembangkan bakat serta menggali potensi yang ia miliki, orang tua dalam menjalani rumah tangga juga harus dapat menciptakan rumah tangga yang nyaman, sakinah serta mawaddah sehingga dapat memberikan rasa aman dan nyaman pada anak-anaknya, orang tua harus memiliki sikap demokratis. Ia tidak boleh memaksakan kehendak sehingga anak akan menjadi korban, ia harus betul-betul mengerti, memahami, serta memberikan kasih sayang dan perhatian yang penuh. Orang tua yang tidak memenuhi peran dan tidak menjalankan tugas tugasnya seperti apa yang di jelaskan di atas, maka anak-anak hidupnya menjadi terlantar, ia akan mengalami kesulitan dalam menggali potensi  dan bakat yang ia miliki
Conny Semiawan dan kawan-kawan menyatakan bahwa, “Orang tua perlu membina anak agar mau berprestasi secara optimal, karena kalau tidak berarti suatu penyia-nyiaan terhadap bakat-bakatnya. Pembinaan dilakukan dengan mendorong anak untuk mencapai prestasi yang sesuai dengan kemampuannya. Ada pula orang tua, karena tingkat pendidikan mereka sendiri terbatas, karena acuh tak acuh atau karena kurang memperhatikan anak, pendidikan anak, tidak peka dalam pengamatan ciri-ciri kemampuan anaknya”.
Seorang anak sangat memerlukan bimbingan kedua orang tuanya dalam mengembangkan bakat serta menggali potensi yang ada pada diri anak tersebut. Dalam rangka menggali potensi dan mengembangkan bakat dalam diri anak maka seorang anak memerlukan pendidikan sejak dini
Conny Semiawan dan kawan-kawan menyatakan, “Orang tua perlu menciptakan lingkungan rumah atau keluarga yang serasi, selaras, dan seimbang dengan kehadiran anak-anak berbakat. Disamping itu perlu menyiapkan sarana lingkungan fisik yang memungkinkan anak mengembangkan bakatnya. Perlu sikap demokrasi juga dalam memberikan banyak larangan, dirangsang untuk menjadi mandiri dan percaya diri.” (Semiawan, 1990 : 31-55).
Lingkungan keluarga sangat mempengaruhi bagi pengembangan kepribadian anak dalam hal ini orang tua harus berusaha untuk menciptakan lingkungan keluarga yang sesuai dengan keadaan anak. Dalam lingkungan keluarga harus diciptakan suasana yang serasi, seimbang, dan selaras, orang tua harus bersikap demokrasi baik dalam memberikan larangan, dan berupaya merangsang anak menjadi percaya diri. Pendapat lain tentang peran dan tugas orang tua adalah sebagai berikut, ”Komunikasi ibu dan ayah dalam keluarga sangat menentukan pembentukan pribadi anak-anak di dalam dan di luar rumah. Selanjutnya dikatakan bahwa seorang ayah umumnya berfungsi sebagai dasar hukum bagi putra-putrinya, sedangkan seorang ibu berfungsi sebagai landasan moral bagi hukum itu sendiri.”(Ali, 1995 : 30).
Tugas-tugas serta peran yang harus dilakukan orang tua tidaklah  mudah, salah satu tugas dan peran orang tua yang tidak dapat dipindahkan adalah mendidik anak-anaknya. Sebab orang tua memberi hidup anak, maka mereka mempunyai kewajiban yang teramat penting untuk mendidik anak mereka. Jadi, tugas sebagai orang tua tidak hanya sekadar menjadi perantara makhluk baru dengan kelahiran, tetapi juga memelihara dan mendidiknya, agar dapat melaksanakan pendidikan terhadap anak-anaknya, maka diperlukan adanya beberapa pengetahuan tentang pendidikan.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas penulis dapat memberikan suatu kesimpulan bahwa orang tua harus memperhatikan lingkungan keluarga, sehingga dapat menciptakan lingkungan yang sehat, nyaman, serasi serta lingkungan yang sesuai dengan keadaan anak. Komunikasi yang dibangun oleh orang tua adalah komunikasi yangn baik karena akan berpengaruh terhadap kepribadian anak-anaknya.
C. Kewajiban  Orang Tua Terhadap anak
Seorang pria dan wanita yang berjanji dihadapan Allah SWT untuk hidup sebagai suami istri berarti bersedia untuk memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu anak-anak yang bakal dilahirkan. Ini berarti bahwa pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan siap sedia untuk menjadi orang tua dan salah satu kewajiban, hak orang tua tidak dapat dipindahkan adalah mendidik anak-anaknya. Sebab seorang anak merupakan amanah dan perhiasan yang wajib dijaga dengan sebaik-baiknya. Apabila tidak dijaga akan menyebabkan kualitas anak tidak terjamin, sehingga dapat membahayakan masa depannya kelak. Orang tua harus dapat meningkatkan kualitas anak dengan menanamkan nilai-nilai yang baik dan ahlak yang mulia disertai dengan ilmu pengetahuan agar dapat tumbuh manusia yang mengetahui kewajiban dan hak-haknya. Jadi, tugas orang tua tidak hanya sekadar menjadi perantara adanya makhluk baru dengan kelahiran, tetapi juga mendidik dan memeliharanya.
Nasikh Ulwan dalam bukunya ”Tarbiyah Al-Aulad Fi-Al Islam,” sebagaimana dikutif oleh Heri Noer Aly, merincikan bidang-bidang pendidikan anak sebagai berikut:
1.    Pendidikan Keimanan, antara lain dapat dilakukan dengan menanamkan tauhid kepada Allah dan kecintaannya kepada Rasul-Nya.
2.    Pendidikan Akhlak, antara lain dapat dilakukan dengan menanamkan dan membiasakan kepada anak-anak sifat terpuji serta menghindarkannya dari sifat-sifat tercela.
3.    Pendidikan Jasmaniah, dilakukan dengan memperhatikan gizi anak dan mengajarkanya cara-cara hidup sehat.
4.    Pendidikan Intelektual, dengan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak dan memberi kesempatan untuk menuntut mencapai tujuan pendidikan anak. (Aly, 1999 : 182).
Adapun fungsi keluarga secara ilmu menurut ST. Vembrianto sebagaimana dikutip oleh M. Alisuf Sabri mempunyai 7 (tujuh) yang ada hubungannya denagan si anak yaitu.
1.    Fungsi biologis: keluaraga merupakan tempat lahirnya anak-anak secara biologis anak berasal dari orang tuanya.
2.    Fungsi Afeksi: kerluarga merupakan tempat terjadinya hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi (penuh kasih sayang dan rasa aman).
3.    Fungsi sosial: fungsi keluaraga dalam membentuk kepribadian anak melalui interaksi sosial dalam keluarga anak, mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam keluarga anak, masyarakat, dan rangka pengembangan kepribadiannnya.
4.    Fungsi Pendidikan: keluarga sejak dulu merupakan institusi pendidikan dalam keluarga dan merupakan satu-satunya institusi untuk mempersiapkan anak agar dapat hidup secara sosial dimasyarakat, sekarang pun keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama dalam mengembangkan dasar kepribadian anak.
5.    Fungsi Rekreasi: kelurga merupakan tempat/medan rekreasi bagi anggotanya untuk memperoleh afeksi, ketenangan, dan kegembiraan.
6.    Fungsi Keagamaan : merupakan pusat pendidikan upacara dan ibadah agama, fungsi ini penting artinya bagi penanaman jiwa agama pada si anak.
7.    Fungsi perlindungan: keluarga berfungsi memelihara, merawat dan melindungi anak baik fisik maupun sosialnya. (Sabri, 1999 : 16).
Di samping itu, tugas orang tua adalah menolong anak-anaknya, menemukan, membuka, dan menumbuhkan kesedian-kesedian bakat, minat dan kemampuan akalnya dan memperoleh kebiasaan-kebiasaan dan sikap intelektual yang sehat dan melatih indera. Adapun cara lain mendidik anak dijelaskan dalam Alquran.
Artinya: ”(Lukman berkata) : Wahai anakku, dirikanlah shalat dan surhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan ceagahlah (mereka) dari perbutan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuak hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS.Luqman : 17).
 Dalam ayat tersebut terkandung makna cara mendidik sebagai berikut
Menggunakan kata “Wahai anakku” Artinya seorang ayah/ibu apabila berbicara dengan putra-putrinya hendaknya menggunakan kata-kata lemah lembut. Orang tua memberikan arahan kepada anak-anaknya untuk melakukan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang munkar dan selalu bersabar dalam menjalani apapun yang terjadi dalam kehidupannya. Dalam memeritah dan melarang anak, disarankan kepada kedua orang tua untuk menggunakan argumentasi yang logis, jangan menakut-nakuti anak.
D. Mendidik Ala Lukmanul Hakim
Surat Luqman secara umum, terutama ayat 13-19 difahami sebagai surat yang harus dibaca saat prosesi aqiqah atau kesyukuran atas kelahiran seorang anak, dengan harapan bahwa sang ayah nantinya dapat meneladani tokoh Luqman yang diabadikan wasiatnya dan sang anak juga dapat mengikuti petuah dan nasehat seperti halnya anak Luqman. Tentu pemahaman ini dapat diterima, mengingat secara tekstual ayat-ayat ini memang berbicara secara khusus tentang pesan Luqman dalam konteks mendidik anak sesuai dengan pesan Al-Qur’an. Apalagi pesan Luqman dalam surat ini sebenarnya adalah pesan Allah yang dibahasakan melalui lisan Luqman Al-Hakim sehingga sifatnya mutlak dan mengikat; pesan Luqman dalam bentuk perintah berarti perintah Allah, demikian juga nasehatnya dalam bentuk larangan pada masa yang sama adalah juga larangan Allah yang harus dihindari.
Luqman yang dimaksud dalam ayat-ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah Luqman bin Anqa’ bin Sadun. Ia adalah anak dari seorang bapak yang Tsaaran. Pengabadian kisah Luqman memang berbeda dengan pengabdian tokoh lain yang lebih komprehensif. Pengabadian Luqman hanya berkisar seputar nasehat dan petuahnya yang sangat layak dijadikan acuan dalam mendidik anak secara Islami.
Tentu masih banyak lagi cara Islami dalam mendidik anak berdasarkan ayat-ayat atau hadits Rasulullah saw yang lain. Namun paling tidak, pesan Luqman ini bukan sekedar pesan biasa umumnya seorang bapak kepada anaknya, namun merupakan pesan yang penuh dengan sentuhan kasih sayang dan sarat dengan muatan ideologis serta tersusun berdasarkan skala prioritas dari pesan agar mengesakan Allah dan tidak menmpersekutukannya sampai pada pesan untuk bersikap tawadu’ dan santun yang tercermin dalam cara berjalan dan berbicara. Kedua jenis pesan dan nasehat tersebut ternyata tidak keluar dari dua prinsip utama dalam ajaran Islam yaitu ajaran tentang akidah dan akhlak.
Menurut Sayid Quthb, rangkaian ayat-ayat berbicara tentang Luqman dan nasihatnya yang diawali dengan anugerah hikmah kepada Luqman di ayat 12 merupakan pembahasan kedua dari pembahasan surat Luqman yang masih sangat terkait dengan pembahasan episode pertama, yaitu persoalan akidah. Pesan Luqman sendiri pada intinya adalah pesan akidah yang memiliki beberapa konsekuensi; di antaranya berbakti dan berbuat ma’ruf kepada kedua orang tua sebagai bukti rasa syukur atas kasih sayang dan pengorbanan mereka merupakan tuntutan atas akidah yang benar kepada Allah swt. Senantiasa merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap langkah dan perbuatan merupakan aktualisasi dari keyakinan akan sifat Allah Yang Mengetahui, Maha Mendengar dan Maha Mengawasi. Serta menjalankan aktifitas amar ma’ruf dan nahi munkar yang disertai dengan sikap sabar dalam menghadapi segala rintangan dan tantangan merupakan bukti akan keluatan iman yang bersemayam di dalam hati sanubari, hingga pada pesan untuk senantiasa bersikap tawadu’ dan tidak sombong, baik dalam bersikap maupun dalam berbicara. Semuanya tidak lepas dari ikatan dan tuntutan akidah yang benar.
Dominasi pembahasan seputar akidah dalam surat ini memang wajar karena surat Luqman termasuk surat Makkiyyah yang notabene memberi fokus pada penanaman dan penguatan akidah secara prioritas. Terlepas dari pro kontra siapa Luqman sesungguhnya; apakah ia seorang nabi ataukah ia hanya seorang lelaki shalih yang diberi ilmu dan hikmah, yang jelas jumhur ulama lebih cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa ia hanya seorang hamba yang shalih dan ahli hikmah, bukan seorang nabi seperti yang diperkatakan oleh sebagian ulama. Gelar Al-Hakim di akhir nama Luqman tentu gelar yang tepat untuknya sesuai dengan ucapannya, perbuatan dan sikapnya yang memang menunjukkan sikap yang bijaksana. Allah sendiri telah menganugerahinya hikmah seperti yang ditegaskan dalam ayat sebelumnya yaitu Luqman: 12.
Yang menarik disini bahwa ternyata sosok Luqman bukanlah seorang yang terpandang atau memiliki pengaruh. Ia hanya seorang hamba Habasyah yang berkulit hitam dan tidak punya kedudukan sosial yang tinggi di masyarakat. Namun hikmah yang diterimanya menjadikan ucapannya dalam bentuk pesan dan nasehat layak untuk diikuti oleh seluruh orang tua tanpa terkecuali. Hal ini terungkap dalam riwayat Ibnu Jarir bahwa seseorang yang berkulit hitam pernah mengadu kepada Sa’id bin Musayyib. Maka Sa’id menenangkannya dengan mengatakan: “Janganlah engkau bersedih (berkecil hati) karena warna kulitmu hitam. Sesungguhnya terdapat tiga orang pilihan yang kesemuanya berkulit hitam, yaitu Bilal, Mahja’ maula Umar bin Khattab dan Luqman Al-Hakim”.

Rangkaian pesan dan nasehat Luqman yang tersebut dalam 7 ayat di atas secara redaksional dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu bentuk larangan yang berjumlah 3 ayat dan redaksi perintah yang berjumlah 3 ayat. Sedangkan yang mengapit antara keduanya adalah pesan untuk senantiasa muraqabtuLlah karena Allah Maha Mengetahui apa yang dilakukan oleh setiap hambaNya tanpa terkecuali meskipun hanya sebesar biji zarrah dan dilakukan di tempat yang sangat mustahil diketahui oleh siapapun melainkan oleh Allah swt. Tiga larangan yang dimaksud adalah larangan mempersekutukan Allah, larangan menta’ati perintah kedua orang tua dalam konteks kemaksiatan, serta larangan bersikap sombong. Sedangkan nasehat dalam bentuk perintah diawali dengan perintah berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua dalam keadaan apapun mereka yang diringi dengan mensyukuri Allah atas segala anugerah dan limpahan rahmatNya dalam beragam bentuk, perintah untuk mendirikan shalat, memerintah yang ma’ruf dan mencegah yang munkar serta perintah bersikap sederhana dalam berjalan dan bersuara (berbicara)
.
Dalam menjelaskan secara aplikatif tafsir ayat 15 dari surat Luqman ini, Ibnul Atsir dalam kitab Usudul Ghabah ( 2: 216) menukil riwayat Thabrani yang mengetengahkan kisah seorang anak yang bernama Sa’ad bin Malik yang tetap berbakti menghadapi ibundanya yang menentang keras keislamannya dengan melakukan aksi mogok makan beberapa hari lamanya sehingga terlihat kepenatan menimpa ibundanya. Namun dengan tegas dan tetap menunjukkan baktinya Sa’ad berkata dengan bijak kepada ibundanya: “Wahai ibu, sekiranya engkau memiliki seratus nyawa. Lalu satu persatu nyawa itu keluar dari jasadmu agar aku meninggalkan agama (Islam) ini maka aku tidak akan pernah menuruti keinginanmu. Jika engkau sudi silahkan makan makanan yang telah aku sediakan. Namun jika engkau tidak berkenan, maka tidak masalah.”
Akhirnya ibu Sa’ad pun memakan makanan yang dihidangkannya, karena merasa bahwa upaya yang cukup ekstrim itu tidak akan meluluhkan keteguhan hati anaknya dalam agama Islam. Tentu sikap yang bijak yang ditunjukkan oleh seorang anak terhadap sikap memaksa kedua orang tuanya yang digambarkan dalam ayat ke 15 tidak akan hadir secara instan tanpa didahului oleh pemahaman yang benar akan akidah Islam, terutama akidah kepada Allah.
Kisah di atas jelas merupakan sebuah kisah yang sangat menarik dan berat untuk difahami dalam konteks kekinian. Bagaimana secara sinergis seorang anak tetap mampu menghadirkan sikap bakti kepada orang tua dengan tetap mempertahankan ideologi dan keyakinan yang dianutnya yang berbeda dengan keyakinan kedua orang tuanya. Pada ghalibnya seorang anak akan merasakan kesukaran dan keberatan untuk menimbang antara ketaatan kepada perintah orang tua dan bersikap ihsan serta berbakti kepada keduanya. Menurut Ibnu Katsir berbakti kepada kedua orang tua adalah dalam konteks bersilaturahim, mendoakan dan memberikan bantuan yang semestinya yang harus dibedakan dengan ketaatan yang berujung kepada bermaksiat kepada Allah. Tentang hal ini, Sufyan bin Uyainah pernah berkata :
“Barangsiapa yang menegakkan shalat lima waktu berarti ia telah mensyukuri Allah dan barangsiapa yang senantiasa berdoa untuk kedua orang tuanya setiap selesai shalat, maka berarti ia telah mensyukuri kedua orang tuanya.”
Sungguh sebuah sikap yang matang dan bijak yang tentu berawal dari model pendidikan yang bernuansa ‘akidi dan akhlaqi’ dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan tuntutan kekinian yang seimbang dengan landasan prinsip dalam berIslam secara baik dan benar. Anak-anak sekarang sangat mendambakan nasehat orang tua yang memperkuat, bukan memanjakan karena memang mereka hidup untuk zaman yang berbeda dengan zaman kedua orang tuanya seperti yang diisyaratkan oleh Rasulullah dalam haditsnya:
“Pilihlah tempat nuthfahmu untuk dibuahkan. Karena sesungguhnya anak-anakmu dilahirkan untuk zaman mereka yang berbeda dengan zamanmu.”
Demikian nasehat dan pesan Luqman dalam mendidik anaknya yang didahului oleh pendidikan akidah tentang keEsaan Allah dan pengetahuanNya yang absolut yang akan melahirkan sikap mawas diri, hati-hati dan muraqabatuLlah dalam bersikap dan bertindak. Kekuatan dan kemantapan akidah tersebut akan terespon dan termanifestasikan dalam berakhlak dan berperilaku kepada orang lain, terutama sekali terhadap kedua orang tua. Sungguh satu upaya yang serius dari seorang Luqman yang bijak untuk mendekatkan dan memperkenalkan seorang anak sejak dini dengan RabbNya yang berdampak pada kebaikan dan kesejahteraan lahir dan bathin, serta menjadikannya memiliki tingkat imunitas dan pertahanan diri yang kokoh menghadapi beragam godaan kehidupan yang dirasa kian melalaikan dan menjerumuskan.

PENUTUP

Adapun hikmah yang dapat kita ambil pelajaran dari seorang yang bijaksana antara lain.
Ø  Pentingnya menjaga Tauhid dan kejinya dosa Syirik
Ø  Menjelaskan arti hikmah, yaitu bersyukur kepada Allah Swt dengan cara taat dan selalu ingat kepadaNya. Dan orang yang bersyukur itu pasti orang memiliki akal sehat
Ø  Pentingnya memberi nasehat yang baik, sekaligus memberi solusi (irsyad) kepada siapa saja
Ø  Buruknya dosa musyrik dan jeleknya orang yang memusyrikan Allah Swt
Ø  Keharusan taat kepada orang tua dan mempelakukan mereka dengan lembut dan sayang
Ø  Pengukuhan pedoman, “ Tidak boleh patuh kepada seseorang jika menyuruh berbuat dosa kepada Allah Swt.” Dan ini berlaku kepada orang tua untuk tidak taat atas kemauan mereka ketika diperintah melakukan keburukan.
Ø  Wajib mengikuti jalan yang benar sesuai Al-Qur’an dan Sunnah dan haramnya mengikuti jalan yang tidak berdasar kepada kedua pusaka itu


Daftar pustaka

Ghazali, Muhammad, Tafsir Tematik Dalam Alquran. Dari judul asli Nawh Tafsir Mudhudhuiyy Li Suwar Alquran (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005)

Selasa, 03 Januari 2012

Sejarah Pendidikan Islam di Nusa Tenggara


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW, karena dengan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya makalah ini dapat tersusun dan terselesaikan.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini berjudul ”Sejarah Pendidikan Agama Islam di Nusa Tenggara”
Makalah ini bertujuan untuk membantu dan menambah wawasan kita. Makalah ini memuat : Pendahuluan, Pembahasan dan Penutup.
Pemakalah menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu para pembaca dan para pakar, pemakalah mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan makalah ini.
Kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan kritik demi sempurnanya makalah ini saya mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini membawa manfaat bagi kita semua. Amin.

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, tetapi baru meluas pada abad ke-13 M. Perluasan Islam ditandai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara seperti kerajaan Perlak dan Samudra Pasai di Aceh pada tahun 1292 dan tahun 1297. Melalui pusat-pusat perdagangan di daerah pantai Sumatera Utara dan melalui urat nadi perdagangan di Malaka, agama Islam kemudian menyebar ke Pulau Jawa dan seterusnya ke Indonesia bagian timur termasuk Nusa Tenggara.[1]
Mungkin tidak banyak yang tahu bagaimana sejarah Islam di Nusa Tenggara temasuk bagaimana pendidikan Islam di Nusa tenggara, karena minimnya informasi yang didapat dan sedikit sekali pelajaran yang mengupas panjang lebar mengenai sejarah dan perkembangan PAI di Nusa Tenggara. Untuk itu sangat penting mengupas dan memahami bagaimana sejarah keberadaan Islam di Nusa Tenggara serta Bagaimana Pendidikan Agama Islam di Nusa Tenggara. Karena dapat memberi pemahaman yang jelas tentang perkembangan Islam dan pendidikan Agama Islam di Nusa Tenggara.

B.     Rumusan Masalah
Merunut pada prolog di atas, maka pemakalah akan member batasan yang jelas dan tegas mengenai permasalahan yang akan pemakalah tulis. Tema di atas memang begitu menarik untuk dibahas dan juga sangat komplek tetapi demi pemahaman atas tema bahasan, alangkah arifnya jika pemakalah diperkenankan menawarkan rumusan masalah yang mendasar yaitu :
1.      Sejarah Masuknya Islam di Nusa Tenggara
2.      Pendidikan Islam di Nusa Tenggara
3.      System Pendidikan Islam

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Masuknya Islam di Nusa Tenggara
Islam masuk ke Nusa Tenggara seiring dengan penaklukan daerah Bore (1606), Bima (1616, 1618 dan 1628 M), Buton (1626 M) oleh Kerajaan Goa. Dengan ditaklukkannya daerah tersebut, agama Islam tersebar ke daerah taklukannya sampai ke Nusa Tenggara[2].
Sekarang keadaan agama Islam di Nusa Tenggara sebagai berikut : Di Lombok, Bima, Sumbawa boleh dikatakan kebanyakan penduduknya beragama Islam.
Fachry Ali dan Bachtiar Effendy menguraikan, setidaknya terdapat tiga faktor utama yang ikut mempercepat proses penyebaran Islam di Indonesia termasuk Nusa Tenggara[3], yaitu:
1.      Karena ajaran Islam melaksanakan prinsip ketauhidan dalam system ketuhanannya, suatu prinsip yang secara tegas menekankan ajaran untuk mempercayai Tuhan Yang Maha Tunggal. Sebagai konsekuensinya, Islam juga mengajarkan prinsip keadilan dan persamaan dalam tata hubungan kemasyarakatan.
2.      Karena daya lentur (fleksibilitas) ajaran Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan kodifikasi nilai-nilai yang universal.
3.      Islam oleh masyarakat Indonesia dianggap sebagai suatu institusi yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan ekspansi pengaruh barat .
Sedangkan Prof. H. Mahmud Yunus lebih memerinci tentang factor-faktor mengapa agama Islam dapat tersebar dengan cepat di seluruh Indonesia pada masa permulaan, yaitu :
1.      Agama Islam  tidak sempit dan tidak berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah diturut oleh segala golongan ummat manusia, bahkan untuk masuk Islam cukup dengan mengucapkan dua kalimah syahadat saja.
2.      Sedikit tugas dan kewajiban Islam.
3.      Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
4.      Penyiaran Islam dilakukan dengan cara kebijaksanaan dan cara yang sebaik-baiknya.
5.      Penyiaran Islam itu dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan atas, yang sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang maksudnya : Berbicaralah kamu dengan manusia menurut kadar akal mereka.

B.     Pendidikan Agama Islam di Nusa Tenggara
Madrasah Nahdltul Wathan Diniyah islamiyyah didirikan pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H oleh H. Muhammad Zainuddin, seorang ulama besar di Pancor, Lombok Timur.[4]
Pada tahun 1943 M didirikan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah oleh K.H. Muhammad Zainuddin di samping Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah. Madrasah ini ditujukan bagi murid-murid putri. Madrasah-madrasah tersebut mempunyai beberapa bagian, diantaranya :
1.      Tahdliryah
2.      Ibtidaiyah
3.      Mu’alimin / mukallimat
4.      Bagian SMI
5.      Bagian PGA
Pelajaran bagian Tahdliriah dan Ibtidaiyah dititik beratkan dalam mata pelajaran agama Islam. Pelajaran pada Mu’allimin/Mu’allimat 70% agam dan 30% pengetahuan umum. Sedangkan pada S.M.I. sebaliknya, yaitu : 30% agama dan 70% pengetahuan umum. Pelajaran pada P.G.A adalah menurut rencana pengajaran P.G.A. Negeri.
Pada akhir 1372 H., tepatnya tanggal 15 Jumadil Akhir (1 Maret 1953 M) Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islammiyah dan Nahdlatul  Banat Diniyah Islamiyah dengan seluruh cabang-cabangnya dijelmakan menjadi satu organisasi dengan nama Nahdlatul Mathan (NW), yaitu organisasi pendidikan dan sosial yang berpuat di Pancor (Lombok Timur) dan mendapat sambutan yang baik dari umat Islam, sehingga tidak berapa lama cabang-cabang dan ranting-rantingnya tersebar di seluruh pelosok pulau lombok.
Selain daripada madrasah-madrasah Nahdlatul Wathan, ada madrasah-madrasah lain yang berdiri sendiri di Nusa Tenggara, diantaranya yaitu[5] :
1.      Madrasah Al-Ittihad di Ampenan (Lombok Barat).
2.      Madrasah Al-Islam di Kediri (Lombok tengah).
3.      Madrasah Al-Banat di Masbagik (Lombok Timur).
4.      Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Tanjung Teros (Lombok Timur).
5.      Madrasah Darul Ulum di Bima (Sumbawa).
6.      Dan lain-lain.
C.     Sistem Pendidikan Islam
1.      Sistem pendidikan Langgar/Musolla
Pada perkembangan awal, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Pendidika agama Islam di langgar/musolla bersifat elementer, dimulai dengan mempelajari abjad huruf Arab (Hijaiyah) atau kadang-kadang langsung mengikuti  guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci al-Qur’an. Pelajaran memakan waktu beberapa bulan, tetapi umumnya sekitar satu tahun[6].
Adapun tujuan pendidikan di langgar/musolla adalah agar anak didik dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan tidak dirasakan keperluan untuk memahami isinya. Mengenai metode penyampaian materi pada pendidikan langgar/musolla memakai dua sistem, yaitu sistem sorogan, dimana dengan sistem ini anak secara perorangan belajar dengan guru. Dan sistem halaqah yakni seorang guru dalam pengajarannya duduk dengan dikelilingi murid-muridnya.
2.      Sistem Pendidikan Pesantren
Sejarah pesantren, jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian (nggon ngaji). Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren. Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.[7]
Pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dan berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawila atau abdi masyarakat tetapi rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti Sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat (‘Izz al-Islam wa al-Muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.
Pesantren merupakan pranata pendidikan tradisional yang dipimpin kalau di Jawa disebut Kiai, di sunda disebut Ajengan, di Aceh disebut Tengku, di Sumatera Utara/ Tapanuli disebut Syaikh, di Minangkabau disebut Buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah disebut Tuan Guru. Mereka semua juga bisa disebut ulama sebagai sebutan yang lebih umum (menasional), meskipun pemahaman ulama mengalami pergeseran.

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sejarah pendidikan Islam di Nusa Tenggara tidak terlepas bagaimana Islam menyebar di Nusa Tenggara, bahwa Islam dating mula-mula Sulawesi Selatan kemudian kerajaan Goa menyempurnakan penyebarannya hingga sampai ke Nusa Tenggara.
Sejarah pendidikan Islam  di Nusa Tenggara secara resmi mencatat bahwa ada lembaga pendidikan yang didirikan oleh H. Muhammad Zainuddin yang bernama Madrasah Nahdlatul Wathan Diniah pada tahun 1936 M. disamping itu ada lagi madrasah yang berdiri sendiri di Nusa Tenggara.
System pendidikan Islam di Nusantara mencakup Nusa Tenggara ada dua macam, yaitu : system pendidika langgar/musolla serta system pendidikan pesantren.

B.     Saran
Demikian makalah yang berisi tentang pembahasan mengenai sejarah dan perkembangan PAI di Nusa Tenggara pemakalah sampaikan. Agar dapat memberi pemahaman yang lebih tentang sejarah PAI di Nusa Tenggara kita harus banyak mengorek informasi dari banyak buku serta internet. Dengan kita mempelajarinya kita akan mengetahui informasi dan pemahaman yang lebih tentang sejarah dan perkembangan PAI di Nusa Tenggara baik dari munculnya agama Islam hingga sekarang. Formal, informal serta non formal.
 
DAFTAR PUSTAKA
Yunus, H. Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1995. Cet IV.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995. Cet I.
Djuwaeli, H. M. Irsyad, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam, Ciputat : Karsa Utama Mandiri, 1998. Cet I.


[1] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Pertumbuhan dan Perkembngannya, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995. Cet I. h 17.
[2] Prof. H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1995. Cet IV. H 323.
[3] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Pertumbuhan dan Perkembngannya, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995. Cet I. h 20.
[4] Prof. H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1995. Cet IV. H 341.
[5] Prof. H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1995. Cet IV. H 343.
[6] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Pertumbuhan dan Perkembngannya, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995. Cet I.21.
[7] H.M. Irsyad Djuwaini, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, Ciputat : Karsa Utama Mandiri, 1998. Cet I. h 50.