WELCOME

selamat datang wahai para pencari tuhan, kami akan membantu anda memasuki dunia yang penuh warna...

Sabtu, 02 Juni 2012

Keadilan Dalam Perspektif Al-Qur'an


BAB I
PENDAHULUAN

Keadilan adalah sesuatu yang sangat signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur`an banyak mengungkapkan ayat-ayat tentang keadilan, term yang digunakan didalam al-Qur`an ketika menyebutkan keadilan adalah al-Adl dan al-Qisht.
   Melalui tulisan ini penulis mencoba mengungkapkan penafsiran Sayyid Quthb terhadap ayat-ayat keadilan didalam tafsir Fi Zhilal al-Qur`an. Bagimana Sayyid Quthb mendefinisikan keadilan, apa tujuan menegakkan keadilan, siapa yang berhak mendapatkan keadilan dan dasar apa yang digunakan untuk menegakkan keadilan. Menurut Sayyid Quthb keadilan itu bersifat mutlak yang bersifat menyeluruh diantara semua manusia.
 Tujuan menegakkan keadilan itu semata-mata karena Allah bukan karena kebaikan seseorang, golongan atau kelompok, dan yang berhak mendapatkan keadilan adalah semua manusia, muslim atau kafir, teman atau lawan, kaya ataupun miskin. Adapun aturan yang digunakan untuk menegakkan keadilan adalah syari`at Allah.
BAB II
PEMBAHASAN

A.                Pengertian dan Term-term Keadilan dalam al-Qur`an
Al-Qur`an menggunakan term (al-`Adl) dan (al-Qisht) untuk pengertian keadilan. Dilihat dari akar katanya, term al-`Adl terdiri dari huruf `ain, dal dan lam. Maksud yang terkandung didalamnya ada dua macam, yaitu lurus dan bengkok. Makna ini bertolak belakang antara satu dan lainnya. Intinya ialah persamaan atau al-musawah.[1]
Sementara akar kata al-Qisht terdiri dari tiga huruf yaitu qaf, sin dan tha. Makna yang terkandung dalam struktur ketiga huruf di atas ada tiga macam yaitu keadilan atau al-Qisht, kecenderungan atau al-Qasht dan bengkok atau al-Qasath. Dari pengertian di atas dapat dimunculkan lagi dua makna yang lain yaitu bagian al-Nashib dan neraca atau al-Qisthas.[2]
Term al-Qisht dapat diartikan sebagai memperoleh bagian dan porsi yang adil. Kemudian term al-Qasht dapat diartikan sebagai mengambil porsi orang lain atau curang. Sedangkan term al-Iqsath dapat diartikan sebagai memberikan hak dan porsi seseorang kepada yang bersangkutan.[3] Jadi tampaknya term al-Iqsath ini mengarah kepada pengertian keadilan dalam makna proposional.
B.                 Penafsiran Sayyid Quthb atas Ayat-ayat Keadilan
Ada sejumlah ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan keadilan dan relevan dengan tema pembahasan, diantaranya adalah:
1.      Al-Qur`an secara tegas telah memberikan tuntunan agar berlaku adil kepada semua manusia. Hal ini ditegaskan Allah dalam surah al-Nisa ayat 58:
  
Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-sebaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat
Sayyid Quthb menafsirkan ayat di atas bahwa keadilan itu bersifat mutlak yang berarti meliputi keadilan yang menyeluruh diantara semua manusia, bukan keadilan diantara sesama kaum muslimin dan terhadap ahli kitab saja. Keadilan merupakan hak setiap manusia mukmin ataupun kafir, teman ataupun lawan, orang berkulit putih ataupun berkulit hitam orang arab ataupun orang ajam (non arab).[4] Dalam menafsirkan ayat di atas, nampak sekali pembelaan Sayyid Quthb terhadap Islam, hal ini bisa dilihat ketika dia mengatakan bahwa memutuskan hukum dengan adil itu sama sekali belum pernah dikenal oleh manusia kecuali hanya di masa kepemimpinan Islam saja.
2.      Al-Qur`an memberikan tuntunan agar ketika menegakkan keadilan tidak menggunakan hawa nafsu. Ada beberapa ayat yang menegaskan agar tidak cenderung kepada hawa nafsu, kebencian atau penghormatan ketika memutuskan perkara. Salah satu ayat tersebut adalah Firman Allah SWT:
 
 Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemashlahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(QS. al-Nisa : 135).
Menurut Sayyid Quthb ayat di atas merupakan amanat untuk menegakkan keadilan yang sebenarnya pada semua tempat dan keadaan dan semua manusia baik mukmin ataupun kafir, teman atau musuh, kaya ataupun miskin menurut pandangan Allah memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keadilan. Dan menegakkan keadilan itu tidak karena kebaikan seseorang, golongan atau kelompok dan berusaha untuk melepaskan dari semua kecenderungan, hawa nafsu, kemashlahatan dan penghormatan tetapi semata-mata karena Allah.[5]
3.      Menegakkan keadilan itu semata-mata karena ketaqwaan kepada Allah. Hal ini dijelaskan Allah dalam surah al-Maidah ayat 8;
 
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqw. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Sayyid Quthb memberikan penafsiran pada ayat ini bahwa berbuat adil itu harus yang mutlak tidak karena cenderung kasih sayang atau kebencian pada seseorang juga tidak karena kerabat, kemashlahatan atau hawa nafsu.[6] Keadilan itu muncul hanya karena ketaqwaan kepada Allah SWT.[7]
4.      Para Rasul membawa risah keadilan untuk manusia. Sebagaimana firman Allah SWT;
(
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan...QS. al-Hadid : 25.
Setiap rasul itu datang untuk menetapkan keadilan di muka bumi untuk memperbaiki perbuatan-perbuatan dan rasa aman dari hawa nafsu. Maka mizan (keadilan) itu menjadi pegangan yang tetap bagi manusia, karena mereka menemukan di dalamnya sesuatu yang haq (kebenaran).[8]
Dari beberapa penafsiran Sayyid Quthb di atas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa keadilan itu halus sebagaimana timbangan yang lurus, keseimbangan hak-hak manusia dan kebebasan. Dalam hal ini Sayyid Quthb mengidentifikasikan kepada Islam sebagai ajaran, karena dalam setiap pembahasannya tentang keadilan selalu merujuk pada al-Qur`an dan tidak bebas nilai. Sebagaimana yang dia katakan bahwa Islam datang dengan keadilan yang menanggung setiap pribadi dan kelompok yang merupakan undang-undang mutlak untuk dilaksanakan, tidak cenderung kepada hawa nafsu, tidak mengutamakan cinta kasih dan kebencian, tidak pula membedakan kaya, miskin, kuat dan lemah dalam menegakkannya.
Jadi apa yang dimaksud Sayyid Quthb tentang keadilan merupakan suatu yang agung, keadilan yang tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu, nafsu dan kecenderungan-kecenderungan lain. Keadilan yang menuntut perlakuan sama terhadap semua manusia tanpa terkecuali.
Adapun tujuan penegakkan keadilan menurut Sayyid Quthb adalah untuk memberi rasa aman dari kekacauan hawa nafsu dan berbenturannya kemashlahatan dan kemadharata. Dan yang paling penting adalah bertujuan untuk menuju ketaqwaan dan keridhaan Allah SWT. Sedangkan yang berhak untuk mendapatkan keadilan menurut penafsiran Sayyid Quthb adalah semua manusia berdasarkan manhaj rabbani baik yang mukmin maupun non mukmin, teman atau lawan kaya atau miskin, arab atau `ajam. Dan yang perlu diperhatikan lanjut Sayyid adalah menegakkan keadilan itu berdasarkan syari`at Allah, karena jika menegakkan keadilan itu tidak berdasarkan syari`at Allah, maka hal itu tidak berlangsung lama dalam kehidupan manusia dan hal itu merupakan kekacauan yang dihembuskan oleh orang-orang jahiliyah dan berdasarkan hawa nafsu.[9]

BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keadilan itu merupakan sesuatu yang sangat di tegaskan dalam Islam yang menuntut perlakuan yang sama terhadap semua manusia tanpa terkecuali. Adapun tujuan penegakan keadilan itu untuk menuju ketaqwaan dan keridhaan Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyya, Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz V, t.tp : Dar al-Fikr, 1979.
Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, Damsyik : Dar al-Qalam, 1992.
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid II, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVII, 1412 H/1992 M.
Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz IV, Bandung : Maktabah Dahlan.


[1] Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyya, (Selanjutnya disebut Ibn Faris) Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz V, t.tp : Dar al-Fikr, 1979, hal. 246.
[2] Ibid, hal. 86.
[3] Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, Damsyik : Dar al-Qalam, 1992, hal. 670.
[4] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid II, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVII, 1412 H/1992 M, hal. 690.
[5] Ibid, hal. 776.
[6] Berkaitan dengan keadilan ini, Rasulullah menjelaskan dalam hadisnya; Wahai sekalian manusia, sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu telah sesat disebabkan mereka itu melaksanakan hukum atas orang-orang yang hina dan memaafkan orang-orang yang terhormat. Aku bersumpah, demi Allah, sekiranya Fatimah puteri Rasulullah mencuri sesuatu, niscaya kupotong tangannya. Lihat Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz IV, Bandung : Maktabah Dahlan, t.t., h. 2856.
[7] Ibid, hal. 852.
[8] Ibid, Jilid VI, hal. 3494.
[9] Ibid, Jilid VI, Hal 3495.