WELCOME

selamat datang wahai para pencari tuhan, kami akan membantu anda memasuki dunia yang penuh warna...

Sabtu, 13 Agustus 2011

Muhamad Dan Wahyu

Oleh: Fathur Rozi
Mahasiswa PTIQ Jakarta, Fakultas Ushuluddin II
Dalam lima kali sehari ratusan atau bahkan jutaan muslim di dunia ini menghadap ka’bah untuk melakukan sembahyang. Mereka adalah bagian dari komunitas Islam yang membentangi bumi ini yang berjumlah kurang lebih 900 juta pemeluk lebih, yang senantiasa menyebarkan risalahnya di Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika Utara.
Selain lebih dari empat puluh empat negara terbentang dari Senegal sampai Indonesia, risalah Islam dan penduduk muslim dapat pula ditemukan di [eks] Unisoviet, Cina, India, Inggris, Amerika dan mereka sudah pasti mengetahui siapa itu Muhammad dan apa yang disebut wahyu itu.
Muhammad bin Abdullah dilahirkan di Makkah kira-kira tahun 570 beliau berasal dari golongan keluarga yang terhormat, keturunan suku atau kaum Quraisy. Ayah beliau telah meninggal dunia sebelum beliau lahir dan ibunya meninggal ketika beliau masih anak-anak.
Kemudian beliau dibesarkan oleh pamannya yang bernama Abu Thalib, seorang yang walaupun tidak mau menerima Islam tetapi dia mempertahankan keponakannya mati-matian dari permusuhan ataupun penolakan keras yang dilakukan oleh orang-orang Makkah yang membenci agama Islam yang baru itu.
Tidak banyak diketahui tentang kehidupan Muhammad sebelum beliau menerima wahyu [Al-Qur’an] ketika beliau berusia kira-kira empat puluh tahun, beliau adalah seorang yang amat jujur dan berahlak mulia sehingga membuat janda kaya yang bernama Khadijah yang umurnya lima belas tahun lebih tua dari beliau mempekerjakan atau mempercayakan pada beliau untuk mengurusi perdagangannya.
Khadijah begitu terkesan oleh kejujuran dan perangai beliau sehingga ia meminta beliau untuk menjadi suaminya, yang pada saat usia beliau dua puluh lima tahun lebih muda beliau menerima permintaan itu dan tidak kawin lagi sampai Khadijah meninggal dunia pada saat beliau berusia lima puluh tahun.
Beliau juga secara teratur menyepi ke Gua Hira dimana beliau menghabiskan banyak waktu untuk berkontemplasi sehingga pada saat proses batiniah atau pengalaman religio-moral ini mencapai puncaknya dengan turunnya wahyu kepada beliau pada saat beliau tenggelam dalam relung renungannya yang dalam, dan wahyu itu kita sebut dengan al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan oleh Allah pada Nabi Muhammad saw, menururt hadis wahyu yang pertama kali diturunkan kepaa Nabi adalah wahyu berikut:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu, yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajarkan manusia dengan perantara pena (kalam): Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah sesungguhnya manusia itu bener-benar melampaui batas (pendurhaka), karena dia melihat dirinya serba cukup. Tapi kepada Tuhanmu semuanya akan kembali”
Cerita-cerita paling awal tentang Muhammad merujuk pada kenyataan bahwa pengalaman ini terjadi dalam atau disertai oleh suatu keadaan ‘setengah sadar’ atau ‘kwasi’-mimpi, karena Nabi diriwayatkan setelah menceritakan pengalamnnya itu telah mengatakan: “Kemudian aku terjaga” sementara tradisi Islam menjelaskan bahwa pengalaman-pengalaman wahyu Nabi ini biasanya disertai oleh gejala-gejala fisik tertentu.
Berdaasarkan ini beberapa sejarawan modern mengemukakan bahwa Nabi Muhammad menderita penyakit ayan. Tapi, bila kita periksa lebih seksama teori penyakit ayan ini menghadapi sanggahan. Pertama-tama, kondisi ini timbul baru setelah karir kenabian Muhammad mulai, yaitu setelah beliau berusia empat puluh tahun sedangkan kondisi tersebut tidak ada jejaknya di dalam kehidupan beliau sebelumnya.
Hadis atau tradisi Islam diatas tersebut menjelaskan bahwa kondisi ini hanya terjdi bersama-sama dengan pengalaman penerimaan wahyu dan tidak pernah terjadi secara terpisah. Sungguh kalau ini disebut dengan penyakit ayan, tentulah itu jenis penyakit ayan yang aneh yang selalu menyerag pada saat turunnya prinsip-prinsip hidayah bagi suatu gerakan yang sedemikian kreatif dan kuatnya seperti gerakan Nabi tu, serta tidak pernah kambuh diwaktu lain.
Hampir tidak bisa dipercaya bahwa sesuatu penyakit yang telah kelihatan seperti ayan tidak diketahui dengan jelas dan pasti oleh suatu masyarakat Makkah atau Madinah pada waktu itu. Cerita ini juga menggambarakan Nabi selama turunnya wahyu, bagaikan dalam keadaan psiko-fisik yang tidak normal, padahal penyakit ayan bagaimanapun juga bisa terjadi dalam keadan normal.
Kini pandangan teradap Nabi dan wahyu kenabiaan yang menyatakan bahwa tingkat kesadaran Nabi adalah normal merupakan pandangan yang didukung oleh semua orang, bahkan dikemudian harinya dirumuskan secara eksplisit oleh ortodoksi Islam. Perumusan ini diduga untuk menjamin eksternalitas dari malaikat atau suara wahyu demi mengamankan obyektifitas wahyu.
Mungkin hal ini bagi kita secara intelektual nampak tidak dewasa, tetapi pada masa tatkala ajaran-ajaran dogma sedang dalam proses pembentukan, tentunya terdapat alasa-alasan yang cukup untuk memaksa mengambil langkah yang demikian itu dengan tujuan untuk menghadpi kaum rasonalitas.
Jakarta 07 juli 2011