WELCOME

selamat datang wahai para pencari tuhan, kami akan membantu anda memasuki dunia yang penuh warna...

Selasa, 28 Juni 2011

faktor psikologi dalam mengajar

BAB I
PENDAHULUAN
Mengajar merupakan suatu kegiatan yang memberikan aspek positif terhadap diri manusia, baik terhadap pribadinya ataupun orang lain. Namun disadari atau tidak, dalam hal mengajar tidak semua orang bisa melakukannya dengan baik, perlu banyak faktor yang bisa mendukung agar seseorang bisa melakukannya dengan baik.
Dalam ilmu pendidikan islam karangan Ramayulis ditegaskan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pendidik agar bisa mengajar/mendidik anak. Hal ini untuk meminimalisir penyimpangan-penyimpangan dalam hal mengajar/mendidik.
Dari banyak faktor di atas kami hanya ingin menjelaskan uraian tentang faktor-faktor psikologi dalam mengajar. Kehadiran faktor-faktor psikologis dalam mengajar akan memberikan andil yang cukup penting, faktor-faktor psikologis akan senantiasa memberikan landasan dan kemudahan dalam upaya mencapai tujuan secara optimal. Sebaliknya, tanpa kehadiran faktor-faktor psikologis, bisa jadi mempersulit dalam mengajar.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi atau system lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk berlangsungnya proses belajar. Kalau belajar dikatakan milik siswa/mahasiswa, maka mengajar sebagai kegiatan guru/dosen.
Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan pada anak didik. Menurut pengertian ini berarti tujuan belajar siswa/mahasiswa itu hanya sekedar ingin mendapatkan atau menguasai pengetahuan. Sebagai konsekuensi dari pengertian ini dapat membuat suatu kecendrungan anak didik menjadi pasif, karena hanya menerima informasi pengetahuan yang diberikan oleh gurunya. Oleh karena itu, pengajaran seperti ini disebut juga dengan pengajaran yang intelektualistis.
Selanjutnya mengajar adalah menanamkan pengetahuan kepada anak didik dengan suatu harapan terjadi proses pemahaman . Dalam proses ini siswa/mahasiswa mengenal dan menguasai pengetahuan untuk kemudian dapat memperkayanya. Hal ini berangkat dari intelektualnya, siswa/mahasiswa dapat menciptakan sesuatu yang baru.
Kemudian pengertian yang luas, mengajar dapat diartikan sebagai upaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk berlangsungnya kegiatan belajar bagi para siswa. Kondisi itu diciptakan sedemikian rupa sehingga membantu perkembangan anak didik secara optimal baik jasmani dan rohani, baik fisik ataupun mental.
Sedangkan psikologi adalah ilmu yang ingin mempelajari manusia. Manusia adalah satu kesatuan yang bulat antara jasmani dan rohani. Apa yang hendak diselidiki oleh psikologi ialah segala sesuatu yang dapat memberikan jawaban tentang apa sebenarnya manusiaitu, mengapa ia berbuat demikian, apa yang mendorongnya berbuat demikian, apa maksud dan tujuannya ia berbuat demikian. Lebih jelasnya psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
Apabila dibulatkan menjadi satu kesatuan antara kata psikologi dengan mengajar adalah segala sesuatu yang dapat memberikan jawaban tentang manusia dalam upaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk berlangsungnya kegiatan belajar bagi para siswa. Sedangkan faktor-faktor psikologi dalam mengajar adalah peristiwa tingkah laku pengajar/seseorang dalam upaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk berlangsungnya kegiatan belajar bagi para siswa.
B. FAKTOR PSIKOLOGI DALAM MENGAJAR
Mengajar bukan tugas yang ringan bagi seorang guru. Dalam mengajar guru/dosen berhadapan dengan sekelompok siswa atau mahasiswa dimana mereka adalah makhluk hidup/manusia yang memerlukan bimbingan dan pembinaan untuk menuju kedewasaan dan masa depan yang cerah. Untuk itu ada banyak faktor yang mempengaruhi seorang guru dalam mengajar salah satunya faktor psikologi.
Sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang tergolong ke dalam faktor psikologi yang berpengaruh dalam mengajar. Faktor-faktor tersebut antara lain :
1. Motivasi
Seseorang akan berhasil dalam mengajar, apabila dalam dirinya sendiri ada keinginan untuk mengajar. Inilah prinsip dan hukum pertama dalam pendidikan. Keinginan dan dorongan mengajar inilah yang disebut motivasi. Motivasi dalam hal ini meliputi dua hal : Pertama, mengetahui apa yang akan diajari, dan kedua, memahami mengapa hal tersebut patut diajari. Dengan berpijak pada dua unsur motivasi inilah sebagai dasar permulaan yang baik untuk mengajar. Sebab tanpa motivasi kegiatan belajar ataupun mengajar sulit berhasil, minimal kurang sempurna.
2. Konsentrasi
Konsentrasi disini artinya memusatkan segenap kekuatan perhatian pada suatu situasi mengajar. Unsur motivasi dalam hal ini sangat membantu tumbuhnya proses pemusatan perhatian. Di dalam konsentrasi inilah keterlibatan mental secara intens sangat diperlukan sehingga tidak perhatian sekedarnya.


Di dalam mengajar, mungkin juga ada perhatian sekedarnya, tetapi tidak konsentrasi, maka apa yang diajarkan tidak maksimal dan terkesan setengah-tengah. Kesan seperti ini tidak baik mungkin untuk satu dua kali tidak ada masalah namun apabila hal tersebut berulang-ulang ketika mengajar, dikuatirkan ada yang kata-kata/ucapan yang kurang pas untuk didengar bagi anak didik.
3. Reaksi
Di dalam hal mengajar diperlukan keterlibatan untuk fisik ataupun mental, sebagai suatu wujud reaksi. Pikiran dan otot-ototnya harus dapat bekerja secara harmonis sehingga memberikan nilai/hasil yang optimal terhadap anak didik.
Mengajar itu harus aktif, tidak sekedar apa adanya, tetapi semua itu harus dipandang sebagai tantangan yang memerlukan reaksi. Jadi pengajar itu harus aktif, komunikasi dan membimbing apa yang seharusnya perlu. Seperti halnya dalam permainan sepak bola, (dalam hal ini pengajar kami ibaratkan dengan pelatih) pada saat permainan kurang optimal maka pelatih harus betul-betul bereaksi memberikan stimulus/penyegaran kepada anak asuhnya, minimal berteriak apabila ada anak asuhnya kurang bergairah dalam bermain.
4. Pemahaman
Pemahaman dapat diartikan menguasai sesuatu dengan fikiran. Karena itu mengajar berarti harus mengerti dan memahami apa yang akan diajarkan kepada anak didiknya. Hal ini sangat penting bagi orang yang ingin mengajar.
Dalam mengajar, unsur pemahaman itu tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur psikologis lainnya. Dengan motivasi, konsentrasi dan reaksi, orang yang mengajar dapat mengembangkan apa yang diajarkan menjadi leih luas lagi. Untuk itu dianjurkan bagi orang yang ingin mengajar terlebih dahulu mempelajari apa yang ingin disampaikan /diajarkan kepada anak didiknya.
5. Bakat
Bakat atau aptitude menurut Hilgard adalah kemampuan untuk mengajar. Kemampuan itu baru terealisasi dengan baik apabila sudah diaplikasikan sebelumnya misalnya menjadi asisten guru/ menjadi guru pengganti apabila seorang pengajar tertentu tidak hadir.

Bakat sangat mempengaruhi dalam mengajar, bakat disini bisa juga dipahami spesialisasi dan profesional dalam bidangnya. Misalnya guru ahli biologi mengajar ilmu biologi, guru agama mengajar ilmu agama dan seterusnya.
6. Minat
Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang diperhatikan terus menerus yang disertai dengan rasa senang. Jadi berbeda dengan perhatian, karena perhatian sifatnya sementara (tidak dalam waktu yang lama) dan belum tentu diikuti dengan perasaan senang dan dari situ diperoleh keputusan.
Kaitannya dengan mengajar adalah minat sangat besar pengaruhnya dalam mengajar karena bila pelajaran yang diajarkan tidak sesuai dengan minatnya. Ada sesuatu yang kurang dalam mengajar. Begitu juga minat dapat diartikan mampu/tidak sakit/tidak capek (bukan dalam kelelahan)
kelelahan dapat menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mengajar dengan baik. Untuk itu dianjurkan bagi orang yang mengajar dalam kelelahan untuk tidak mengajar sesuai target (full time).
Dalam hal ini kelelahan dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul kecenderungan untuk membaringkan tubuh. Kelelahan jasmani terjadi karena, terjadinya kekacauan substansi sisa pembakaran di dalam tubuh, sehingga darah tidak/kurang lancar pada bagian-bagian tertentu.
Kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu hilang. Kelelahan ini terasa pada bagian kepada dengan pusing-pusing sehingga sulit untuk berkonsentrasi, seolah-olah otak kehabisan daya untuk bekerja. Kelelahan rohani dapat terjadi terus menerus memikirkan masalah yang dianggap dianggap berat tanpa istirahat, menghadapi hal-hal yang selalu sama/konstan tanpa ada variasi, dan mengerjakan sesuatu karena terpaksa dan tidak sesuai dengan bakat, minat dan perhatinnya.

7. intelegensi
Intelegensi adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif, mengetahui atau menggunakan konsep – konsep yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat.
Intelegensi besar pengaruhnya dalam mengajar dalam situasi yang sama. Intelegensi dapat diartikan tingkat pendidikan. Pengajar yang mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil dari pada yang mempunyai tingkat intelegensi yang rendah, pengajar yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih berhasil dari pada pengajar yang mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Akan tetapi hal itu tidak selamanya terjadi pasti adanya pengecualian dari sebagian kecil orang yang dapat mengajar dengan baik.

BAB III
PENUTUP
Mengajar merupakan suatu kegiatan yang memberikan aspek positif terhadap diri manusia, baik terhadap pribadinya ataupun orang lain. Namun disadari atau tidak, dalam hal mengajar tidak semua orang bisa melakukannya dengan baik, perlu banyak faktor yang bisa mendukung agar seseorang bisa melakukannya dengan baik.Salah satunya faktor psikologis.
Faktor-faktor psikologis dalam mengajar sendiri adalah peristiwa tingkah laku pengajar/seseorang dalam upaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk berlangsungnya kegiatan belajar bagi para siswa. Dari faktor-faktor tersebut sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang tergolong ke dalam faktor psikologi yang berpengaruh/mempengaruhi dalam mengajar. Faktor-faktor tersebut antara lain : motivasi, konsentrasi, reaksi, pemahaman, bakat, minat dan intelegensi.
Al-insan mahallul khata’ wa an-nisyan, begitu juga dengan makalah ini selebihnya banyak kekurangan, untuk kami mohon saran serta kritiknya.

DAFTAR PUSTAKA
Daryanto, Belajar dan Mengajar, Bandung : Yrama Widya, 2010.
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007.
Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan, Bandung : Remadja Karya, 1988. Cet II.
Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta : Renaka Cipta, 2006. Cet V.

Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta : Renaka Cipta, 2006. Cet V. h. 103
Ibid, h 103
Ibid, h 104
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Bandung : Remadja Karya, 1988. Cet II. h. 1
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007. H 39
Daryanto, Belajar dan Mengajar, Bandung : Yrama Widya, 2010. H 38
Ibid, h 38.
Ibid, h 40.
Ibid, h 37.

peradaban islam di mesir

BAB I
PENDAHULUAN

Mesir sebagai kota yang berperadaban tinggi sudah dikenal sebelum Islam lahir, tetapnya ketika Nabi Musa As diutus kepada kaum mesir (bangsa Qibti), setelah Islam lahir mesir menjadi salah satu kota yang sudah berada dibawah pemerintahan Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab, hingga akhirnya Mesir dikenal sebagai kota peradaban Islam.
Namun sebelumnya, ada beberapa dinasti yang memberi sumbangsih besar dalam memajukan mesir menjadi kota yang berperadaban tinggi hingga disegani oleh kerajaan-kerajaan/dinasti-dinasti lain pada waktu itu. Dinasti-dinasti tersebut antara lain dinasti Fathimiyah yang mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib, dinasti Ayyubiyah yang masih ada hubungannya dengan Abbasiyah serta dinasti Mamluk yang berketurunan hamba sahaya.
Ketiga dinasti diatas telah menjadikan Mesir menjadi kota berperadaban Islami melalui banyak pembangunan yang dilakukan oleh ketiga dinasti tersebut antara lain pembangunan dibidang keilmuan, pembangunan dibidang pemerintahan, pembangunan dibidang ekonomi serta dibidang arsitektur. Untuk lebih jelasnya kami uraikan dalam pemabahasan berikut ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Daulah Fathimiyyah
Wilayah kekuasaan Daulah Fathimiyyah meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah. Berdirinya Daulah fathimiyyah ini dilatarbelakangi oleh melemahnya Dinasti Abbasiyah. Ubaidillah Al-Mahdi mendirikan Daulah fathimiyyah yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Daulah ini mengalami puncak kejayaannya pada masa Al-Aziz. Peradaban Islam berkembang pesat pada masa Daulah fathimiyyah yang ditandai dengan berdirinya Masjid Al-Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan Ilmu pengetahuan .
Daulah Fathimiyyah berdiri pada tahun 909 M di Tunisia . Khalifah-khalifah Daulah Fathimiyyah secara keseluruhan ada 14 orang , tetapi yang berperan adalah sebagai berikut:
1. Ubaidillah Al-Mahdi (909-934 M)
2. Al-Qa’im (934-949 M)
3. Mansur (945 M)
4. Mu’iz Lidinillah (965-975 M)
5. Al-Aziz (975-996 M)
6. Al-Hakim (996-1021 M)
7. Az-zahir (1021-1036 M)
8. Mustansir (1036-1095 M)
Periode Daulah Fathimiyyah menandai era baru sejarah bangsa Mesir, sebagian khalifah Daulah ini adalah seorang pejuang dan penguasa besar yang berhasil menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran di Mesir. Daulah Fathimiyyah mempunyai tugas utama yaitu:
1. Mendirikan Kairo sebagai Ibukota baru pada tanggal 17 Sya’ban 358 H/969 M oleh Panglima perang Daulah Fathimiyyah bernama Jauhar Sicily atas perintah khalifah Al-Muiz.
2. Membina suatu Universitas islam yaitu Al-Azhar.
3. Menyebarluaskan Ideologi fathimiyyah, yaitu Syi’ah ke Palestina, Syiria dan Hijaz.
Peradaban pada masa daulah Fathimiyyah meliputi bidang administrasi, kondisi sosial dan kemajuan ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada bidang administrasi daulah Fathimiyyah secara gatris besar tidak berbeda dengan administrasi Daulah Abbasiyyah sekalipun pada masa ini muncul beberapa jabatan yang berbeda. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun spiritual. Kementerian negara terbagi menjadi 2 kelompok, pertama para ahli pedang dan yang kedua para ahli pena. Kelompok pertama menduduki urusan militer, keamanan serta pengawal pribadi khalifah. Sedangkan kelompok kedua menduduki beberapa jabatan diantaranya hakim, pejabat pendidikan sekaligus sebagai pengelola lembaga ilmu pengetahuan (Darul Hikmah), Inspektur pasar yang bertugas menertibkan pasar dan jalan, pejabat keuangan yang menangani segala urusan keuangan negara, regu pembantu istana, petugas pembaca Al-Qur’an dan pegawai negeri yaitu petugas penjaga dan juru tulis berbagai departemen.
Kemudian pada kondisi sosial mayoritas khalifah Fathimiyyah bersikap moderat dan penuh perhatian terhadap urusan agama, muslim (madzhab Syi’ah dan Sunni) maupun non muslim. Selama ini pemeluk Kristen di Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya khalifah Al-Hakimlah yang bersifat agak keras terhadap mereka . Pada masa Daulah fathimiyyah Mesir mengalami kemakmuran, perdagangan juga berkembang ke segala arah, ke India, ke Italia dan Laut tengah barat dan kadang-kadang ke Byzantium. Kota Kairo menjadi kota Internasional yang berkembang produksi-produksinya. Kemakmuran penduduknya juga merangsang timbulnya pemikiran dari seluruh dunia Islam karena semangat intelektualnya dan semangat toleransinya.
Lalu pada bidang Ilmu pengetahuan dan kesusastraan daulah Fathimiyyah memiliki perhatian yang begitu besar. Diantara para khalifah Fathimiyyah adalah tokoh pendidikan dan orang yang berperadaban tinggi. Al-Aziz termasuk seorang khalifah yang mahir dalam bidang sya’ir dan mencintai kegiatan pengajaran. Ia telah mengubah masjid agung Al-Azhar menjadi sebuah lembaga pendidikan tinggi yaitu Universitas besar yang sampai sekarang masih berdiri dengan megahnya . Pada masa pemerintahan Al-Hakim telah berdiri Darul Hikmah yang berfungsi sebagai akademi yang sejajar dengan lembaga di cordova dan Baghdad. Dilengkapi dengan perpustakaan yang bernama Darul Ulum yang diisi bermacam-macam buku tentang bermacam-macam Ilmu. Lahir sarjana-sarjana dalam bermacam-macam ilmu diantaranya yang terkenal adalah Ibnu Haitsam yang di Barat disebut dengan Alhazen. Bukunya kitab Al-Manazhir mengenai ilmu cahaya diterjemahkan ke dalam bahasa latin di masa Gerard of Cremona dan disiarkan tahun 1572 M. Di masa khalifah Mustansir pengembangan ilmu makin semarak dengan perpustakaan negara yang dipenuhi dengan 200.000 buah buku .

B. Daulah Ayyubiyyah
Pendiri dinasti ini Shalahuddin lahir di Takriet 532 H/1137 M, meninggal 589 H/1193 M, dimasyhurkan oleh bangsa Eropa dengan nama “Saladin” pahlawan perang salib, dari keluarga Ayyubiyah suku Kurdi.
Pusat pemerintahan Dinasti Ayyubiyah adalah kairo, Mesir. Wilayah kekuasaannya meliputi kawasan Mesir, Suriah, dan Yaman. Shalahuddin menjadi penguasa sebagai pendiri dinasti Ayyubiyah setelah menaklukkan khalifah terakhir dinasti Fathimiyah, al-Adid. Shalahuddin berhasil menaklukkan daerah Islam lainnya dan pasukan salib. Shalahuddin adalah tokoh dan pahlawan perang salib. Selain dikenal sebagai panglima perang, Ia juga mendorong kemajuan di bidang agama dan pendidikan. Berakhirnya masa pemerintahan Ayyubiyah ditandai dengan meninggalnya Malik Al-Asyraf Muzafaruddin, sultan terakhir dan berkuasanya dinasti mamluk. Dinasti ini berkuasa selama 90 tahun, mempunyai sepuluh sultan :
1. Shalahuddin Yusuf (1174-1193 M)
2. Al-Aziz bin Shalahuddin (1193-1198 M)
3. Manshur bin al-Aziz (1199-1218 M)
4. Al –Kamil I (1218-1238 M)
5. Al-Adil II (1238-1240 M)
6. Sholeh Najmuddin (1240-1249 M)
7. Muazzham Taurab bin Sholeh (1249-1249 M)
8. Syajarat al-Durr istri Malik Sholeh (1249-1249 M)
9. Asyraf bin Yusuf (1249-1250 M)
Shalahudin mempunyai dua tugas utama, sebagai seorang negarawan yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah dan seorang panglima perang. Tugas pertama beliau banyak mengadakan pembangunan di seluruh Negara dan tugas kedua, membangun persatuan bangsa Arab di bawah naungan Abbasiyah di Baghdad untuk menhadapi agresi tentara Salib, membangun benteng pertahanan militer dibukit Muqattam. Pada tahun 583 H/1187 M beliau memenangi peperangan dengan gemilang di Hittin, dari Teberias menuju Palestina dan merebut kota itu dari kekuasaan tentara salib.
Shalahuddin tetap mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan oleh dinasti Fathimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi’ah kepada Sunni. Ia juga mendirikan lembaga-lembaga baru, terutama masjid yang dilengkapi dengan tempat belajar teologi dan hokum. Karya-karya ilmiah yang muncul pada masanya dan sesudahnya adalah kamus biografi, compendium sejarah, manual hokum, dan komentar-komentar teologi. Ilmu kedokteran diajarkan di rumah-rumah sakit. Prestasinya yang lain adalah didirikannya sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.
Banyak tokoh-tokoh yang sangat mahir dibidangnya pada masa dinasti Ayyubiyah salah satunya, Musa bin Maimoon atau Maimoonides, seorang yahudi yang menjadi bintang dalam bidang ilmu pengetahuan. Dan masyhur di kalangan tabib dan ahli filsafat dari seluruh zaman Arab. Ia dilahirkan di cordova pada tahun 1135 tetapi keluarganya meninggalkan negeri itu sebelum jatuh ke tangan Kristen dan tinggal di Kairo pada tahun 1165. Di Kairo ia menjadi dokter pribadi sultan Shalahuddin pemimpin Islam itu dan anaknya. Dalam kedokteran ia mengarang buku Aphorisme, dan dalam bidang filsafat ia mengarang buku yang berjudul Dalalah al-Haizin (sebuah pedoman bagi orang yang ragu).
Ilmuan lain yang lahir pada masa ini adalah Abdul Latief yang tinggal di Baghdad sebagai dokter ahli tulang, Ibn al-Bayyar sebagai dokter hewan sangat terkenal dengan buku karangannya aqrabaddin (paling dekat dengan agama) yang dirubah oleh orang Eropa ke bahasa latin menjadi Grafhidion yang berarti buku kecil.
Buku ramuan obat Islam yang terkenal di Eropa “ Management of the drug store” (mengatur resep dokter) dikarang oleh Kahin al-Attar pada tahun 1400 M, ada lagi buku yang berjudul “Memorial” karangan Daud al-Intaki di Kairo. Juga Muhammad al Damiry seorang dokter hewan yang mengarang buku “ Hayat al Hayawan”.

C. Daulah Mamluk
Mamluk adalah kata jama’ yang berarti budak. Dinasti ini didirikan oleh para budak yang ditawan oleh dinasti Ayyubiyah yang dididik dan dilatih kemiliteran. Mereka dikarantina dan terpisah dari masyarakat. Mereka dijadikan pengawal oleh Malik al Shaleh, penguasa Ayyubiyah yang terakhir ketika itu. Pada umumnya mereka berasal dari daerah Kaukasus dan laut Kasfia. Di Mesir mereka ditempatkan di pulau Raudhah di sungai Nil untuk dilatih kemiliteran dan keagamaan. Dari sinilah mereka mendapat julukan Mamluk Bahri. Saingan mereka dalam karir militer adalah suku Kurdi.
Dinasti Mamluk yang memerintah di Mesir dibagi dua, yaitu Mamluk Bahri dan Mamluk Burji. Sultan pertama dinasti Mamluk Bahri adalah Izzuddin Aibak. Sultan dinasti Mamluk yang terkenal adalah Qutuz, Baybars, Qolawun, dan Nasir Muhammad bin Qalawun. Dinasti Mamluk Burji kemudian mengambil alih pemerintah dengan menggulingkan sultan Mamluk Bahri terakhir, As-Salih Hajji bin Sya’ban. Sultan pertama penguasa dinasti Mamluk Burji adalah Barquq.
Dinasti Mamluk membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer (kecuali ketika dikuasai oleh Qolawun). System oligarki militer ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Kedudukan amir menjadi sangat penting, mereka berkopetensi dalam prestasi sebagai kandidat sultan. Kemajuan-kemajuan yang dicapai meliputi pemerintahan, perekonomian, dan ilmu pengetahuan.
Dalam bidang pemerintahan, kemenangan dinasti Mamluk atas Mongol di ‘Ayn Jalut menimbulkan harapan baru bagi daerah sekitar sehingga mereka meminta perlindungan, menyatakan kesetiaan kepada dinasti ini sehingga wilayah dinasti ini bertambah luas. Untuk menjalankan pemerintakan dalam negeri, Baybers mengangkat kelompok militer sebagai elit politik. Disamping itu untuk memperoleh simpati kerajaan Islam lain, Baybers membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil lolos dari serangan Mongol. Selain itu Baybers juga berhasil mengalahkan tentara salib di sepanjang Laut Tengah, menghancurkan kelompok Assasin di pengunungan Syiria, melumpuhkan Cyrenia dan menghancurkan kapal-kapal bangsa Mongol di Anatolia.
Dalam bidang ekonomi, dinasti Mamluk membuka hubungan dagang dengan Prancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya. Jatuhnya Baghdad membuat Kairo sebagai jalur perdagangan antar Asia dan Eropa, menjadi lebih penting karena Kairo menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa. Keberhasilan bidang ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antar kota baik laut maupun darat. Katangguhan Angkatan laut dinasti Mamluk sangat menunjang pengembangan perekonomiannya.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi pelarian ilmuawan asal Baghdad dari serangan Mongol. Disamping itu al-Azhar dan Dar al-Hikmah yang selamat dari serangan Mongol menyebabkan kesinanbungan ilmu zaman klasik tetap berkembang di Mesir. Mesir menjadi pusat peradaban Islam yang berintikan kebudayaan Arab.
Ilmuwan yang lahir pada dinasti Mamluk antara lain :
1. Ibn Nafis. beliau bergelar The Second Avisenna karyanya kitab as-Syamil fi at-Thibb, sebuah ensiklopedi kedokteran lengkap. Kitab al-Muhadzdzab fi al-Kuhl, sebuah buku yang mencakup hampir seluruh cabang ilmu kedoteran Arab pada waktu itu. Mujiz al-Qanun, sebuah intisari lengkap buku Qonun Ibnu Sina.
2. Abu Fida, seorang ahli geografi dan sejarah. Karyanya Mukhtasir Tarikh al-Basar, sebuah buku sejarah universal. Takwin al-Buldan, sebuah deskripsi geografis yang dilengkapi sejumlah data dalam bentuk table-tabel, matematika, dan fisika.
3. Ibnu Khaldun, karyanya Muqaddimah dan kitab Sejarah Alam Semesta.
Dalam bidang arsitektur, banyak bangunan yang didirikan dengan arsitektur yang indah-indah, salah satunya Baybars merenovasi al-Azhar. Kejayaan dinanti Mamluk memang berlangsung agak lama. Pada tahun 1517 M, dinasti ini dikalahkan oleh kerajaan Usmani yang berpusat di Turki dan sejak itu Kairo hanya menjadi ibu kota provinsi dari kerajaan Usmani tersebut.

BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Kairo (Mesir) kota yang sangat tinggi peradabannya. Hal ini berkat tiga dinasti besar Islam yang menjadikan Mesir sebagai ibu kota, yaitu dinasti Fathimiyah, dinasti Ayyubiyah dan dinanti Mamluk.
Mesir sebagai kota peradaban Islam awal mulanya dibangun pada tahun 17 Sya’ban 358 H/969 M oleh panglima perang dinansti Fathimiyah atas perintah Khalifah Fathimiyah, al-Mu’izz Lidinillah. Semenjak itu mesir mengalami pembangunan demi pembangunan diciptakan dimulai dari pembangunan masjid al-Azhar yang kemudian hari menjadi perguruan tinggi hingga perpustakaan Dar al-Hikmah yang memuat lebih dari 200.000 buku sehingga mencetak pemikir-pemikir yang handal dibidangnya.
Pada masa dinasti Ayyubiyah pembangunan ini tidak dimusnahkan baik dalam bidang keilmuan, arsitektur dll melainkan diarahkan orientasinya ke sunni. Bahkan dinasti ini mendirikan lembaga-lembaga baru yang sangat bermanfaat pada masa itu salah satunya rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran. Pada masa dinasti Mamluk Kairo menjadi pusat peradaban yang selamat dari serangat Mongol. Oleh karenanya, Kairo menjadi pusat peradaban dan kebudayaan Islam terpenting. Didalamnya muncul ilmuwan seperti Ibn Nafis, Abu Fida dan Ibnu Khaldun.
Semoga bermanfaat. Kami mohon saran dan kritiknya.

DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam Dirasah islamiyyah II (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), cet. IV.
Icha Purba Nurhendra, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Assatrus, 2009).
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), cet. I

Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), cet. I. Hal. 254
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), cet. IV. Hal. 141
Ibid. Hal. 143
Ibid. Hal. 144
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), cet. I. Hal. 264
Ibid Hal. 265
Badri yatim, Sejarah peradaban Islam Dirasah islamiyyah II (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), Hal. 282
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), cet. IV. Hal. 145
Ibid. hal 146
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), cet. I. Hal. 279
Opcit. Hal 151
Ibid. hal 152
Badri yatim, Sejarah peradaban Islam Dirasah islamiyyah II (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), Hal. 283
Icha Purba Nurhendra, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Assatrus, 2009). Hal 106
Ibid. hal 106
Ibid. hal 107
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), cet. I. Hal. 279
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), cet. IV. Hal. 211
Ibid. hal 221
Ibid. hal 212
Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam Dirasah islamiyyah II (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), Hal 284

KORUPSI

Oleh: Saiful Arif, Suryadi, Ade Sopian
Secara etimologi dalam Ensiklopedi Hukum Islam, korupsi berasal dari bahasa latin corruptio yang artinya penyuapan; dari corrumpere yang berarti merusak. Sedangkan secara terminologis diartikan sebagai perbuatan buruk atau tindakan menyelewengkan dana, wewenang, waktu dan sebagainya untuk kepentingan pribadi sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Yang perlu diperhatikan dari definisi ini adalah adanya penyelewengan. Maka segala sesuatu yang berhungan dengan yang namanya “penyelewengan” disebut dengan korupsi.
Fenomena korupsi di Indonesia sungguh sangat meresahkan masyarakat. Betapa tidak, kegiatan korupsi seakan-akan menjadi hal biasa dan telah menggerogoti setiap orang yang mempunyai kekuasaan dan kebijakan dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Baik dari pejabat yang tinggi sampai pada pejabat rendahan. Indonesia bahkan diklaim sebagai gudang para koruptor namun hingga hari ini baru sedikit sekali orang yang dihukum karena korupsi. Bayangkan Indonesia dianggap sebagai negara terkorup se Asia sebagaimana dinyatakan oleh lembaga survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 26 Januari 2011.
Ada beberapa kondisi yang memungkinkan korupsi berkembang cepat. Pertama¸ pemerintah telah berubah menjadi lembaga transaksi kekuasaan dan memonopoli pembuatan keputusan. Akibatnya, korupsi bukanlah sekedar kekurangan biaya hidup semata-mata melainkan, ada keserakahan yang tumbuh dalam diri pelaku korupsi. Sehingga jabatan starategis yang dipegang oleh seseorang memungkinkannya untuk berlaku korupsi walaupn gaji yang dia peroleh dari pekerjaan sudah melebihi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Kedua, orang banyak melakukan korupsi karena didorong oleh gaya hidup hedonistik yang berlebihan. Ini merupakan korban dari apa yang kita kenal dengan istilah hyper globalization, sehingga muncullah apa yang disebut dengan hyper consumerism. Keadaan inilah yang membuat para pujangga, cendikia, ulama, atau pemimpin negara terlena. Sehingga jalan apapun akan ditempuh untuk memenuhi segala kebutuhan hidup yang serba hyper , tak luput dari hal ini adalah tindakan korupsi.
Ketiga, yang mendorong terjadinya korupsi adalah antara kekuasaan dan gaji yang tidak seimbang. Sehingga pejabat yang memiliki gaji rendah sedangkan dia memiliki wewenang yang luas dalam jabatan yang dia pegang bisa terdorong untuk mendapatkan uang dari sumber-sumber pendapatan ilegal dengan cara menyalahgunakan kewenangannya. Keempat, korupsi dipersepsi sebagai tuntutan perubahan. Kelima, perilaku pembiaran. Tindakan korupsi dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan biasa. Sikap apatisme dan pembiaran ini masuk dalam diri koruptor karena telah mengalami degradasi moral. Keenam, teladan buruk para pejabat tinggi.
Tindakan korupsi memiliki banyak bentuk dan kategori. Diantaranya adalah:
a). Korupsi Transaktif. Korupsi jenis ini ditandai adanya kesepakatan timbal-balik antara pihak yang memberi dan menerima demi keuntungan bersama, dan kedua pihak sama-sama aktif menjalankan perbuatan tersebut.
b). Korupsi Investif. Yakni korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau jasa tanpa adanya pertalian langsung dengan keuntungan tertentu bagi pemberi, selain keuntungan yang diharapkan akan diperoleh di masa datang.
c). Korupsi Ekstroktif. Yakni korupsi kategori ini menyertakan bentuk-bentuk koersi (paksaan) tertentu di mana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang mengancam dirinya, kepentingannya, kelompoknya, atau hal-hal yang berharga miliknya.
d). Korupsi Nepotistik. Yakni korupsi golongan ini berupa pemberian perlakuan khusus kepada teman atau mereka yang mempynyai kedekatan hubungan dalam rangka menduduki jabatan publik. Dengan kata lain, perlakuan pengutamaan dalam segala bentuk yang bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku.
e). Korupsi Autogenetik. Yaitu korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk mendapat keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya diketahui seorang diri.
f). Korupsi Supportif. Yakni korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana yang kondusif untuk melindungi atau mempertahankan kelangsungan tindak korupsi.
Penegakan syariat Islam harus didukung oleh komitmen terhadap prinsip-prinsip moral Islam sehingga kebaikan bersama bisa dicapai. Perilaku korupsi merupakan tindakan yang melanggar prinsip moral ini, karena korupsi merupakan tindakan penipuan atau penghianatan terhadap orang lain dan penyalahgunaan amanah yang diemban. Allah menegaskan dalam Alquran supaya kita menyampaikan amanat yaitu memenuhi kewajiban, memegang tanggung jawab dan melaksakan kepercayaan.
إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمنت إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara menusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa’: 48)
Yang termasuk dalam korupsi yang dilarang adalah risywah. Kata risywah didefinisikan sebagai sesuatu yang diberikan untuk menyalahkan yang benar atau membenarkan yang salah. Sehingga Rasul pun menegaskan sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Timidzi, Ibn Majah, dan Ahmad
لعن الله الراشي والمرتشي
“Allah mengutuk penyuap dan penerima suap”
Tindakan korupsi juga berarti telah termasuk memakan hak orang lain secara batil padahal Allah telah melarang dalam firman-Nya:
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوابها إلى الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagan yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah [2]:188)
Al-Maraghi menyatakan bahwa ungkapan ayat ini digunakan kata harta kalian, hal ini merupakan peringatan bahwa umat itu satu di dalam menjalin kerja sama. Juga sebagai peringatan, bahwa menghormati harta orang lain berarti menghormati harta sendiri. Sedangkan Sya’rawi manafsirkan bahwa yang dimaksud oleh Allah dengan harta di sini adalah harta milik umum. Artinya walaupun terkadang harta itu milik pribadi, namun dalam waktu yang sama di dalam harta pribadi itu terdapat juga di dalamnya milik orang lain, dalam hal ini harta itu dapat dikategorikan milik orang banyak. Sehingga beliau menegaskan bahwa ayat ini juga mengandung hukum pelarangan dari segala bentuk pencurian, perampokan, pencopetan dan korupsi.
Sementara Quraish Shihab memberikan contoh dari memakan harta orang lain dengan jalan batil adalah seperti menyogok. Maka ini menurut penulis, juga mengindikasikan dengan suatu tindakan korupsi sebagaimana dipahami dari asal kata korupsi yang berarti juga penyuapan dalam bahasa latinnya. Kemudian beliau melanjutkan dengan membuat ilustrasi sederhana sebagaimana beliau pahami dari teks ayat di atas bahwa dalam ayat ini diibaratkan dengan perbuatan menurunkan timba ke dalam sumur untuk memperoleh air. Timba yang turun tidak terlihat oleh orang lain, khususnya yang tidak berada di dekat sumur. Penyogok menurunkan keinginannya kepada yang berwewenang memutuskan sesuatu, tetapi secara sembunyi-sembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak sah.
Dari ayat ini pula tersirat bahwa harta yang diambil seakan-akan berada di tengah. Dan kedua pihak berada pada posisi ujung yang berhadapan. Nah, apabila kedudukan kedua pihak tidak lagi seimbang maka inilah yang disebut dengan batil. Sementara Al-Maraghi memperinci hal-hal yang termasuk dalam kategori batil ini sebagai berikut:
1. Riba; sebab riba adalah memakan harta orang lain tanpa adanya imbalan yang sewajarnya dari orang memberikan harta.
2. Harta yang diberikan untuk para penguasa atau para hakim sebagai risywah kepada mereka.
3. Memberikan shadaqah kepada orang yang mampu mencari nafkah yang penghasilannya sudah cukup.
Walaupun ulama fikih telah sepakat mengatakan bahwa perbuatan korupsi adalah haram karena bertentangan dengan tujuan hukum Islam (maqashid as-syariah). Namun berdasarkan analisis penulis dari penggalan kata terakhir dari ayat ini bahwa orang-orang yang melakukan tindakan korupsi sudah menyadari dan mengetahui kalau perbuatan yang ia lakukan adalah salah. Akan tetapi hal ini hanyalah sebatas kesadaran pikiran dari pelaku korupsi itu saja, tidak melibatkan hatinya, maka salah satu solusi yang bisa kami sampaikan untuk membrantas korupsi adalah dengan kesadaran hati. Karena apabila kesadaran hati-tidak hanya pikiran- telah tertanam dalam jiwa seseorang maka niat untuk melakukan korupsi tidak akan pernah terlintas, baik ada kesempatan dan peluang untuk melakukan tindakan itu atau apalagi tidak ada kesempatan dan peluang. Kesadaran ini yang harus diafirmasikan ke dalam otak setiap orang yang disumpah untuk menduduki sebuah jabatan. Kesadaran hati untuk menjadi orang yang amanah, jujur, dan menghindari penipuan dan penghianatan kepada orang lain melalui jabatan yang dipangkunya. Kesadaran hati akan larangan Allah untuk berkhianat.
يأيها الذين ءامنوا لا تخونوا الله والرسول وتخونوا أمنتكم وأنتم تعلمون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS. Al-Anfal:27)

Daftar Pustaka
Na’im, Moh. Masyhuri, dkk. NU Melawan KORUPSI Kajian Tafsir dan Fiqh, Jakarta: PBNU, 2006
Dahlan, Abdul Aziz...[et al.], Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maragi, terj. K. Anshori Umar Sitanggal dkk. Semarang: Karya Toha Putra, 1993. Juz II.
Sya’rawi, Muhammah Mutawally, Tafsir Sya’rawi, terj. Tim penerjemah Safir al-Azhar, Jakarta: Duta Azhar, 2004. Jilid I
...................,
Shihab, Quraish, Tafsir Misbah,
http://koranbaru.com/indonesia-negara-terkorup-seasia-pasifik/ diakses 11 Apr. 11

AGAMA KRISTEN (MASEHI II)

BAB I
PENDAHULUAN
Yahudi, Kristen dan Islam biasa disebut agama-agama Ibrahimi (abrahamic religions), karena pokok-pokok ajarannya bernenek moyang kepada ajaran nabi Ibrahim (sekitar abad 18 SM), yaitu agama yang menekankan keselamatan melalui iman, menekankan keterkaitan atau konsekuensi langsung antara iman dan perbuatan nyata manusia.
Karena menekankan amal perbuatan yang baik dan benar itu , para ahli kajian ilmiah tentang agama-agama menyatakan Islam dan Yahudi yang juga sering disebut agama semitik (semitic religion) ini, tergolong agama etika (ethical religion), yakni agama yang mengajarkan bahwa keselamatan manusia tergantung pada perbuatan baik dan amal salehnya.
Ini berbeda dari agama Kristen yang juga termasuk agama semitik, disebabkan teologinya berdasarkan doktrin kejatuhan (fall) manusia (Adam) dari surga yang menyebabkan kesengsaraan abadi hidupnya, mengajarkan bahwa manusia perlu penebusan oleh kemurahan (Grace) Tuhan dengan mengorbankan putra tunggalnya, Isa al-Masih untuk disalib menjadi “Sang Penebus”.
Maka kajian ilmiah menggolongkan agama Kristen sebagai agama sakramental (sacramen relegion) yaitu agama yang mengajarkan bahwa keselamatan itu diperoleh melalui sang penebus dosa, dan penyatuan diri kepadanya dengan memakan roti dan minum anggur yang telah ditransubstansiasikan menjadi daging dan darah Isa al-Masih dalam upacara Sakramen Ekaritsi.
BAB II
KITAB INJIL DAN AJARAN KRISTEN (MASEHI)
A. Injil-Injil Kristen
Umat kristen pada abad pertama dan kedua masehi memiliki banyak sekali kitab Injil. Ada yang mengatakan jumlahnya mencapai sembilan puluh lebih ada pula yang mengatakan lebih dari seratus. Injil-Injil tersebut tidak termasuk Injil-Injil yang sekarang mereka akui yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Di sini hanya disebutkan beberapa Injil saja, antara lain:
1. Injil Barnabas
2. Injil Matthias, Injil ini sekarang tidak diakui oleh umat Kristen. Di antara ajarannya adalah Mariam adalah seorang perawan yang telah dinazarkan untuk mengabdi pada rumah pribadatan Yahudi.
3. Injil Abiyuniun, yang diimani oleh sekte Kristen yang menisbatkan diri pada pemimpin mereka yaitu Abiyun. Sekte ini habis berakhir pada abad 4 M. Injil yang ditulis dengan bahasa Aramiyah ini mengakui syariat Musa dan mempercaya Al Masih sebagai manusia yang diutus.
4. Injil Yakob.
5. Injil Thomas.
6. Injil Nicodemus.
7. Injil Tujuh Puluh.
8. Injil Ajaran Dua Belas Sahabat.
9. Injil Peringatan.
10. Injil Ibariyin atau Nashiriyin.
11. Injil Petrus atau Injil Shabwah.
12. Injil Kehidupan atau Injil Allah yang Maha Hidup
13. Injil Orang-orang Mesir.
14. Injil Para Pengikut Dysyon.
15. Injil Kelompok Many
16. Injil Kelompok Markiyun atau Marsiyun.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa sejak abad permulaan dalam agama Masehi terdapat banyak sekte yang mengakui keesaan Allah dan Isa Al Masih hanyalah seorang utusannya. Akidah yang murni ini berlangsung sejak diutusnya Al Masih hingga diselenggarakanya Konsili Nicea pada tahun 325 M. Sekte-sekte tersebut pada dasarnya ada 4 yaitu:
1. Kelompok Abiyun, kelompok ini telah habis pada abad 4 M. Mereka mengakui syariat Musa dan mengingkari ketuhanan Al Masih serta meyakininya hanya sebagai manusia utusan Tuhan.
2. Kelompok Syansyathi, yaitu pengikut Paulus Syansyathi seorang pastur antokiah pada tahun 260 M, kelompok ini mengakui Al Masih bukan Tuhan tapi hanyalah utusanNya.
3. Kelompok Ariusiyun, Pengikut Arius yang dikenal sebagai monotheis, dia adalah seorang pastur Iskandariah abad 4 M, ajaran akidahnya adalah meyakini Al Masih hanyalah seorang utusan, bukan Tuhan atau Anak Tuhan.
4. Kelompok Miletos, dia adalah pastur di Gereja Asiyuth. Akidah kelompok ini sama dengan Ariysiyun.
Di kota Antiochia tempat kelompok Syansyithy diselenggarakan tiga kali konsili antara tahun 264-269 M guna meneliti kembali akidah kelompok ini. Akhirnya kelompok ini dilarang dan pemimpinnya diusir, akan tetapi dia tetap muncul hingga abad ke 7 M. Sedangkan kelompok Ariusiyun dan Miletos hilang, setelah konsili Nicea mengeluarkkan keputusan bahwa Al Masih adalah Tuhan.
B. Konsili Nicea
Hanya beberapa tahun setelah Nabi Isa wafat (diangkat ke sisi Allah), gejala-gejala penyelewengan dan penyimpangan mulai merembet masuk ke dalam akidah beberapa kelompok agama Kristen. Bahkan, praktik kesyirikan banyak dilakukan kelompok kelompok berikut.
1. Kelompok Markiyuniun, Pendirinya Markiun, adalah seorang pastur pada abad ke-2 M yang diusir dari negerinya karena menyakini dua Tuhan (Tuhan Keadilan dan Tuhan Kebaikan).
2. Kelompok Bariniyah, Yang meyakini bahwa Isa dan Ibunya adalah Tuhan. Kelompok ini memiliki banyak pengikut hingga abad 7 M.
3. Kelompok Alyan, meyakini bahwa Al Masih adalah Tuhan dia adalah Anak Tuhan yang melewati perut Ibunya seperti air mengalir karena ‘kalimah’ anak telah masuk melalui telinga kemudian keluar sebagai seorang anak. Adapun sosok Al Masih yang terlihat mata hanyalah hayalan.
4. Kelompok Trinitas, meyakini bahwa Tuhan terdiri dari 3 : Tuhan Bapa’, Anak, dan Roh Kudus. Tuhan anak atau ‘kalimah’ ialah Isa Al Masih. Kepala Uskup gereja Iskandariah adalah orang yang paling vokal membela keyakinan ini hingga mempengaruhi konsili Nicea tahun 325 M dan Konstantinopel tahun 381 M. Dan membuat keputusan-keputusannya.
Berkaitan dengan perbedaan keyakinan ini, raja Constantinople memerintahkan penguasa Romawi agar menyelenggarakan konsili agama untuk menyelesaikan perbedaan dan menentukan pokok-pokok keyakinan agama Kristen terhadap Al Masih. Konsili ini diselenggarakan tahun 325 M dan dihadiri 48.000 uskup tapi mereka belum mencapai kesepakatan pendapat.
Raja Constantinople sendiri cenderung pada keyakinan terhadap ketuhanan Al Masih dari peserta konsili itu ia memilih 318 uskup yang sangat loyal terahadap pendapatnya. Mereka bergabung dalam satu majelis khusus yang bertugas mengeluarkan putusan-putusan raja. Di antara keputusan itu adalah :
1. Keputusan khusus tentang pengukuhan ketuhanan Al Masih dan pengakuan kepercayaan trinitas.
2. Pengkafiran terhadap setiap orang yang meyakini bahwa Al Masih adalah manusia.
3. Pengkafiran terhadap Arius, pengusiran dari negeri asalnya dan larangan terhadap semua ajarannya.
4. Pembakaran terhadap semua buku-buku yang tidak mencantumkan ketuhanan Al Masih atau larangan membacanya.



C. Ajaran Kristen (Masehi)
Menurut Akidah (teologi, kepercayaan) Kristen, Yesus datang membawa ajaran-ajaran yaitu:
1. Telah dekatnya Kerajaan Langit (Matius 4:17). Bunyi nash, “bertaubatlah, karena Kerajaan Langit telah dekat.”
2. Menyelamatkan keturunan Israel (bangsa Yahudi). (Matius 15:24). Mengatakan, “ Aku tidak diutus kecuali kepada domba-domba yang hilang dari rumah Israel.”
Ajaran itu diubah oleh murid-murid Yesus kepada suatu ajaran baru yaitu ajaran tentang kebangkitan Yesus (dari kematian) sebagaimana tertulis dalam Kisah Para Rasul (KPR).
-Petrus berkata, “maka Dawud sebelumnya telah melihat dan berkata tentang kebangkitan Al Masih.” (KPR 2:31).
-Petrus berkata, “ Yesus ini dibangkitkan oleh Allah dan kita semua (murid-murid) menyaksikan itu (KPR 2:32).
Kemudian mengajarkan bahwa kebangkitan kembali itu untuk menjadi Tuhan. Petrus berkata, “jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kami salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus (raja).” (KPR 2:36).
Setelah itu Paulus menggeserkannya menjadi suatu ajaran yang bertentangan dengan induknya sendiri (agama Yahudi). Paulus juga membuat tafsiran-tafsiran tentang “kebangkitan” itu dan tentang “Kerajaan Tuhan” juga tentang salib dan khitan. Demikian dituturkan Prof. Sharl Jenniber.
Itulah yang didakwahkan sebagai ajaran Yesus di masa awal Kristen. Tahap berikutnya adalah peranan konsili-konsili yang kemudian disusul pula oleh berbagai perpecahan (aliran) yang menyebabkan Kristen mempunyai akidah yang berbeda-beda. Mereka mustahil dipersatukan kembali kecuali ketika menghadapi musuh bersama, misalnya dalam konsili Florensa tahun 1442 M ketika menghadapi umat Islam.
1. Kristen Katolik
Akidah Kristen Katolik :
a. Katolik berpendapat bahwa Yesus kristus masih mempunyai dua karakter sesudah terjadinya persatuan (lahut dan nasut).
b. Katolik berpendapat bahwa Roh Kudus dipancarkan oleh Bapa’ dan Anak (Allah dan Yesus) secara bersama-sama.
c. Katolik percaya kepada “tempat” ketiga sesudah kematian disebut ‘mathhar’ (purgatori atau tempat pencucian arwah agar dapat mencapai kesempuranaan). Sesudah itu arwah boleh masuk Kerajaan Tuhan.
d. Yesus mengangkat Petrus sebagai pengganti atau khalifah di atas bumi dan sebagai kepala para murid Yesus dan kepala gereja. Sedangkan Paus (Roma) adalah penerus Petrus untuk menjadi kepala gereja Kristen di seluruh dunia.
e. Semua pelayan gereja (pendeta dll) dilarang menikah.
f. Sakramen Perminyakan Suci hanya diberikan kepada orang yang telah dekat dengan kematian.
Sedangkan aliran-aliran Kristen Katolik banyak sekali, diantaranya :
1. Lutheranisme
2. Anglikanisme
3. Calvinisme
4. Pentakostalisme
5. Methodist
6. Baptis
7. Karismatik
8. Presbyterian
9. Anabaptis
10. Bala Keselamatan
11. Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh
12. Mormon
13. Saksi-Saksi Jehova
14. Ortodoks Timur
15. Katolik
16. Christian Science dst.
Namun yang masih diakui di Indonesia adalah Kristen Protestan (Karismatik, Pentakostal, Methodist, Baptis, Bala Keselamatan), & Katolik. Banyak dari daftar diatas yang diakui sebagai aliran sesat seperti Saksi Jehova, Mormon, Christian Science, dll.

2. Kristen Protestan
Persamaan Katolik dan Protestan ialah pada akidah bahwa Kristus mempunyai dua karakter (lahut dan nasut), dan bahwa Roh Kudus terpancar dari Bapa’ dan Anak (Allah dan Yesus).
Akidah Kristen Protestan :
a. Protestan menolak semua aturan gereja (Klerus).
b. Protestan semua sakramen Katolik, (hanya dua sakramen yang diterima oleh Protestan : sakramen baptis dan sakramen perjamuan suci (eukarisasi). Meskipun begitu pelaksanaan dua sakramen itu masih mengandung banyak perbedaan di anatara dua sekte itu.
c. Menolak ikonisme, (pengkudusan gambar dan patung suci) dan menolak mendoakan orang suci dan minta syafa’at mereka.
d. Menolak bahwa Yesus –sesudah kematiannya dan bersatu dengan Roh Tuhan- mengentas Adam dan Hawa serta seluruh arwah yang masuk neraka karena dosa asal (dosa Adam) dimasukkan ke dalam sorga (Kerajaan Tuhan).
e. Menolak kitab-kitab Tobia, Yudith, Hikmah, Anak Sirafi, Makabi I, Makabi II, dan Baruhk, dan beberapa pasal dalam kitab Danial dan Ester.
f. Hanya percaya pada kitab suci.
g. Hari-hari besar Kristen hanya hari-hari yang ditetapkan oleh Protestan.

BAB III
KESIMPULAN
Abad permulaan dalam agama Masehi terdapat banyak sekte yang mengakui keesaan Allah dan Isa Al Masih hanyalah seorang utusannya. Seperti halnya Kelompok Abiyun, pada abad 3 M, Kelompok Syansyathi pengikut Paulus Syansyathi seorang pastur Antokiah pada tahun 260 M, Kelompok Ariusiyun, Pengikut Arius seorang pastur Iskandariah abad 4 M,. Kelompok Miletos pengikut pastur di gereja Asiyuth. Akidah yang murni ini berlangsung sejak diutusnya Al Masih hingga diselenggarakanya Konsili Nicea pada tahun 325 M.
Lalu kemudian bermunculan kelompok-kelompok yang menyeleweng dari ajaran murni Al Masih seperti Kelompok Markiyuniun, Kelompok Bariniyah, Kelompok Alyan, dan Kelompok Trinitas yang meyakini bahwa Tuhan terdiri dari 3 : Tuhan Bapa’, Anak, dan Roh Kudus. Yang menyebabkan terselenggaranya Konsili Nicea sekaligus sebagai pedoman pengkafiran kelompok-kelompok yang tidak menyakini akidah Trinitas.
Beberapa abad berlalu Kristen semakin terpecah dengan terbentuknya dua golongan besar yakni Katolik dan Protestan dikarenakan pemimpin Katolik Paus mengedarkan surat pengakuan dosa kepada masyarakat, yang intinya setiap orang yang mau dibersihkan dosanya harus membeli surat pengakuan dosa disertai sejumlah uang. Maka terpecahlah Kristen menjadi dua golongan besar, Katolik dan Protestan.
DAFTAR PUSTAKA
At-Thahthawi, Muhammad Izzat Ismail, Rahasia Muahammad dalam Taurat dan Injil, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1997)
Syalabi, Rauf, Distorsi Sejarah dan Ajaran Yesus, (Jakarta: Al Kautsar, 2001)
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100729214133AAIWx2J.
http://gratis45.com/dialogagama/protestan-katolik.htm.


Muhammad Izzat Ismail At-Thahthawi, Rahasia Muahammad dalam Taurat dan Injil, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1997) hlm. 103-104.
Muhammad Izzat Ismail At-Thahthawi, Rahasia Muahammad dalam Taurat dan Injil, hlm. 104-105.
Muhammad Izzat Ismail At-Thahthawi, Rahasia Muahammad dalam Taurat dan Injil, hlm. 108-109
Muhammad Izzat Ismail At-Thahthawi, Rahasia Muahammad dalam Taurat dan Injil, hlm. 110
Rauf Syalabi, Distorsi Sejarah dan Ajaran Yesus, (Jakarta: Al Kautsar, 2001) hlm. 153-154 .
Rauf Syalabi, Distorsi Sejarah dan Ajaran Yesus, hlm. 154
Rauf Syalabi, Distorsi Sejarah dan Ajaran Yesus, hlm. 156
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100729214133AAIWx2J
Rauf Syalabi, Distorsi Sejarah dan Ajaran Yesus, hlm. 157
Pada waktu itu Kristen secara umum masih disebut Katolik

pembelajaran anak berbakat

BAB I

A. Pendahuluan
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan, antara lain bahwa “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”. (pasal 5, ayat 4). Di samping itu, dikatakan juga bahwa “ setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya” (pasal 12, ayat 1b). Hal ini pasti merupakan berita yang sangat menggembirakan bagi warga negara yang memiliki bakat khusus dan kecerdasan yang istimewa untuk mendapat pelayanan pendidikan sebaik-baiknya.
Namun yang perlu kita ketahui, bagaimana kita bisa mengetahui dan membedakan antara anak berbakat dan anak yang biasa saja, untuk itu perlu adanya kesadaran bersama bahwa anak yang berbakat perlu diberi perhatian khusus agar mereka dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki dengan maksimal. Untuk lebih jelasnya kami memaparkan dalam pembahasan di bawah ini mengenai apa yang perlu diketahui dengan anak berbakat, dan pelayanan yang sesuai terhadap mereka.
BAB II

A. Detekti dini terhadap anak berbakat
Keberhasilan seorang anak untuk mencapai prestasi yang menonjol ditentukan oleh kemampuan intelektualnya, tingkat pengetahuan yang dimilikinya, dan tingkat keterampilan yang dikuasainya untuk menerapkan pengetahuan yang dimilikinya itu di dalam bidang pekerjaaan.
Banyak referensi menyebutkan bahwa di dunia ini sekitar 10-15% anak berbakat dalam pengertian memiliki kecerdasan atau kelebihan yang luar biasa jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Kelebihan kelebihan meraka bisa tampak dalam salah satu atau tanda-tanda berikut :
1. Kemampuan intelegensi umum yang sangat tinggi, biasanya ditunjukkan dengan perolehan tes intelegensi yang sangat tinggi, misal IQ di atas 120.
2. Bakat istimewa dalam bidang tertentu, misalnya bidang bahasa, matematika, seni, dan lain-lain. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan prestasi istimewa dalam bidang-bidang tersebut.
3. Kreativitas yang tinggi dalam berfikir, yaitu kemampuan untuk menemukan ide-ide baru.
4. Kemampuan memimpin yang menonjol, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan harapan kelompok.
5. Prestasi-prestasi istimewa dalam bidang seni atau dalam bidang lain, misalnya seni musik, drama, tari, lukis, dan lain-lain.
Adapun tanda-tanda umum anak berbakat antara lain :
1. Sejak usia dini sudah dapat dilihat adanya kemungkinan anak memiliki bakat yang istimewa. Sebagai contoh, ada anak yang baru berumur dua tahun tetapi lebih suka memilih alat-alat mainan untuk anak berumur 6-7 tahun; atau anak usia tiga tahun tetapi sudah bisa membaca buku-buku yang diperuntukkan bagi anak usia 7-8 tahun.
2. Anak yang memiliki bakat istimewa sering kali memiliki tahap perkembangan yang tidak serentak. Ia dapat hidup dalam berbagai usia perrkembangan, misalnya anak berusia tiga tahun, kalau sedang bermain seperti anak seusianya, tetapi kalau membaca seperti anak berusia 10 tahun, kalau mengerjakan matematika seperti anak usia 12 tahun, dan kalau berbicara seperti anak berusia lima tahun.



B. Karakteristik anak berbakat
Untuk memaham isiswa berbakat, dapat diidentifikasi dari karakteristik yang sering muncul dalam bentuk perilaku sebagai berikut :
1. Karakteristik belajar
o Belajar lebih cepat dan lebih mudah
o Menyukai tugas dan tantangan yang kompleks
o Mengetahui banyak hal dimana anak yang lain tidak mengetahuinya
o Memiliki kosa kata yang sangat maju, dan kemampuan berbahasa sangat baik
o Sudah dapat membaca pada usia yang sangat awal
o Terampil dalam memecahkan masalah
o Sering mengajukan pertanyaan yang kritis dan tidak terduga
o Menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap banyak hal
2. Karakteristik Motivasi
o konsisten dalam menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi minatnya
o Senang mengerjakan tugas secara independen, hanya sedikit memerlukan pengarahan
o Komitmen kuat pada tugas yang dipilihnya
3. Karaktersitik Kreativitas
o Sensitif terhadap estetika
o Suka bereksperimen, sering menemukan cara baru dalam mengerjakan tugas
o Spontan dalam mengekpresikan rasa humor
o Banyak ide ketika menghadapi tantangan/problem
4. Karakteristik Sosial-emosional:
o Memiliki rasa percaya diri yang kuat
o Lebih menyukai teman yang lebih tua usianya dan memiliki kesamaan minat
o Cenderung perpfeksionis
o Mudah menyesuaikan diri pada situasi baru

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak berbakat
1. Faktor yang ada pada anak itu sendiri
Faktor yang ada pada anak itu sendiri yaitu perlunya mengenal anak. Mengenal dalam arti mengetahui semua ciri khusus yang ada pada anak secara obyektif. Dalam hal anak berbakat perlu diidentifikasi secara cermat karena tidak mustahil terjadi kekeliruan dalam menentukan seseorang anak tergolong anak berbakat, hanya karena usaha-usaha berlebihan dan pemaksaan dari orang tua dan keadaan sebenarnya adalah anak berbakat. Di pihak lain juga tidak mustahil terdapat seorang anak yang sebenarnya tergolong anak berbakat tetapi karena lingkungan tidak berfungsi merangsang dan mengembangkaan, anak terssebut tak memperlihatkan prestasi apa-apa dan tidak terlihat sebagai anak berbakat.
2. Faktor kurikulum yang meliputi :
a. Isi dan pelaksanaan yang disesuaikan dengan keadaan anak dan dengan sendirinya telah dilakukan identifikasi mengenai keadaan khusus yang ada pada anak secara obyektif.
b. Perlu ditekankan bahwa kurikulum pada pendidikan khusus hendaknya tidak terlepas dari kurikulum dasar yang diberikan pada anak yang lain. Perbedaan hanya terletak pada penekanan dan penambahan sesuatu bidang sesuai dengan kebutuhannya dan tetap terpadu dengan kurikulum dasar.
c. Kurikulum khusus diarahkan agar perangsangan –perangsangan yang diberikan mempunyai pengaruh untuk menambah atau memperkaya program dan tidak semata-mata untuk mempercepat berfungsinya sesuatu bakat luar biasa yang dimiliki.
d. Isi kurikulum harus mengarah pada perkembangan kemampuan anak yang berorientasi inovatif dan tidak reproduktif serta berorientasi untuk mencapai sessuatu dan tidak hanya sekedar memunculkan apa yang dimiliki tanpa dilatih menjadi kreatif. Kreatifitas yang diarahkan agar tertanam sikap hidup yang mau mengabdi, melayani dan mengamalkan pengetahuannya untuk kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.
3. Faktor yang lain
Hal lain yang penting ialah tersedianya faktor lingkungan yang berfungsi menunjang. Tujuan institusional dan intruksional serta isi kurikulum yang disusun secara khusus bagi anak berbakat membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai.

D. Pelayanan bagi anak berbakat
Ada beberapa kemungkinan pelayanan bagi anak berbakat melalui pendidikan, mengingat anak berbakat memiliki kemampuan dan minat yang berbeda dari anak-anak sebayanya di antaranya :
1. Model A
Kelas biasa (penuh) ditambah kelas khusus (mini). Cara ini bisa dilakukan disetiap sekolah karena anak berbakat mengikuti secara penuh seluruh acara di sekolah dan setelah itu memperoleh pelajaran tambahan dalam kelas khusus. Waktu belajarnya bertambah dan mata pelajaran dasar atau yang berhubungan dengan kemampuan khusus ditambah .
Kerugian pada anak ialah :
a. Berkurangnya waktu untuk melakukan kegiatan lain yang diperlukan untuk memperkembangkan aspek kepribadiannya, misalnya pergaulan, olahraga dll.
b. Pada waktu anak mengikuti kelas biasa, ia merasa bosan dan pada anak-anak yang masih kecil, kemungkinan mengganggu temannya bertambah.
c. Di kelas biasa anak tidak terlatih bersaing dan bekerja keras untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya.
2. Model B
Pada model ini anak mengikuti kelas biasa tetapi tidak seluruhnya (bisa 75%, 60%, 50%) dan ditambah kelas khusus. Jumlah jam pelajaran tetap dan ini menguntungkan anak sehingga ia masih mempunyai waktu untuk melakukan kegiatan-kkegiatan lain yang memang diperlukan untuk pengembangan aspek-aspek kepribadiannya .
Kerugian pada anak sendiri ialah seperti model A yakni berada di kelas bisa tumbuh perasaan bosan dan mungkin menganggap semua mata pelajaran adalah mudah akibat mudah tumbuhnya perasaan sombing dan terlalu percaya diri.
3. Model C
Pada model ini semua anak berbakat dimasukkandalam kelas khusus secara penuh. Kurikulum dibuat secara khusus demikian guru-gurunya. Keuntungan pada model ini ialah mudah mengatur pelaksanaannya dan pada murid sendiri merasa ada persaingan dengan teman-teman yang seimbang kemampuannya dan jumlah pelajaran serta kecepatan dalam menyelesaikan sesuatu mata pelajaran bisa disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan anak.
Kerugian yang menyolok ialah terpisahnya dari kelompok anak-anak yang normal yang sebaya, sehingga proses sosialisasi di sekolah menjadi berkurang. Perlakuan istimewa oleh pihak sekolah dan guru-guru mudah menimbulkan perasaan harga diri yang berlebihan karena dalam kenyataannya ia berada dalam kelas ekslusif.
4. Model D
Ialah sekolah khusus yang hanya mendidik anak berbakat. Dalam hal ini, anak-anak yang memiliki bakat/ kemampuan yang kurang lebih sama dikumpulkan dan diberi pendidikan khusus yang berbeda dari kelas-kelas biasa bagi anak-anak seusianya. Kelas seperti ini harus merupakan kelas kecil di mana pendekatan individual lebih diutamakan dan sekolah khusus anak berbakat harus memiliki kurikulum khusus yang dirancang tersendiri sesuai dengan kebutuhan anak-anak berbakat. Sistem evaluasi dan pembelajaraanya pun harus dibuat yang sesuai dengan kebutuhan mereka .
5. Model E
Menyelenggarakan kelas biasa dengan pendekatan individual. Dalam model ini biasanya jumlah anak perkelas harus sangat terbatas sehingga perhatian guru terhadap perbedaan individual masih bisa cukup memadai, misalnya maksimum 20 anak. Masing-masing anak didorong untuk belajar menurut ritmenya masing-masing. Anak yang sudah sangat maju diberi tugas dan materi yang lebih banyak dan lebih mendalam dari anak yang lainnya; sebaliknya anak yang agak lamban diberi materi dan tugas yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Demikian pula guru harus siap dengan berbagai bahan yang mungkin dipilih oleh anak untuk dipelajari. Guru dalam hal ini menjadi sangat sibuk dengan memberikan perhatian individual kepada anak yang berbeda-beda tingkat perkembangannya dan ritme belajarnya.
6. Model F
Menyelenggarakan program akselerasi khusus untuk anak-anak berbakat. Program akselerasi ini dapat dilakukan dengan cara “lompat kelas”, artinya anak dari Taman Kanak-kanak misalnya, tidak harus melalui kelas I Sekolah Dasar, tetapi misalnyalangsung ke kelas II Sekolah Dasar atau bahkan kelas III Sekolah Dasar. Jika memang anaknya sudah matang untuk menempuhnya. Program akselerasi dapat dilakukan untuk :
a. Seluruh mata pelajaran, atau disebut akselerasi kelas. Dalam program akselerasi ini berarti anak tidak perlu menempuh kelas secara berurutan, tetatpi dapat melompati kelas tertentu.
b. Akselerasi untuk beberapa mata pelajaran saja.
7. Model G
Home-schooling (pendidikan nonformal diluar sekolah). Jika sekolah keberatan dengan pelayanan anak berbakat menggunakan model akselerasi kelas atau akselerasi mata pelajaran, maka cara lain yang dapat ditempuh adalah memberikan pendidikan tambahan di rumah/ di luar sekolah, yang sering disebut home schooling. Dalam home schooling orang tua atau tenaga ahli yang ditunjuk bisa membuat pprogram khusus yang sesuai dengan bakat istimewa anak yang bersangkutan.
BAB III
A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak berbakat ialah anak yang mempunyai kelebihan dalam beberapa bidang baik dalam intelegensi, kreatifitas, bakat-bakat istimewa dalam bidang tertentu. Ada beberapa kemungkinan yang perlu diketahui terhadap anak berbakat salah satunya anak berbakat bisa dikatakan melampaui masanya/umurnya.
Ada beberapa karakter yang sangat mudah untuk kita ketahui terhadap anak berbakat, diantaranya anak berbakat dalam belajarnya mudah memahami, ada kebiasaan-kebiasaan unik misalnya bisa membaca pada awal-awal perkembangannya, dan tentunya lagi anak berbakat lebih suka bergaul dengan anak di atas usianya/ anak yag lebih tua.
Ada beberapa model yang dapat dijadikan referensi yang dapat kita ambil salah satunya mengkhususkan anak-anak berbakat dalam satu kelas/sekolah. Hal ini untuk memberi rasa nyaman dalam belajar dan mengembangkan kemampuannya, sesuai dengan amanat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional “ negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”.
B. Penutup

Ada banyak kemungkinan dalam memahami pembelajaran anak berbakat melihat dari berbagai sisi, khususnya bagaimana agar anak berbakat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuannya. Untuk itu kami berharap ada saran dan kritik bagi kami, dan kami berharap semoga makalah ini bermanfaat. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Riyanto, Theo dan Martin Handoko, Pendidikan Usia Dini, (Jakarta : Grasindo, 2004)
Gunarsa, Singgih, Berbagai Alternatif Pelayana Pendidikan untuk Anak Berbakat Luar Biasa, dalam Bunga rampai Anak-anak Berbakat, (Jakarta : Grafindo, 1993) cet III.
Aminin, Zainal, http://z-alimin.blogspot.com/2008/05/pembelajaran-anak-berbakat.html . akses tanggal 20/06/2011.

DISKURSUS RUMUS ANGKA DALAM AL-QUR’AN

A. Profil Para Peneliti
Sebagaimana telah disinggung pada bab-bab sebelumnya, dalam diskursus rumus rumus angka dikenal beberapa orang yang tampak konsen dalam meneliti kajian ini. Di antaranya adalah Rashad Khalifa, ‘Abd al-Razz.q Nawfal, Abu Zahr.’ al-Najd., dan Rosman Lubis. Berikut ini adalah sekilas profil para peneliti diskursus ini.
Rashad Khalifa lahir pada tahun 1935 M di Mesir yang kemudian berpindah ke Amerika. Latar belakang keilmuannya adalah sarjana bergelar Bachelor dalam bidang pertanian pada tahun 1957. Selanjutnya ia mendapatkan gelar Doktor (Ph.D.) dalam bidang biokimia pada tahun 1984 dan mengajar di Universitas Kalifornia dan Kanada. Ia memperistri seorang wanita muslimah berkebangsaan Amerika yang ikut membantunya dalam penelitian i‘jaz ‘adadi. Khalifa pernah membentuk forum persatuan pelajar-pelajar muslim di Amerika dan Kanada yang di dalamnya diselenggarakan kajian tentang materi dasar al-Qur’an, termasuk terjemahnya. Ia yang terkenal sebagai imam masjid Tucson, Arizona, USA wafat pada 31 Januari 1990 akibat dibunuh.
Khalifa kemudian mempublikasikan karyanya dalam beberapa buku, yakni Miracle of the Quran: Significance of the Mysterious Alphabets (tahun 1973 M), The Computer Speaks: God’s Message to the World (tahun 1981 M), Qur’an: Visual Presentation of the Miracle (tahun 1982 M). Buku pertama merupakan hasil penelitiannya terhadap fenomena huruf inisial (muqaththa‘ah) sebagai pembuka beberapa surat dalam al-Qur’an yang dihubungkan dengan bilangan-bilangan huruf dalam surat-surat yang diawalinya. Sedangkan dalam buku kedua, Khalifa menunjukkan bukti-bukti adanya keajaiban rumus angka 19 dalam al-Qur’an. Karya-karya Rashad Khalifa ternyata cukup konsisten dalam kajian rahasia angka-angka dalam al-Qur’an ini, khususnya berkaitan dengan keajaiban angka tersebut.
Sebelum itu, tersebut pula seseorang bernama ‘Abd al-Razz.q Nawfal. Ia yang lahir pada tanggal 8 Pebruari 1917 di Kairo, Mesir, adalah seorang sarjana pertanian alumnus Fakultas Pertanian Universitas Kairo (1939), dan pernah menjadi Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri pada Departemen Perdagangan Republik Arab Mesir. Karya-karya tulisnya lebih dari 30 judul yang umumnya berhubungan dengan kajian Islam. Di antara karya tersebut adalah kitab al-Isl.m D.n wa Duny. (1959), ‘Alam al-Jinn wa al-Mal.’ikah, al-Sam.’ wa Ahl al-Sam.’, Yawm al-Qiy.mah, dan sebagainya.
Selanjutnya adalah Ab. Zahr.’ al-Najd., seorang dosen filsafat di sebuah universitas di Syria. Namun, waktunya kini lebih banyak digunakan untuk meneliti al-Qur’an. Jalaluddin Rahmat mengatakan pernah bertemu dengannya dalam sebuah konferensi Islam internasional. Al-Najd. menuangkan hasil penelitiannya tentang mukjizat al-Qur’an dan menulis sebuah buku dengan judul min I‘j.z al-Bal.gh. wa al-‘Adad. li al-Qur’.n al-Kar.m.
Dari Indonesia, muncul seorang Rosman Lubis yang juga mempunyai perhatian besar dalam diskursus ini. Ia menuangkan penemuannya dalam buku Keajaiban Angka 11 dalam al-Qur’an. Tidak banyak informasi yang diperoleh tentang biografi atau hasil karyanya yang lain.
Beberapa nama tersebut—dengan segala kelebihan dan kekurangannya—dapat dianggap memberi kontribusi awal terhadap diskursus mukjizat ini. Dalam perkembangan diskusi selanjutnya, tersebut nama yang melanjutkan usaha memperkuat bukti-bukti rumus angka tersebut. Di antaranya adalah Fahmi Basya, seorang Indonesia yang berusaha melanjutkan penelitian terhadap rumus angka 19 dalam al-Qur’an.
Dari sekilas profil-profil di atas terdapat isyarat bahwa penemu atau peneliti kajian ini merupakan orang-orang yang berlatar belakang non ‘ul.m al-Qur’.n, atau kurang dikenal dalam kajian ilmu-ilmu al-Qur’an. Jika suatu penemuan atau penelitian dalam bidang keilmuan al-Qur’an harus memperhatikan kompetensi latar belakang pendidikan di bidang ini, maka hasil karya mereka dapat dianggap kurang perlu dibahas. Namun, untuk menyikapi kasus ini sebaiknya dipertimbangkan beberapa hal. Kajian tentang angka-angka merupakan kajian ilmu pasti yang dapat dilakukan ataupun ditemukan oleh siapa pun, sepanjang dapat dibuktikan kebenarannya. Selain itu, kajian mukjizat angka-angka tampaknya kurang mendapat perhatian lebih dari penulis ilmu-ilmu al-Qur’an, terutama jika dibandingkan dengan kajian mukjizat dalam segi bahasa dan sastranya. Sebagaimana dalam segi bahasa dan sastra yang dikaji oleh para ahli bahasa, dari pada ahli ilmu-ilmu al-Qur’an sendiri, maka diskursus i‘j.z ‘adad. tidak tertutup untuk ahli ilmu hitung (matematika), atau keilmuan lain yang mendukungnya.
Adanya apresiasi dari penulis buku ilmu-ilmu al-Qur’an berpengaruh baik dalam diskursus ini. Selain mengutip hasil karya mereka, para penulis buku ini juga memberikan komentar dan penilaian kritis yang sangat bermanfaat untuk perkembangan diskursus tersebut.

B. Rumus Keajaiban Angka 19
1. Awal Penemuan Rumus
Pada tahun 1968, Rashad Khalifa bermaksud menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris, sehingga muncul rasa penasaran untuk menemukan penjelasan yang memuaskan mengenai makna huruf-huruf inisial (muqaththa‘ah) di awal sejumlah surat al-Qur’an. Penyelidikannya dimulai dengan menempatkan teks surat-surat tersebut dalam sebuah komputer dengan harapan bisa menemukan suatu pola matematis sebagai penjelasan atas huruf inisial tersebut, mulai dari huruf q.f, sh.d dan n.n. Usai mengumpulkan data-data hitungan, ia segera dikejutkan dengan fakta-fakta bilangan yang habis dibagi 19. Dari sini, ia semakin tertarik untuk memecahkan misteri huruf-huruf pembuka surat (faw.tih al-suwar) yang lain. Setelah meneliti dalam beberapa tahun, ia mempublikasikan hasil risetnya dalam Miracle of the Quran: Significance of the Mysterious Alphabets (1973 M). Dalam buku ini belum disebut angka 19 sebagai angka kunci untuk keseluruhan al-Qur’an.
Kemudian pada Januari 1974, ia memperkenalkan angka 19 sebagai common denominator tidak hanya untuk huruf-huruf muqaththa‘ah, tapi juga seluruh al-Qur’an. Usaha-usaha menemukan rahasia angka 19 terus dilakukan, terutama oleh orang-orang di Masjid Tucson, Amerika. Penemuan-penemuan dari penyelidikan lanjutan ini sebagiannya telah dipublikasikan Khalifa dalam bukunya yang lain.
Bila dalam bukunya tidak ditemukan penjelasan tentang latar belakang yang mempengaruhi penelitian Khalifa terhadap angka, maka apa yang dirilis situs submission menceritakan keterkaitan antara usahanya dengan tradisi penghitungan terhadap kitab-kitab suci sebelumnya. Ia terinspirasi dengan usaha Rabbi Judah (pendeta Yahudi) yang berhasil menemukan rahasia angka 19 dalam kitab Tawrah. Jika hal ini benar, maka usaha Khalifa merupakan pengalihan terapan angka 19 dari penyelidikan Tawrah terhadap penyelidikan al-Qur’an.
Rashad Khalifa menyebut fenomena tersebut sebagai physical evidence (bukti fisik) untuk kitab suci dan menandakan adanya perkembangan suatu era baru dalam keagamaan, yakni era yang tidak terlalu membutuhkan keyakinan (faith). Bukti-bukti fisik tersebut dibutuhkan untuk meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dengan bantuan berbagai pengetahuan termasuk matematika, bukti-bukti tersebut dapat muncul dalam bentuk kode-kode yang rumit. Setiap kata (word) bahkan huruf (letter) dalam al-Qur’an ditempatkan dalam kesesuaian dengan model perhitungan matematika, dan hal itu di luar kemampuan manusia untuk melakukannya.
Menurutnya, terdapat rahasia yang tersembunyi selama 1400 tahun dalam surat al Muddatstsir/74, karena nama surat ini sendiri mengisyaratkan rahasia (diartikan sebagai yang tersembunyi [hidden, secret]), selain juga tersebut dalam ayat pertama. Ia menghubungkan hal itu dengan ayat 25 yang menyebutkan bahwa ada sebagian orang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah perkataan manusia (human made). Ayat ini berbunyi: ان هذا الا قول البشر. Perkataan mereka tersebut akan dibuktikan kesalahannya dengan angka 19, sebagaimana dimaksud dalam ayat 30, عليها تسعة عشر, yang juga dikuatkan oleh ayat-ayat selanjutnya terutama ayat ke 35: انها لاحدي الكبر dengan terjemahan: It is one of the Greatest Miracles. Selain itu, angka 19 dapat diartikan Tuhan adalah satu (God is one), dan ini merupakan pesan al-Qur’an. Demikian itu merupakan latar belakang awal dalam pemilihan angka 19.
Namun, angka 19 ini pernah dikaitkan dengan ajaran dalam kelompok Bah.’is. Menurut Annemarie Schimmel dalam the Encyclopedia of Religion, angka 19 adalah angka sakral bagi orang-orang Bah.’is, yang menghitung dalam satu tahun terdiri dari 19 bulan dan setiap bulan terdiri dari 19 bulan, meskipun ia tidak menunjuk karya Khalifa. Mungkin, yang dimaksud adalah adanya pengaruh atau hubungan pemikiran antara Bah.’is terhadap studi angka 19 dalam al-Qur’an. Bah.’is muncul jauh setelah al-Qur’an turun, sehingga secara mutlak tidak dapat dikatakan bahwa al-Qur’an dipengaruhi oleh Bah.’is. Pengaruh Bah.’is terhadap Rashad Khalifa juga sangat kecil kemungkinannya karena tidak ditemukan data atau bukti bahwa ia pernah berhubungan dengan sekte ini, meskipun terdapat kesamaan dalam angka 19.

2. Bentuk rumus keajaiban angka 19
Jika didasarkan pada klasifikasi dalam buku Qur’an: Visual Presentation of Miracle, bukti-bukti rumus angka 19 terdiri dari dua macam, yaitu the simple facts (bukti sederhana) dan the intricate facts (bukti rumit). Di antara the simple facts adalah: pernyataan pembuka al-Qur’an (basmalah) terdiri dari 19 huruf; al-Qur’an terdiri dari 114 surat (19x6); wahyu pertama (Qs. 96:1-5) terdiri dari 19 kata; wahyu pertama terdiri dari 76 huruf (19x4); surat pertama (Qs.96) terdiri dari 19 ayat; Qs. 96 terletak pada nomor 19 dari belakang; surat pertama terdiri dari 304 huruf (19x16); surat terakhir (Qs. 110) terdiri dari 19 kata; ayat pertama dalam surat terakhir terdiri dari 19 huruf; wahyu kedua (68:1-9) terdiri dari 38 kata (19x2); wahyu ketiga (73:1-10) terdiri dari 57 kata (19x3); wahyu keempat (74:1-30) mengandung angka 19 itu sendiri; wahyu kelima (Qs. 1) menempatkan 19 huruf kalimat pembuka (basmalah) secara langsung setelah angka 19 dalam Qs. 74:30; kata pertama lafal basmalah (bism) disebutkan 19 kali; dan sebagainya.
Sedangkan yang termasuk the intricate facts—dengan melalui perhitungan yang lebih rumit—antara lain: surat 50 (Q.f) yang diawali dengan huruf q.f, memiliki 57 huruf q.f (19x3); surat lainnya yang diawali huruf q.f (surat 42) juga memiliki 57 huruf q.f (19x3); dan huruf q.f sebagai salah huruf awal dalam al-Qur’an, jika digabungkan jumlahnya dari dua surat yang berawal q.f, maka diperoleh angka 114 (jumlah surat dalam al-Qur’an). Kategori terakhir ini secara umum menggambarkan hubungan antara huruf-huruf muqaththa‘ah dengan surat-suratnya.
Dari sejumlah bentuk-bentuk rumus angka 19 dalam al-Qur’an, penulis perlu mendeskripsikan beberapa bentuk yang menyimpan persoalan-persoalan sehingga dapat mengundang kritik. Berkaitan dengan penghitungan lafal basmalah, Khalifa pada awalnya menyebut lafal ini sebagai the opening statement of Quran (pernyataan pembuka al-Qur’an). Penyebutan ini berdasarkan pada posisi lafal ini di awal surat al-F.tihah sebagai surat pertama dalam susunan (tata urutan) al-Qur’an, bukan berdasarkan kronologi wahyu. Selain sebagai the opening statement, Khalifa menyebut basmalah sebagai verse no. 0 (ayat ke-0). Istilah ini mengindikasikan pengertian bahwa basmalah masih termasuk hitungan ayat ataupun terdapat hubungan erat antara basmalah dengan surat. Sebagai akibat dari term yang digunakan tersebut, kadang-kadang basmalah dihitung menjadi satu dengan perhitungan suatu surat tertentu. Seperti dalam penghitungan huruf-huruf tertentu dalam suatu surat, ia memasukkan huruf-huruf basmalah sebagai bagian dari objek hitung.
Khalifa melupakan bahwa fungsi umum basmalah di awal setiap surat al-Qur’an adalah sebagai tanda tanda surat baru. Di antara dua surat terdapat lafal basmalah sebagai tanda pemisah, kecuali pada antara surat al-Anf.l dan al-Tawbah yang tidak diberi tanda tersebut. Sehingga, lafal basmalah sebagai penanda awal surat baru, bukan sebagai bagian dari surat itu sendiri, kecuali dalam surat al-F.tihah. Dengan posisi ini, seharusnya basmalah tidak termasuk dalam objek hitung.
Jika huruf-huruf dalam lafal basmalah dipisahkan dari surat tersebut, maka tidak serta-merta diperoleh bilangan sebagai kelipatan angka 19. Penghitungan huruf-huruf dari lafal basmalah ini dilakukan dengan sengaja (dengan istilah ayat ke-0), namun tidak ada penjelasan tentang pendapat yang digunakannya. Dapat diduga bahwa penghitungan basmalah tersebut merupakan cara memperoleh bilangan yang habis dibagi 19 atau kelipatan 19.
Kasus di atas terjadi pada penghitungan huruf muqaththa‘ah yang ada dalam lafal basmalah, tetapi tidak terjadi pada huruf-huruf di luar basmalah. Misalnya pada penghitungan huruf q.f dalam surat Q.f; huruf q.f dalam surat al-Sy.r.; dan total huruf sh.d dalam 3 surat (al-A‘r.f, Maryam dan Sh.d), lafal basmalah pada surat tersebut tidak berpengaruh apa pun karena di dalamnya tidak terdapat huruf-huruf muqaththa‘ah yang dimaksud.
Masih dalam penghitungan basmalah, objek yang dihitung adalah semata-mata kalimat بسم الله الرحمن الرحيم yang dijumpai dalam al-Qur’an sebanyak 114 kali. Sementara, kedudukan di antara bilangan lafal basmalah tersebut tidak pada posisi yang sama. Bila basmalah selain yang terdapat dalam surat al-F.tihah dan al-Naml merupakan tanda pemisah surat dan ayat ke-0, dalam istilah Khalifa, tetapi dalam kedua surat tersebut basmalah adalah bagian integral dari surat, sebagai ayat atau bagian ayat. Khalifa tidak membedakan status ke-114 lafal basmalah tersebut.
Terhadap penghitungan huruf (letter), Khalifa tidak memperhitungkan huruf mudha‘af (rangkap, ber-tasyd.d) dan madd (bacaan panjang). Kritik yang disampaikan Muhammad Shidqi Bek, huruf mudha‘af seharusnya dihitung menjadi dua huruf. Dilihat dari asal kata dan bentuk pengucapan, huruf rangkap menyimpan dua huruf yang sama, tetapi dengan harakat mati dan hidup. Begitu pula dengan bacaan panjang, jika dilihat dari rasm iml.’. (dikte), maka bacaan madd umumnya dapat diberi tanda alif, w.w atau y.’. Apabila proses hitungan tersebut semata-mata dinisbatkan pada naskah (tulisan) mushaf ‘utsm.n., maka huruf rangkap atau bacaan panjang dianggap tidak berpengaruh. Padahal, hal itu sangat signifikan pengaruhnya terhadap makna kata.
Begitu pula, dalam perhitungannya terhadap konsep word (kata), Khalifa mencampur aduk antara bentuk “kalimah” (kata) dan “harf” (atribut/artikel). Misalnya, kadang-kadang huruf jarr dihitung menjadi satu dengan (kata) majr.r-nya, tetapi kadang-kadang dihitung sendiri sebagai kata (word). Bentuk harf dalam bahasa Arab seperti min, aw, ‘an, l., idz. dan lain-lain dianggap sebagai satu kata (word, kalimah). Tetapi, wa inna, y. ayyuh., m. lam, laka dan sebagainya—seharusnya merupakan gabungan dua harf—juga dihitung sebagai satu kata. Selain itu, m. yaq.l.n, wa uhjurhum, fa ittahidz.h, wa m. yasth.r.n, dan sebagainya (gabungan harf dan kalimah) juga dihitung satu kata. Bahkan, dalam Qs. al-Qalam/68:1 huruf muqaththa‘ah “n.n” (ن ) dihitung sebagai satu kata.
Kasus ini tampak pula ketika Khalifa menyebut kata pertama dalam lafal basmalah—sebagai the first word—adalah “ism”, tetapi “bism” masih pula dianggap sebagai satu kata (word). Bism dan ism keduanya dianggap sebagai kata (word), sehingga dalam pembuktian rumus angka 19 keduanya dihitung secara terpisah. Menurutnya, bism ( b.’-s.n-m.m) dalam al-Qur’an terdapat di tiga tempat (Qs. al-F.tihah/1:1, Qs. H.d/11:41, dan Qs. al-Naml/27:30). Hitungan ini tidak menghitung kata bism dalam Qs. al-‘Alaq/96:1 yang tersusun dari huruf b.’-alif-s.n-m.m, tetapi dimasukkan dalam penghitungan ism. Dengan demikian, Khalifa terlihat inkonsisten ketika melakukan penghitungan bentuk harf, yakni dengan salah satu dari dua pilihan; harf sebagai suatu kata sendiri, atau harf menginduk pada kata lain.
Selain beberapa persoalan di atas, untuk mendukung penelitiannya, Khalifa menggunakan kronologi wahyu sebagai bagian dari objek penyelidikannya. Ia menyebutkan bahwa ayat 1-5 Qs. al-‘Alaq/96 sebagai wahyu pertama (first revelation) dan ayat 1-9 Qs. al-Qalam/68 adalah wahyu yang turun kedua (second revelation). Sedangkan wahyu berikutnya adalah Qs. al-Muzzammil/73 (10 ayat), Qs. al-Muddatstsir/74, dan Qs. al-F.tihah/1. Yang dimaksud dengan revelation tersebut lebih dekat dalam pengertian surat (s.rah, chapter), yakni dilihat dari susunan surat-surat berdasarkan urutan waktu turun. Hal ini berbeda dengan kronologi turunnya ayat, menurut jumh.r ulama, misalnya bahwa wahyu kedua (second revelation) adalah Qs. al-Muddatstsir/74: 1-10. Meskipun istilah s.rah disinonimkan dengan chapter, tetapi kata revelation juga sering digunakan untuk menunjuk pengertian surat (chapter).
Demikian halnya, untuk wahyu yang turun terakhir (the last revelation) yang disebutnya adalah Qs. al-Nashr/110: 1-3. Jika yang dimaksud dengan surat yang terakhir turun, maka hal itu dikuatkan dengan susunan surat-surat menurut kronologi turunnya. Apabila yang dimaksud adalah ayat-ayatnya, maka beberapa versi pendapat tentang ayat terakhir tidak menyebutkan bahwa ayat tersebut sebagai ayat terakhir, atau sebagai pendapat terkuat. Tampaknya, Khalifa ingin membuktikan Qs. al-Nashr sebagai surat terakhir dengan rumus angka 19. Ketika rumus ini tepat digunakan dalam surat ini, hal itu dianggap memperkuat adanya rumus 19, dan bahwa surat ini adalah wahyu terakhir.

3. Teknik penghitungan
Sebagai rumus angka, tidak bisa tidak pendekatan yang digunakan terkait dengan proses hitung-menghitung, atau disebut pendekatan matematis. Rashad Khalifa melakukan pendekatan matematis dengan operasi bilangan yang biasa atau dasar, sehingga diperoleh angka-angka yang dimaksud. Operasi dasar dalam matematika yang digunakan adalah penjumlahan, perkalian atau pembagian.
Operasi penjumlahan digunakan pada:
a. penjumlahan huruf (keseluruhan atau tertentu), seperti dalam penghitungan huruf-huruf pada wahyu pertama yakni Qs. al-‘Alaq/96: 1-5; dan penghitungan huruf-huruf alif-l.m-m.m pada surat al-Baqarah/2.
b. penjumlahan kata, seperti dalam penghitungan kata-kata dalam Qs. al-‘Alaq/96. Selain itu, penjumlahan kata juga digunakan dalam penghitungan jumlah kata tertentu dalam al-Qur’an seperti kata ism, bism, All.h dan sebagainya, meskipun tidak diwujudkan dalam penjumlahan dengan bentuk total atau grand total.
c. penjumlahan antara jumlah kata (dalam al-Qur’an), nomor-nomor surat dan nomor-nomor ayat tertentu, seperti kata bism yang disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 3 kali yaitu: Qs. 1:1, Qs 11:41 dan Qs. 27:30, secara berurutan angka- angka tersebut dijumlahkan sebagai berikut: 3 + 1 + 1 + 11 + 41 + 27 + 30 = 114.
d. penjumlahan nilai–nilai numerik, seperti dalam penghitungan total nilai numerik huruf-huruf pada kata dz. al-fadhl al-‘azh.m, maj.d dan j.mi‘.
Sedangkan operasi perkalian dan pembagian digunakan untuk membuktikan bahwa angka-angka yang diperoleh pada penghitungan objek hitung sebelumnya sebagai kelipatan dari angka 19, atau jika dibagi dengan 19 menghasilkan angka penuh. Contohnya antara lain sebagai berikut:
1. Wahyu kedua (Qs. 68: 1-9) terdiri dari 38 kata ( 38 = 19 x 2 ).
2. Kata al-rahm.n dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 56 kali ( 56 = 19 x 3 ).
3. Jumlah surat dalam al-Qur’an adalah sebanyak 114 surat ( 114 = 19 x 6 ).
4. Jumlah huruf alif-l.m-m.m dalam surat al-Baqarah adalah sebanyak 9899 huruf ( 9899 = 19 x 521 ).
Selain menggunakan pendekatan matematis, Khalifa juga menggunakan pendekatan sistem numerikal yang dimiliki huruf-huruf hij.’iyyah atau abjadiyyah. Dalam praktek yang dilakukan Khalifa, huruf alif dan hamzah dianggap sama dengan nilai numerik 1.
Sedangkan dilihat dari objek perhitungannya adalah nama surat, nomor surat, ayat, kata dan huruf dalam al-Qur’an. Objek tersebut hanya didasarkan pada naskah tulisan dalam versi mushaf ‘utsm.n. atau mushaf standar seperti yang banyak kita temukan saat ini, di mana setiap surat di awali dengan lafal basmalah, kecuali surat al-Tawbah.
Dari objek ini dapat diperoleh suatu kaidah umum dalam penghitungan yang dilakukan Khalifa, yakni: menghitung sesuatu yang tampak secara lahir atau jelas dalam mushaf. Dengan kata lain, acuan yang dipegang dalam perhitungan angka-angka oleh Khalifa adalah apa yang tertulis, bukan yang terbaca. Menurut hemat penulis, acuan pada apa yang tertulis merupakan akibat dari dua hal, yakni pandangan bahwa rasm (tulisan) al-Qur’an (mushaf ‘utsm.n.) adalah tawq.f. (berdasarkan petunjuk Nabi saw), dan al-Qur’an sebagai kit.b (book). Apabila berpegang bahwa rasm al-Qur’an adalah tawq.f., maka naskah mushaf al-Qur’an dapat dianggap sebagai hal yang mutlak dan dapat melahirkan mukjizat dari bentuk rasm ataupun kit.b. Sebagai kit.b, konotasi umum al-Qur’an adalah kumpulan kalimat atau kata-kata yang tertulis dalam suatu media tertentu. Sementara, pengertian al-Qur’an adalah kal.m (perkataan) Allah yang berarti kata-kata verbal. Yang paling dekat ditunjuk oleh pengertian terakhir adalah qir.’ah, bukan rasm atau kit.bah. Dengan demikian, persoalannya adalah apakah sebenarnya yang menjadi acuan untuk teks (nash) al-Qur’an yang digunakan, rasm atau qir.’ah? Sementara ini, penelitian Khalifa lebih banyak mengacu pada bukti-bukti fisik yang tertulis dalam mushaf (termasuk penanda atau penjelasnya seperti nama atau nomor surat), sehingga dapat dikatakan tidak mengacu pada bentuk verbal al-Qur’an.

C. Rumus Keseimbangan Angka
1. Awal Penemuan Rumus
‘Abd al-Razz.q Nawfal, ketika menulis kitab al-Isl.m D.n wa Duny. (1959), menemukan jumlah bilangan kata duny. (dunia) dalam al-Qur’an disebutkan dalam bilangan yang sama dengan akh.rah (akhirat). Selanjutnya ia juga menemukan bahwa kata syay.th.n (setan) dan mal.’ikah (malaikat) disebutkan dalam bilangan yang sama, ketika sedang menulis kitab ‘.lam al-Jinn wa al-Mal.’ikah (1968). Pada awalnya, hal itu tidak dianggap sebagai hal menakjubkan, tetapi setelah ditelusuri di beberapa tempat, ternyata ia menemukan keajaiban dalam bilangan-bilangan kata tersebut.
Fenomena ini memperlihatkan keterkaitan (tan.sub) dan keseimbangan (taw.zun) pada setiap bentuk redaksional yang ditemukan. Bentuk-bentuk ini kemudian dikategorisasi berdasarkan keserupaan (mutam.tsilah), kemiripan (mutasy.bihah), keberlawanan (mutan.qidhah), dan keterhubungan (mutar.bithah). Kategori keserupaan dan kemiripan dapat dianggap sama, sehingga dapat disebut hubungan sinonimitas, yaitu kesamaan jumlah bilangan kata dengan kata sinonimnya. Kategori keberlawanan merupakan kesamaan bilangan suatu kata dengan kata antonim atau lawan katanya. Sedangkan kategori keterhubungan pada umumnya menunjuk bilangan suatu kata dengan kata lain dalam hubungan sebab-akibat atau sebaliknya. Dengan demikian, terdapat tiga kategori dalam fenomena atau diskursus mukjizat ini, yakni keserupaan, keberlawanan dan keterhubungan. Menurut Quraish Shihab, fenomena ini disebut dengan keseimbangan redaksional yang terdiri dari lima kategori.
Menurut Nawfal, fenomena ini merupakan salah satu bentuk i‘j.z al-Qur’.n yang memungkinkan bagi para peneliti atau peminatnya untuk memunculkan wacana tersebut. Hal ini dapat meningkatkan kesempurnaan iman seseorang, bahwa al-Qur’an tidak mungkin tidak sebagai wahyu Allah swt kepada nabi-Nya yang terakhir, karena keadaannya yang di atas kemampuan akal manusia dan makhluk lainnya. Oleh karena itu, diskursus baru dalam mukjizat al-Qur’an ini disebut sebagai al-i‘j.z al-‘adad. (kemukjizatan bilangan angka dalam al-Qur’an yang mulia).
Al-Qur’an menginformasikan bahwa dalam ciptaan Allah terdapat kesesuaian atau keseimbangan, sebagaimana disebutkan dalam Qs. al-Hijr/15: 14 dan Qs. al-Mulk/67: 3. Begitu pula halnya dengan al-Qur’an, selain hanya memberikan informasi dalam hal tersebut, ia juga memiliki prinsip-prinsip kesesuaian, keseimbangan, keserasian, ataupun keterhubungan yang dapat dihitung dengan angka/bilangan. Informasi dan interpretasi seperti ini merupakan salah satu landasan pemikiran tentang adanya kemukjizatan al-Qur’an dalam hal jumlah atau bilangan, khususnya rumus keseimbangan angka.


2. Bentuk-bentuk rumus keseimbangan angka
Bentuk-bentuk keseimbangan bilangan redaksional merupakan hasil penelitian terhadap lafal-lafal (alf.zh) yang menurut hitungan Nawfal secara keseluruhan mencapai jumlah 51.924 kata. Penelitian ini difokuskan pada pola kesamaan makna, keterkaitan maksud, dan kesesuaian lainnya yang ditunjukkan oleh jumlah penyebutannya dalam al-Qur’an. Dari penelitian ini tampak dominasi rumus keseimbangan bilangan redaksi kata-kata tertentu dalam al-Qur’an. Hasil-hasil penelitiannya terhadap kata-kata tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
a. Keseimbangan kata sinonim, semakna atau serupa (mutam.tsilah wa mutasy.bihah)
No. Kata Kata Sinonim/ Semakna/ Serupa Jumlah masing-masing
1 al-la’nah al-karahiyah 41
2 yauma’idz al-qiyamah 70
3 al-bukhl al-hasrah, al-thama’, al-juhud 12
4 al-jabr al-qahr, al-‘uthuww 10
5 al-‘ajab al-ghurur 27
6 al-harb al-asra 6
7 al-ghawayah (al-khata’, al-khathi’ah) 22
8 al-fakhsya’ al-baghy 24
9 al-istm (al-fakhsya’, al-baghy) 48
10 al-asbath al-hawariyun, (al-ruhban, alqissisun) 5
11 al-harts al-zira’ah, al-fakihah, al-atha’ 14
12 al-syajar al-nabat 26
13 al-albab al-af’idah 16


b. Keseimbangan kata berlawanan makna (mutan.qidhah)
No. Kata Lawan Kata Jumlah masing-masing
1. Al-dunya Al-akhirah 115
2. Al-syayathin Al-mala’ikah 68 atau 88
3. Al-hayah Al-mawt 71
4. (al-basyar, al-basyirrah) (al-qalb,al-fu’ad) 148
5. Al-naf’u Al-fasad 50
6. (al-shayf, al-harr) (Al-syita’, al-bard) (1+4=)5
7. Al-ba’ts (qiyam al-mauta) al-shirath 45
8. Al-sayyi’at Al-shalihat 167
9. Al-dhayyiq Al-thuma’ninah 13
10. Al-kufr Al-iman 25
11. Al-jahr Al-‘alaniyah 16
12. Al-syiddah Al-shabr 102
13. Al-raghbah Al-rahbah 8

c. Keseimbangan dalam hubungan/keterkaitan (mutar.bithah) antar kata.
No. Kata Kata Terkait Jumlah masing-masing
1. al-jahim al-iqab 26
2. al-fahisyah al-ghadhah 24
3. al-ashnam al-khamr, al-baghdha’, al-hasbab, al-tankil, al-hasad, al-ru’b, al-khaybah, al-khinzir 5
4. al-rijs al-rijz 10
5. al-thuhr al-ikhlash 31
6. al-iman (al-ilm, al-ma’rifah) 811
7. al-nas al-rusul 368
8. al-insan mata’uh: rizq, mal, banun 368
9. al-furqan bani Adam 7
10. al-malakut, ruh al-quds Muhammad, al-siraj 4
11. al-ruku’ al-hajj+al-thuma’ninah 13
12. al-Qur’an al-mala’ikah 68
13. al-qur’an al-wahy, al-Islam 70
14. risalah (Allah) Suwar (al-Qur’an) 10
15. al-iblis al-fitnah 11
16. al-sihr al-syukr 23
17. al-mushibah al-ridha 75
18. al-infaq al-khubts 73
19. al-khiyanah (al-nas+al-hariq) 16
20. al-kafirun al-mawta 154
21. al-dhallun al-jihad 17
22. al-muslimun al-masajid 41
23. al-din al-masajid 92
24. al-tilawah al-shalihat 62
25. al-shalah al-najah, al-mala’ikah, al-qur’an 68
26. al-zakah al-barakat 32
27. al-shiyam al-shabr, al-darajat 14
28. al-shauwm al-syafaqah 10
29. al-‘aql al-nur 49
30. al-lisan al-mau’izhah 25
31. al-salam al-thayyibat 50
32. al-huda al-rahmah 79
33. al-mahabbah al-tha’ah 83
34. al-birr al-tsawah 20
35. al-qunut al-ruku’ 13
36. al-qalil al-syukr 75
37. al-nuthfah al-thin, al-syaqa’ 12
38. al-mashir al-abad, al-yaqin 28
39. al-ayat (al-nas, al-malaikah, al-‘alamun) 382
40. al-ayat (al-ihsan, al-khayrat) 382
41. nama-nama rasul (asma’ al-rusul) (al-rusul, al-nabi, al-basyir, al-nadzir) 518
42. al-Qur’an (al-nur, al-hikmah, al-tanzil) 68
43. al-Qur’an (al-bayyinat, mubayyinat, maw’idhah, syifa’) 68
44. Muhammad Ruh al-quds, al-malakut, al-siraj, al-syari’ah 4
45. Qalu Qul 332
46. al-his’ib (al-‘adl, al-qisth) 29
47. al-ajr al-fi’l 108

Fenomena yang menarik pula adalah adanya isyarat dari suatu ayat tentang lafal-lafal tertentu yang kemudian dapat diteliti jumlahnya dalam al-Qur’an. Seperti tersebut dalam Qs. al-Ahz.b/33: 35, kata-kata al-muslim.n sampai dengan al-dz.kir.t disebutkan seluruhnya sebanyak 259 kali. Angka ini merupakan bilangan yang sama dengan jumlah keseluruhan dari kata-kata al-ajr, al-fath, dan al-‘azh.m, yang juga disebutkan dalam ayat yang sama.
Termasuk hasil penghitungan Nawfal adalah ditemukannya kata-kata dengan kategorisasi di atas namun tidak menghasilkan bilangan yang seimbang. Bentuk ini dinyatakan dengan perbandingan atau kelipatan dari bilangan kata pertama terhadap kata kedua. Bentuk ini ternyata terdiri dari perbandingan 1 : 2, atau kelipatan 2, seperti yang dapat ditemukan pada:
No. Kata Kata Jumlah
1. al-rahman al-rahim 57 : 114
2. al-abrar al-fujjar 3 : 6
3. al-‘usr alyusr 12 : 36
4. al-jaza’ al-maghfirah 117 : 234
5. al-dhalalah al-ayat 191 : 382

Menurut hemat penulis, hasil penghitungan ini tidak memberikan kontribusi untuk membuktikan atau mendukung rumus keseimbangan angka, jika dibandingkan dengan daftar kata-kata tersebut di atas. Namun, hal ini dapat digunakan untuk menguatkan adanya prinsip keserasian dalam bilangan kata, meskipun tidak berarti keseimbangan dalam jumlah. Kelima bentuk di atas menunjukkan bentuk keserasian dalam perbandingan jumlah kata, yakni 1 berbanding 2.

3. Teknik penghitungan
Menurut hemat penulis, teknik penelusuran Nawfal—dilihat dari pandangan terhadap kata acuannya—dapat digolongkan dalam dua macam cara, yakni ta‘m.m dan takhs.sh. Cara pertama, ta‘m.m, adalah dengan melihat suatu kata dalam berbagai macam derivasi (isytiq.q, bentukan) dan atributnya. Teknik ini mendominasi sebagian besar penelitiannya, sehingga terkesan jika tidak bersama dengan kata-kata derivasinya, maka tidak diperoleh bilangan yang sama.
Termasuk dalam bentuk kata derivasi adalah perubahan (tashr.f) dari asal kata kerja lampau (fi‘l m.dh.) ke bentuk-bentuk yang lain, seperti fi‘l mudh.ri‘, fi‘l amr, ism mashdar, ism f.‘il, ism maf‘.l, zharf, dan sebagainya dalam bentuk mufrad, mutsann., jamak, dan bentuk maz.d-nya. Bahkan, perbedaan atribut dham.r (pronoun, kata ganti), kedudukan kata, atau harakat kadang-kadang termasuk kategori kata derivasi.
Misalnya, dengan kata-kata derivasinya, kata al-rijs dapat dihitung 10 kali. Namun, jika tanpa kata-kata derivasinya, hanya diperoleh angka 8, karena dua di antaranya tersebut dalam bentuk: rijs(an) dan rijs(ihim). Begitu pun dengan kata sinonimnya, al-rijz tanpa derivasinya hanya disebut 6 kali, dan sisanya dalam bentuk: al-rujz(a) (1 kali), rijz(an) (3 kali), dan rijz(in) (1 kali).
Sedangkan cara takhsh.sh yaitu dengan melihat kekhususan suatu kata berdasarkan jenis atau macamnya. Misalnya, khamr dalam al-Qur’an dihitung sebanyak 6 kali, namun dengan teknik takhsh.sh dihitung 5 kali untuk jenis minuman di dunia, sedangkan sisanya adalah untuk minuman di surga. Contoh takhsh.sh yang lain, al-Qur’an dihitung sebanyak 68 kali dengan tidak menghitung dua kata qur’.nah(u) dalam Qs. al-Qiy.mah/75: 17-18, karena berarti mengumpulkan atau membaca. Kata al-wahyu juga dikhususkan dengan tidak memasukkan jenis wahyu untuk semut dan bumi, atau wahyu dari rasul kepada umatnya.
Selain meneliti kata, bagian yang menjadi objek hitung dapat berupa kalimat tertentu. Kalimat yang terulang dalam al-Qur’an dengan bilangan tertentu kemudian dicarikan kata lain yang mempunyai makna yang serupa, mirip atau dapat dikaitkan. Misalnya, dalam al-Qur’an disebutkan kalimat: khalaq al-sam.w.t wa al-ardh f. sittah ayy.m sebanyak 7 kali. Jumlah ini sebanding dengan jumlah kata al-shaff (barisan) dan derivasinya.
Dilihat dari penggunaan kata beserta derivasinya, dijumpai beberapa variasi hubungan antara satu kata dengan yang lain. Antara lain:
1. menghubungkan antara kata (tanpa derivasi / lafzh bi l. musytaq.tih) dengan kata lain (beserta derivasi / lafzh bi musytaq.tih), seperti: muslim.n dengan jih.d.
2. menghubungkan antara kata (beserta derivasi) dengan kata lain (tanpa derivasi), seperti: til.wah dengan sh.lih.t.
3. menghubungkan antara kata (tanpa derivasi) dengan kata lain (tanpa derivasi), seperti: shawm dengan syafaqah.
4. menghubungkan antara kata (beserta derivasi) dengan kata lain (beserta derivasi), seperti: al-birr dengan al-tsaw.b.
5. menghubungkan antara kata (tanpa derivasi) dengan kelompok kata lain (tanpa derivasi), seperti: al-Qur’.n dengan al-n.r, al-hikmah, al-tanz.l.
6. menghubungkan antara kata (beserta derivasi) dengan kata-kata lain (tanpa derivasi, maupun beserta derivasi), tetapi masing-masing memiliki bilangan yang sama, seperti: shawm (beserta derivasi) dengan shabr (tanpa derivasi), daraj.t (tanpa derivasi) dan syafaqah (beserta derivasi).
Singkatnya, penyelidikan ini ditujukan untuk menemukan kata dengan tema-tema yang mirip (mutasy.bihah), berkaitan (mutar.bithah), berlawanan (mutan.qidhah) dan mempunyai bilangan yang sama (mutas.wiyah) atau angka yang berhubungan (mutan.sibah). Proses penghitungan itu dilakukan dengan kombinasi antara prinsip ini dengan teknik pencarian kata tersebut di atas.
Berdasarkan surat al-Sy.r./42: 17, Nawfal meyakini bahwa lafal-lafal al-Qur’an harus memiliki prinsip mutas.wiyah (kesamaan) dan mutaw.zinah (keseimbangan). Yang dimaksud dengan kesamaan bilangan (al-tas.w. al-‘adad.) adalah adanya jumlah bilangan yang sama antara suatu kata dengan kata lain, dalam tema yang berkaitan. Contoh: lafal q.lu (oleh makhluk) tersebut sebanyak 332 kali, begitu pula dengan lafal qul (perintah Allah kepada makhluk) juga sebanyak 332. sedangkan yang dimaksud dengan hubungan angka (al-tan.sub al-raqm.) adalah korelasi antara suatu kata dengan kata lain—dalam tema yang sama—yang ditunjukkan dengan operasi pembagian, perkalian, atau perbandingan. Contoh: lafal al-nubuwwah disebutkan sebanyak 80 kali, sedangkan al-sunnah sebanyak 16 kali, sehingga: 80 : 16 = 5; atau 80 : 16 = 5, atau 80 = 16 x 5 (kelipatan lima). Contoh lain: lafal al-jahr disebutkan sebanyak 16 kali, dan al-sirr sebanyak 32 kali, sehingga: 16 : 32 = 1 : 2.

D. Rumus Kesesuaian Angka dengan Realitas
1. Awal Penemuan Rumus
Penelitian angka-angka dalam al-Qur’an yang dilakukan oleh Ab. Zahr.’ al-Najd. didasarkan pada hasil penemuan ‘Abd Razz.q Nawfal tentang keseimbangan angka. Al-Najd. menyebutkan: “Jumlah kata-kata dalam al-Qur’an yang menegaskan kata-kata lain ternyata jumlahnya sama dengan jumlah kata-kata al-Qur’an yang menjadi lawan atau kebalikan dari kata-kata tersebut, atau di antara keduanya ada nisbat kebalikan atau kontradiktif.” Pernyataan ini merupakan salah satu inti sari hasil penelitian Nawfal.
Al-Najd. menambahkan bahwa apabila jumlah kata-kata yang ada dalam al-Qur’an merupakan mukjizat, maka begitu pula dalam huruf-hurufnya. Baginya, mukjizat dalam al-Qur’an tidak hanya terbatas pada ayat-ayat, makna-makna, prinsip-prinsip dan dasar-dasar keadilan, dan pengetahuan gaib, tetapi juga termasuk jumlah-jumlah (bilangan) yang ada dalam al-Qur’an sendiri. Termasuk dalam kategori jumlah tersebut adalah pengulangan kata dan hurufnya.
Penelitian yang dilakukan oleh al-Najd. menggunakan asumsi-asumsi awal yang berbeda dengan ‘Abd al-Razz.q Nawfal. Al-Najd. menceritakan pengalamannya ketika mengatakan kepada dirinya sendiri, misalnya apabila kata “yawm” (hari) disebutkan sebanyak 365 kali dan kata “syahr” (bulan) sebanyak 12 kali, barangkali kata “s.‘ah” (jam) disebutkan sebanyak 24 kali. Ketika ia membuka kitab al-Mu‘jam al-Mufahras li Alf.zh al-Qur’.n al-Kar.m, kata al-s.‘ah ternyata tersebut sebanyak 48 kali, padahal seharusnya 24 kali sesuai dengan jumlah jam dalam sehari semalam. Meskipun demikian, dengan asumsi bahwa 24 kata tersebut memiliki karakteristik khusus dari 48 kata tersebut, ia menemukan kata “s.‘ah” disebutkan 24 kali dengan didahului oleh harf, sehingga sesuai dengan jumlah jam dalam sehari semalam.

2. Bentuk-bentuk Rumus Kesesuaian
Beberapa bentuk mukjizat angka yang dinyatakan sesuai dengan realitas oleh Ab. Zahr.’ al-Najd. adalah sebagai berikut:
a. Dua puluh empat jam. Kata al-s.‘ah yang didahului dengan harf—tidak didahului oleh ism maupun fi‘l—tersebut sebanyak 24 kali sesuai dengan jumlah jam dalam sehari-semalam.
b. Tujuh langit. Kata sab‘u yang berkaitan dengan sam.w.t (langit), sebelumnya atau sesudahnya, disebutkan sebanyak 7 kali sesuai dengan jumlah langit dan jumlah hari dalam seminggu.
c. Bilangan sujud. Kata suj.d yang dilakukan oleh mereka yang berakal disebutkan sebanyak 34 kali. Jumlah ini sesuai dengan jumlah sujud dalam shalat lima waktu (17 rakaat).
d. Shalat lima waktu. Al-Qur’an menyebutkan kata shalaw.t sebanyak lima kali sesuai dengan jumlah shalat wajib sehari semalam; subuh, zuhur, asar, maghrib dan isya.
e. Shalat fardhu dan sunat. Kata shal.h berikut turunan katanya, disertai dengan kata qiy.m berikut turunan katanya, disebutkan sebanyak 51 kali. Jumlah ini sesuai dengan jumlah rakaat shalat, yaitu 17 rakaat shalat fardhu, ditambah dengan 34 rakaat shalat sunat.
f. Perintah mendirikan shalat. Kata kerja perintah (fi‘l amr) aqim atau aq.m. (dirikanlah) yang diikuti kata shal.h disebut sebanyak 17 kali, sesuai dengan jumlah rakaat shalat fardhu (17 rakaat).
g. Rakaat shalat fardhu. Kata faradha berikut turunan katanya dengan pengertian far.dhah (kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan) disebutkan sebanyak 17 kali sesuai dengan jumlah rakaat shalat.
h. Bilangan rakaat shalat di perjalanan. Kata qashr (meringkas) berikut turunan katanya disebut sebanyak 11 kali sesuai dengan jumlah rakaat shalat harian di perjalanan yaitu 11 rakaat (setelah diringkas).
i. Basuhan dalam wudhu. Kata ghusl (membasuh) dengan air berikut turunan katanya disebut sebanyak 3 kali, sesuai dengan jumlah basuhan dalam wudhu yang diperintahkan Allah, yaitu membasuh muka, membasuh tangan kanan, dan membasuh tangan kiri.
j. Usapan dalam wudhu. Kata imsah. (perintah jamak untuk mengusap) disebut sebanyak 3 kali sesuai dengan bilangan usapan yang wajib dalam wudhu, yaitu mengusap kepala, mengusap mengusap kaki kanan, dan mengusap kaki kiri.
k. Rasul ul. al-‘azm. Kata ‘azm disebut sebanyak 5 kali sesuai dengan jumlah rasul yang termasuk ul. al-‘azm.
l. Thaww.f dan sa‘y. Kata thaww.f berikut kata turunannya disebut sebanyak 7 kali. Bilangan ini sesuai dengan jumlah thaww.f mengelilingi Ka‘bah dan ketika sa‘y, antara bukit Shaf. dan Marwah.
m. Kiblat dan thaww.f. Kata qiblah disebut sebanyak 7 kali sama dengan jumlah thaww.f di sekeliling Ka’bah sebagai kiblat
n. Mi‘r.j dan langit. Kata ‘araja (dalam pengertian naik ke langit) dan turunan katanya disebut sebanyak 7 kali, sesuai dengan jumlah langit yang disebutkan al-Qur’an.
o. Laki-laki dan perempuan. Kata rajul (laki-laki) secara berdiri sendiri disebut sebanyak 24 kali, seperti jumlah penyebutan kata imra’ah (perempuan).
p. Nama Nabi Muhammad saw. Nama Muhammad disebut sebanyak 4 kali. Bilangan ini—dikatakan—sesuai dengan jumlah namanya yang disebut dalam iq.mah (2 kali), tasyahhud awwal (1 kali), dan tasyhahhud akh.r (1 kali).
q. Perbandingan darat dan laut. Kata al-barr (darat) disebut sebanyak 12 kali, sedangkan al-bahr (laut)—baik mufrad, mutsann., dan jamaknya—disebut sebanyak 40 kali. Perbandingan tersebut (12:40) dinyatakan sama dengan perbandingan antara daratan dan lautan di planet bumi.
Selain bukti-bukti di atas, Ab. Zahr.’ al-Najd. juga menyuguhkan tendensi terhadap mazhab tertentu, dalam hal ini adalah Sy.‘ah. Bukti yang ditampilkan tidak hanya memperkuat aliran ini, tetapi juga menyinggung pihak lawan, dengan menggunakan rumus kesesuaian angka ini.
Bukti-bukti tersebut berkaitan tentang jumlah imam setelah Rasulullah saw yang diakui oleh Sy.‘ah, yakni sebanyak 12 orang. Bilangan ini sesuai dengan beberapa kata yang ditunjuknya yang memiliki bilangan penyebutan sebanyak 12 kali. Kata-kata yang disebutkan dalam al-Qur’an dalam bilangan ini adalah:
a. kata im.m beserta turunan katanya,
b. kata khal.fah dan turunan kata bendanya,
c. kata washiyyah (dalam arti wasiat dari Allah kepada makhluk-Nya) dan turunan katanya,
d. kata syah.dah (bangkit bersaksi) berikut turunan katanya,
e. ungkapan hum al-muflih.n dalam al-Qur’an,
f. ungkapan ashh.b al-jannah dalam pengertian surga yang ditetapkan Allah bagi orang-orang yang benar,
g. kata ishthaf. (memilih) berikut turunan katanya,
h. kata kerja ya‘shimu (memelihara kesucian) berikut turunan katanya,
i. kata .lu (jamak dari ahl, keluarga) yang disandarkan kepada nama-nama terpuji, seperti Ibr.h.m dan ‘Imr.n,
j. kata m.lik dalam pengertian penguasa,
k. kata ‘.mil (pelaksana pemerintahan), dalam bentuk tunggal atau jamak,
l. kata kerja ijtab. (mengangkat/memilih) berikut turunan katanya,
m. kata al-birr dari kata al-abr.r (baik), bukan dari kata al-barr (daratan), berikut turunan katanya,
n. kata sy.‘ah (pengikut) berikut turunan katanya,
o. kata najm dan nuj.m (bintang),
p. kata ruhb.n (bentuk jamak dari r.hib, orang suci),
Sedangkan kata-kata yang jumlah bilangannya dijadikan penguat )tudungan) untuk golongan lain adalah seperti firqah dan sulth.n. Kata firqah (golongan) beserta turunan katanya disebut dalam al-Qur’an sebanyak 72 kali. Bilangan ini sesuai dengan banyaknya firqah yang menyimpang dari agama yang benar, yang diajarkan Rasulullah saw. Selain itu kata sulth.n (penguasa) disebutkan sebanyak 37 kali dinyatakan sesuai dengan penyebutan kata nif.q (munafik) yang juga sebanyak 37 kali.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Ab. Zahr.’ al-Najd., dapat disimpulkan suatu rumus kesesuaian dengan realitas. Bukti-bukti yang diungkapkan menunjukkan pola-pola kesesuaian antara jumlah bilangan kata dengan realitas yang dimaksud. Namun, bukti-bukti tersebut terakhir dalam penjelasannya menunjukkan kecenderungan pada mazhab tertentu, dalam hal ini adalah mazhab Sy.‘ah.
Kritik-kritik terdahulu tentang rumus kesesuaian angka dengan realitas ini tidak banyak terungkap dalam diskursus mukjizat ini. Sepintas lalu dapat ditemukan celah kritik (jarh) terkait tentang pemaknaan dan pemaksaan realitas-realitas yang sesuai, baik dalam wilayah ilmu pengetahuan alam (science), syariat agama, ataupun mazhab tertentu. Selain itu, terkesan bahwa di antara pembuktian-pembuktian ini dimanfaatkan untuk memperkuat golongan tertentu.

3. Teknik penghitungan
Teknik penghitungan kata yang dilakukan oleh al-Najd. memiliki kesamaan dengan teknik Nawfal. Teknik tersebut adalah ta‘m.m (melihat keumuman suatu kata dalam berbagai macam derivasi (isytiq.q, bentukan) dan takhs.sh (melihat kekhususan suatu kata berdasarkan jenis atau macamnya).
Teknik ta‘m.m, oleh al-Najd., dilakukan seperti pada penghitungan kata im.m berikut turunannya tersebut sebanyak 12 kali. Dalam hal ini tidak dilihat bentuk mufrad-jamaknya, ataupun artinya. Sejumlah kata im.m—yang dihubungkan dengan jumlah khalifah menurut golongan Syi‘ah—tersebut memiliki beragam arti, antara lain: pemimpin, pedoman, jalan umum, dan kitab induk. Ragam bentuk dan arti tersebut tidak berpengaruh dalam inventarisasi kata yang diinginkan.
Sedangkan teknik takhsh.sh, antara lain, diaplikasikan pada saat ia menghitung kata s.‘ah. Ketika meghitung kata tersebut dan menemukan 48 kata, ia mencari kekhususan kata-kata tersebut, yaitu yang didahului dengan harf. Dengan teknik ini diperoleh bilangan 24 kata dihubungkan dengan 24 jam dalam sehari-semalam. Al-Najd. tidak melihat arti dari kata tersebut, sehingga mempersamakan antara kata yang berarti hari kiamat dan waktu/saat dengan jam.
Selanjutnya, setelah memperoleh bilangan yang dimaksud, al-Najd. mencarikan realitas yang sesuai dengan bilangan tersebut. Khazanah realitas yang dimaksud olehnya adalah seperti ilmu pengetahuan (sains), ajaran syariat (dari al-Qur’an-hadis), dan ajaran/sejarah mazhab yang dianutnya.

D. Rumus Keajaiban Angka 11
1. Awal Penemuan Rumus
Rosman Lubis menganggap rumus angka 11 sebagai pasangan angka 19, sebagaimana penemuan Rashad Khalifa. Asumsi ini didasarkan pada beberapa fakta yang mudah dilihat dalam al-Qur’an, khususnya yang disebutnya dengan mushaf ‘utsm.n., yaitu:
a. Dua surat terakhir (surat al-Falaq/113 dan al-N.s/114) terdiri dari 11 ayat.
b. Ayat ke-4 dan ke-7 surat al-F.tihah/1 terdiri dari 11 dan 44 (11x 4) huruf.
c. Huruf pertama al-Qur’an adalah b.’ (abjad ke-2) dan huruf terakhir dari ayat terakhir adalah s.n (abjad ke-12). Dari 2 sampai dengan 12 adalah 11 angka.
d. Surat Muhammad berada pada nomor surat 47 (4 + 7 =11), dan terdiri dari 38 ayat (3 + 8 = 11).
e. Jumlah surat-surat makkiyyah adalah 19/30 bagian dari al-Qur’an dan surat- surat madaniyyah adalah 11/30 bagian.
Bila angka 19 menyiratkan makna keesaan Allah, maka angka 11 oleh Lubis dianggap menyiratkan nama Allah itu sendiri. Kata All.h terdiri dari beberapa huruf hij.’iyyah (alif, l.m, l.m, h.’) dengan nilai numerik: 1, 30, 30, 5 dengan jumlah 66 (11x 6). Selain dari nilai numerik tersebut, hal itu didukung juga dengan nomor-nomor abjad hij.’iyyah: 1, 23, 23, 27 yang dijumlahkan menjadi 74 (7 + 4 = 11).
Menurut Lubis, sistem hitung al-Qur’an dengan angka kunci 11 dinilai sangat canggih karena ditemukan keteraturan-keteraturan luar biasa dalam banyak bagian dari al-Qur’an dengan tingkat kesulitan tak terhingga. Sistem ini menyangkut angka-angka mulai dari dua digit hingga ratusan digit, dan diperoleh dari angka-angka yang tersembunyi dibalik huruf-huruf al-Qur’an. Angka dengan digit hingga ratusan ini bukan hanya tampak pada hasil penjumlahan, tetapi juga pada rangkaian angka-angka tertentu yang menjadi satu kesatuan angka.

2. Bentuk Rumus Angka 11
Terdapat puluhan data hasil hitungan yang disuguhkan oleh Rosman Lubis yang dirangkum dalam 22 bab/kelompok, yaitu sebagai berikut: awal penemuan, kelompok 11 ayat pertama (surat al-F.tihah/1: 1-7 dan surat al-Baqarah/2: 1-4); surat Y.s.n; surat al-Ikhl.sh; surat-surat yang diawali oleh huruf-huruf muqaththa‘ah; huruf-huruf awal juz yang dicetak tebal; ayat-ayat tentang waktu; ayat tentang jari-jari tangan manusia; ayat kursi; pembukaan surat-surat al-Qur’an; awal turunnya al-Qur’an; ayat-ayat yang pertama turun; empat surat yang berhubungan dengan masa turunnya; ayat-ayat al-Qur’an dengan jumlah huruf 11; al-asm.’ al-husn.; penempatan nama-nama Allah; nomor surat dan jumlah ayatnya; ayat al-Qur’an tentang angka 11; dan juga alam semesta.
Berikut ini adalah deskripsi singkat atas sebagian hasil penghitungan yang dilakukan Rosman Lubis:
a. Angka 11 dalam kata iqra’
Kata pertama (iqra’) yang turun kepada Nabi Muhammad terdiri dari 5 huruf, yaitu: alif, q.f, r.’, alif, hamzah. Dalam daftar nilai numerik dan nomor huruf abjad hij.’iyyah terlihat bahwa angka-angka yang menyertai ke-5 huruf kata “iqra’” adalah:
1) alif : 1 + 1 = 2
2) qaf : 100 + 21 = 121
3) ra’ : 200 + 10 = 210
4) alif : 1 + 1 = 2
5) hamzah : - + 28 = 28
Jumlah = 363

Total nilai angka dalam kata iqra’ adalah 363 = 11x 33.
Dengan model penghitungan ini, Lubis melakukan penghitungan dengan:
 menjumlahkan antara nomor urut huruf hij.’iyyah dengan nilai numeriknya,
 menganggap alif adalah huruf hij.’iyyah pertama dengan nilai numerik: 1, sedangkan hamzah adalah huruf ke-28 dengan nilai numerik: 0.
 menganggap hamzah yang ditulis dengan alif dan hamzah dihitung dua huruf.
b. Angka 11 dalam nomor surat dan jumlah ayat
Rosman Lubis membuat suatu daftar surat-surat al-Qur’an dengan nama surat sejenis, disertai dengan nomor surat dan jumlah ayatnya. Ia mengelompokkan beberapa surat al-Qur’an ke dalam 12 macam, yaitu surat dengan nama: nabi; manusia teladan; manusia/golongan/julukan; suku/ bangsa; tempat/benda; huruf-huruf potong (muqaththa‘ah); sifat Allah swt; keadaan hari kiamat; hari kiamat; penggalan waktu; istilah hukum; dan benda-benda langit tunggal. Dalam daftar yang dibuat oleh Lubis dari pengelompokan surat ini, ia menyusun total angka menjadi 319, 330, 341, 385, 495, 627, 748, 759, 924, 1749, 1958 yang habis dibagi 11. Namun, urutan angka-angka ini tidak berdasarkan urutan kelompok surat seperti yang telah disusun di atas.
Rosman Lubis juga mengungkapkan fakta lain adanya 26 surat-surat al-Qur’an yang jumlah ayatnya 11/ kelipatan 11/ unsur 11. Jumlah nomor surat dari 26 surat ini adalah: 1244, dimana: 1+2+4+4= 11. Nomor-nomor surat ini dalam penulisan ke samping secara berderet juga merupakan satu kesatuan angka dalam 110 digit yang habis dibagi 11.
c. Angka 11 dalam surat al-F.tihah
Sebagai konsekuensi menghitung tulisan yang nyata, apabila terdapat perbedaan dalam jumlah ayat atau tulisan, misalnya dalam surat al-F.tihah, ia mengikuti fakta yang tertera dalam mushaf al-Qur’an itu sendiri. Ketika pada akhir ayat basmalah tertulis angka 1, maka ini adalah ayat ke-1 dari surat al-F.tihah. Begitu pula dalam penulisan (ملك) dan ( الرحمن ), ia hanya menghitung apa yang ada di mushaf tersebut. Ia mengakui ada perbedaan jumlah huruf dan jumlah nilai numerik apabila terdapat huruf alif di dalam kata tersebut.
Dalam pencarian keajaiban dari surat al-F.tihah, ia membuat tabulasi atau daftar huruf-huruf dari surat ini beserta nilai numerik dan nomor abjadnya, dari ayat 1 hingga 7. Dari data ini, kemudian ia membuat daftar pemakaian huruf-huruf dalam al-F.tihah, serta daftar jumlah pemakaian huruf, nilai numerik dan abjadnya. Dengan menyusun jumlah huruf tersebut berdasarkan huruf-huruf dalam kata All.h, Jibr.l, al-Qur’.n dan Muhammad, diperoleh angka dengan kelipatan 11 dalam 17 digit. Selanjutnya, dengan total angka dari nilai numerik dan nomor abjad dengan susunan dari alif sampai y.’ diperoleh angka kelipatan 11 dalam 63 digit.
Suguhan angka-angka ini mungkin terlihat fantastis dan ajaib, namun menyimpan persoalan dalam penghitungan awal yang berakibat pada hitungan selanjutnya. Berdasarkan sampel dari al-F.tihah ini, Rosman Lubis ternyata menghitung huruf hamzah sebagai alif. Hal itu mungkin sekali karena dalam versi mushaf standar Indonesia huruf hamzah di awal kata selalu ditulis alif, dan itu tidak dibedakan. Selain itu, dengan versi rasm (tulisan) atau mushaf yang berbeda dari rasm ‘utsm.n., maka dalam kata al-shir.th terdapat huruf alif, padahal dalam rasm ‘utsman. ditulis tanpa alif. Persoalan lain yang sangat mempengaruhi adalah penggunaan sistem huruf abjad hij.’iyyah dan sistem numerologi yang kurang valid, baik sumber perolehan (reference) maupun pengaplikasiannya.
Secara umum perlu digarisbawahi bahwa perhitungan ini menggunakan pedoman: kombinasi tiga model penghitungan (pemampatan, kelipatan dan unsur angka 11); huruf-huruf yang dihitung adalah huruf yang nyata dalam mushaf; daftar nilai numerik huruf abjad; dan rangkaian angka-angka dengan susunan yang disesuaikan dengan kepentingan hasil.
d. Angka 11 dalam ayat tentang waktu
Hasil penghitungan lain yang tampaknya menakjubkan seperti terdapat pada penggunaan angka-angka yang dilekatkan untuk waktu tertentu (malam, hari, bulan, tahun) yang terdiri dari 33 macam (tanpa pengulangan). Angka-angka tersebut adalah:
a. Malam: 1/3, ½, 2/3, 3, 7, 10, 30, 40;
b. Hari: ½, 1, 2, 3, 7, 8, 10;
c. Tahun: 2, 7, 8, 10, 9, 300, 40, 50, 100, 1000, 50.000;
Total keseluruhan dari angka-angka untuk penunjuk waktu tersebut adalah 52.701 (11 x 4.791).
Berbeda dengan penghitungan sebelumnya, contoh kasus ini tampak elegan karena hanya menghitung bilangan yang disebutkan al-Qur’an (meskipun dalam kategori jenisnya dan tanpa pengulangan). Dalam hal ini tidak diperlukan menghitung bilangan angka di luar al-Qur’an, seperti nomor urut atau nilai numerik huruf. Hanya saja, bukti yang seperti ini masih minor, sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut.

3. Teknik penghitungan
Penelitian Lubis ini melihat keteraturan dalam al-Qur’an berdasarkan tulisan dalam mushaf standar Indonesia. Ciri-ciri khusus yang terdapat dalam mushaf yang ditelitinya antara lain: huruf-huruf pada awal juz memakai cetak tebal yang jumlahnya antara 2 sampai 11; dan tiap-tiap satu kelompok ayat diberi tanda berupa huruf ‘ain (ع, atau disebut tanda ruku‘) pada sisi kanan dan kiri halaman yang seluruhnya adalah : 554 tanda ‘ain. Seperti halnya Khalifa, hitungan ini disandarkan pada bentuk-bentuk tulisan yang tampak (nyata) dalam mushaf tersebut.
Dari bentuk tulisan nyata dari al-Qur’an tersebut diperoleh bentuk-bentuk huruf, kata, penomoran (ayat, juz, surat), baris dan sebagainya. Selanjutnya, bentuk ini menjadi objek penghitungan untuk mendapatkan bukti adanya rumus yang dimaksud. Lebih lengkapnya, objek hitung yang dimaksud adalah:
a. jumlah ayat
b. nama Allah
c. nomor urut huruf dalam ayat
d. nomor ayat
e. nilai numerik
f. nomor abjad
g. jumlah huruf tiap ayat
h. jumlah huruf tertentu
i. jumlah baris tulisan
j. huruf awal dan akhir tiap baris
k. nomor baris
l. titik tengah ayat-ayat
m. titik tengah ayat
n. huruf urutan 11/kelipatan 11
o. kata-kata tertentu
p. huruf-huruf tertentu
q. selisih nomor surat
r. selisih nomor ayat
s. huruf-huruf awal, tengah dan akhir masing-masing 11
t. nomor huruf awal
u. huruf awal surat
v. bilangan waktu
w. huruf yang tidak diikutkan
x. kata/nama yang tidak diikutkan
y. huruf dalam nama Allah saja, atau juga ditambah Jibril, al-Qur’an dan Muhammad.
Dengan objek yang dibidik dari mushaf ini diperoleh suatu bilangan angka, yang terdiri dari nilai numerik, nomor abjad, nomor surat, jumlah ayat tiap surat, jumlah huruf tiap ayat dan sebagainya. Dengan menyusun beberapa bagian angka-angka tersebut, maka rangkaian tersebut dianggap sebagai satu angka utuh yang—menurut perhitungannya—menunjukkan dominasi angka 11.
Untuk membuktikan angka 11 tersebut, ditetapkan tiga versi teknik penghitungan, yaitu:
a. jumlah dari deretan angka-angka habis dibagi 11, misalnya: 2, 3, 4, 5, 8 jumlahnya: 22 atau 11 x 2.
b. jumlah dari deretan angka-angka, komponen-komponennya berjumlah 11, misalnya: 2, 3, 4, 5, 8, 7 jumlahnya 29, kemudian 2 + 9 = 11.
c. deretan angka-angka merupakan satu kesatuan angka yang habis dibagi oleh angka 11, misalnya: 2, 3, 4, 5, 6, 7, 3 merupakan kesatuan angka 2345673 (dalam tujuh digit) yang habis dibagi 11 dengan hasil 213243.
Dari teknik hitung ini, pencarian angka 11 dalam al-Qur’an dilakukan dengan salah satu atau pun ketiganya sekaligus. Artinya, deret angka-angka yang telah diperoleh dari objek tersebut diteliti dengan tiga teknik ini sehingga didapatkan angka 11. Jika hasilnya tepat dengan angka ini, maka bukti keajaiban angka 11 telah ditemukan.
Kelebihan yang ditunjukkan dalam proses perhitungan angka 11 ini, menurut penulis, terletak pada variasi kombinasi objek dan teknik penghitungan dan kejelian dalam membidik objek. Kombinasi beberapa objek hitung secara variatif membuka jalan untuk lapangan penelitian selanjutnya untuk pencarian rumus-rumus tertentu. Apabila melihat hasil yang diperoleh dari penghitungan tersebut, maka penelitian ini telah menunjukkan sajian angka-angka yang dianggap luar biasa, fantastik dan artistik. Hasil-hasil akhir yang diperoleh ternyata banyak bersesuaian dengan rumus angka yang dimaksud oleh peneliti.
Namun demikian, secara scanning (lihat/baca cepat), begitu mudah dijumpai banyak kesalahan dalam pembacaan terhadap huruf-huruf dan pendekatan yang digunakan, meskipun dalam teknik penghitungan akhir (matematis) tidak terlalu banyak menyisakan persoalan. Persoalan lain yang menunjukkan sisi kelemahan adalah penggunaan sistem numerik/numerologi yang tidak valid dan konsisten.
Lihat Na‘im al-Himshi, Fikrah I‘jaz al-Qur’an, (Beirut: Mu’assaah al-Risalah, 1980), h. 279
Ibid. Kajian ini dimulai dengan tafsir al-Fatihah dan selanjutnya al-Baqarah. Ketika membahas pembuka surat ini, ia berhenti pada tiga huruf (alif-lam-mim). Menurutnya, para mufassir kebanyakan mempunyai penafsiran yang relatif seragam dengan mengatakan: wa Allah a‘lam (dan Allah lebih mengetahui). Kemudian, ia mulai berusaha keras memahami ayat ini selama empat tahun sehingga mendapatkan petunjuk yang mengantarkannya untuk menyelesaikan masalah tersebut.
http/: www.submission.org/miracle-history.html
Quran: Visual Presentation of Miracle, terbitan Islamic Productions Arizona USA tahun 1982 setebal 247 halaman, terdiri dari beberapa bab yakni: introduction, the secret remained hidden for 1400 years, physical fact number 1-52, why 19, dan summary and conclusions. Pada awalnya, buku ini didesain dalam format slide fotografi yang masing-masing halaman mempresentasikan satu slide yang berdiri sendiri, dengan judul Visual Presentation of the Miracle. Jika dilihat secara umum, buku ini lebih banyak menunjukkan fakta-fakta yang dijadikan argumentasi oleh Khalifa untuk menguatkan penemuannya. Buku ini sarat dengan ayat-ayat dan angka-angka sebagai bagian dari argumentasinya. Oleh karena itu, pembaca tidak banyak memperoleh informasi deskriptif-analisis tentang diskursus yang menjadi bagian dalam penelitiannya, tetapi hanya dapat mengetahui pendirian atau pendapat yang dipegang oleh Khalifa saja.
Na‘im al-Himshi. menyebutkan dua buah makalah/buku kecil dari Khalifa yaitu: al-I‘jaz al-‘Adad. fi al-Qur’an al-Karim, Dalalat Jadidah f. al-Qur’an (1978). al-Himshi, Fikrah, h. 279-280
Lihat pengantar penerjemah dalam ‘Abd al-Razzaq Nawfal, Langit dan Para Penghuninya, terj. A. Hasjmy, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976). Beberapa bukunya pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
Lihat Kata Pengantar dari Jalaluddin Rahmat dalam Ab. Zahr.’ al-Najd., al-Qur’an dan Rahasia Angka-Angka, terj. Agus Effendi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001)
Buku ini tidak hanya menjelaskan mukjizat angka-angka, tetapi pada bagian awal terdapat penjelasan tentang perkembangan diskursus mukjizat dalam segi balaghah. Buku yang menjadi acuan dalam karyanya ini dikatakan sebagai bagian (jilid) pertama, namun bagian keduanya belum sampai ke tangan kita.
Buku ini hanya diterbitkan satu edisi pada tahun 2001 oleh PT. Pustaka Pelajar Jakarta. Selain buku ini, dari Rosman Lubis tidak diperoleh informasi tentang karyanya yang lain.
Fahmi Basya dilahirkan di Padang, Sumatera Barat tanggal 3 Pebruari 1952. Ia adalah alumnus Universitas Indonesia, dan pada tahun 1974 menjadi seorang dosen di Sekolah Tinggi Teknik Jakarta. Bakat keagamaan dan matematikanya ia kembangkan ketika berada di penjara masa rejim Suharto sekitar tahun 1977-1982. selain mempublikasikan karyanya tentang al-Qur’an melalui seminar dan pameran, ia juga menulis beberapa buku, antara lain: One Million Phenomena, al-Bayyinah (1989, 1990), Paleo Konstanta, Matematika al-Qur’an (2003), dan Matematika Islam (2005). Biografi selengkapnya lihat Fahmi Basya, Matematika al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Quantum, 2003), halaman sampul belakang.
Lihat http:/www.submission.org/miracle-history.html. Seringkali dipahami bahwa Rashad Khalifa memulai penemuannya dari lafal basmalah yang terdiri dari 19 huruf, seperti yang dapat dijumpai dalam uraian Quraish Shihab dan Rosman Lubis. Lihat Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an di Tinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib, (Bandung: Mizan, 2003), cet.ke-13, h. 139 dan Rosman Lubis, Keajaiban Angka 11 dalam al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h. 1
Huruf qaf yang terdapat di awal Qs. al-Syura/42 dan Qs. Qaf/50 terulang 57 (19 x3) kali di masing-masing surat tersebut. Dengan demikian, jumlah total huruf qaf dalam kedua surat itu adalah 114 (19 x 6), sama dengan jumlah surat dalam al-Qur’an. Qs. al-Syura yang merupakan surat ke-42 memiliki 53 ayat. Bila kedua bilangan ini dijumlahkan maka hasilnya adalah 95 (19 x 5). Sementara, Qs. Qaf merupakan surat ke-50 dan memiliki 45 ayat, dan bila dijumlahkan menghasilkan 95 (19 x 5) juga. Huruf shad di awal Qs. al-A‘raf, Maryam dan Shad diulang sebanyak 152 (19 x 8). Sementara, huruf nun di awal surat al-Qalam ditemukan sebanyak 133 (19 x 3).
http:/www.submission.org/beyond.html dan http:/www.submission.org/miracle-history.html
http:/www.submission.org
Khalifa, Quran, bagian pendahuluan (preface).
Qs. al-Muddatstsir/74:25, artinya: tidak lain hanyalah perkataan manusia.
Qs. al-Muddatstsir/74:30, artinya: Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). Ayat ini menjadi landasan pemikiran bahwa angka 19 merupakan angka yang mengindikasikan fungsi matematika murni dalam susunan al-Qur’an. Khalifa, dalam hal ini, menawarkan penafsiran baru, bahwa makna 19 dalam ayat tersebut adalah bukti atau keajaiban rumus angka 19 dalam al-Qur’an.
Angka 19 tersebut—seperti juga angka 8 dalam Qs. al-H.qqah/69:17—yang undefined (tidak beserta ma‘d.d-nya) telah menimbulkan multi interpretasi. Umumnya mufassir menjelaskan bahwa bilangan tersebut adalah untuk sejumlah malaikat penjaga neraka. Orang-orang yang menetapkan al-Qur’an sebagai buatan manusia akan dibalas di bawah pengawasan “sembilan belas”. Quraish Shihab mengatakan lebih bijaksana untuk meyakini firman-firman tersebut dan menyerahkan kepada Allah tentang apa yang dimaksud oleh-Nya, atau menyerahkan penafsirannya ke waktu yang lain oleh generasi selanjutnya. Lihat Na‘im al-Himshi, Fikrah, h. 283 dan M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), vol. 14, h. 592
Rashad Khalifa, Qur’an: Visual Presentation of The Miracle, (Tucson: Islamic Production, 1982), h. 6. Hubungan antara angka 19 dengan angka satu dijelaskan dengan pendekatan perhitungan numeral (menghitung nilai-nilai angka tertentu dari setiap huruf hija’iyyah atau abjadiyah terhadap kata wahid. Kata ini dalam bahasa Arab terdiri dari huruf و , ا , حdan د yang masing-masing huruf memiliki nilai numerik: 6, 1, 8, dan 4. Jika nilai-nilai numerik tersebut dijumlahkan, maka akan dihasilkan angka 19. Oleh karena itu, angka sembilan belas dianggap sebagai angka satu, berarti Tuhan itu satu. Sedangkan keterangan yang dimaksud Khalifa tentang “pesan (message) dari Tuhan” tidak dijelaskan dalam bukunya. Mungkin pernyataan ini didasarkan bahwa al-Qur’an banyak mengajarkan tawh.d, mengesakan Tuhan.
Baha’is adalah suatu ajaran agama monoistik baru, muncul pada tahun 1863 di Baghdad, yang mengikuti ajaran Baha’ Allah (Mirza Husayn ‘Ali, dari Persia). Ia merupakan pengikut Sayyid ‘Ali Muhammad yang mendeklarasikan agama baru pada tahun 1844. Ajaran pokok Baha’is adalah: hanya ada satu Tuhan; satu kemanusiaan (sama di hadapan Tuhan); dan seluruh agama besar dunia berasal dari sumber yang sama. Lihat http:/www.free-definition.com
Mircea Eliade (ed.), “Numbers”, The Encyclopedia of Religion, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), h. 18. lihat juga John L. Esposito (ed.), “Numerology”, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), h. 253
Sering kali latar belakang pemikiran Khalifa dikaitkan dengan jumlah huruf dalam lafal basmalah. Dalam hitungannya, lafal basmalah ( بسم الله الرحمن الرحيم ) terdiri dari 19 huruf yang nyata. Hitungan seperti ini juga diikuti oleh Rosman Lubis dan Fahmi Basya. Namun, dijelaskan bahwa hitungan tersebut berdasarkan tulisan.
Seperti diketahui, terdapat perbedaan pendapat ulama dalam persoalan lafal basmalah: apakah termasuk ayat yang diletakkan di awal surat, bagian dari surat itu, atau hanya sebagai pemisah. Lihat diskusi ini dalam Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (al-Fajalah: Maktabah Mishr, t.th.) , j. I, h. 25
Rashad Khalifa, Qur’an, h. 227
Inkonsistensi penggunaan lafal basmalah tersebut terlihat dalam penghitungan huruf-huruf dalam beberapa surat yang dimulai dengan huruf muqaththa‘ah. Lafal basmalah dimasukkan dalam hitungan bagian dari surat-surat tersebut yang dapat diperhitungkan huruf-hurufnya. Antara lain ditemukan dalam penghitungan huruf nun dalam surat al-Qalam; huruf ya dan sin dalam surat Yasin; total huruf ha’ dan mim dalam Qs. Ghafir, Fushshilat, al-Syura, al-Zukhruf, al-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf. Jumlah huruf nun dalam Qs. al-Qalam ditambah dengan basmalah adalah sebanyak 133 (merupakan kelipatan tujuh dari angka 19).
Seperti disebutkan oleh Abu Zahra’ al-Najd., al-Qur’an dan Rahasia Angka-Angka, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), cet.ke-8, h. 77. Dalam hal ini, Muhammad al-Ghazali juga memberikan kritiknya yang kurang lebih sama, namun juga tidak mendeskripsikan secara jelas. Lihat Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), cet. ke-2, h. 179-180
Misalnya, madda ( مد) asalnya adalah ma-da-da (مدد ) yang kemudian menjadi ma-d-da ) مددhuruf dal pertama disukun, sedangkan huruf kedua tetap).
Misalnya, maliki ( ملك) dalam mushaf ‘utsman. ditulis tanpa alif, tetapi dibaca panjang dengan satu alif, atau dapat ditulis dengan alif menurut rasm imla’. (dikte).
Rashad Khalifa , Quran, h. 11-24. Khalifa kurang memperhatikan konsistensi penghitungan kata berdasarkan bentuk kalimah (kata, word) dalam bahasa Arab, kemungkinan untuk membuat potongan kata yang sesuai dengan rumus angka 19. Apabila konsisten dengan konsep ini, ia tidak akan menghitung harf sebagai kata (word atau kalimah), apalagi menghitung huruf asli sebagai satu kata
Ibid., h. 28
M. Quraish Shihab et.al., Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Bait al-Qur’an, 1998), h. 62 dan Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Riyadh: al-Mants.r.t al-‘Ashr al-Hadits, t.th., h. 68
M. Quraish Shihab, et.al., Sejarah., h. 69-72
Jal.l al-D.n al-Suy.th., al-Itq.n f. ‘Ul.m al-Qur’.n, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1988), h. 77-81 dan Mann.‘ al-Qathth.n, op.cit., h. 69-71. Surat al-Nashr dikenal juga sebagai surat al-Qur’an yang turun terakhir secara sempurna, atau sebagai penutup wahyu yang berhubungan dengan syariat khusus. Al-Suy.th. menjelaskan, di antara pendapat tentang ayat terakhir yang turun adalah ayat kal.lah (Qs. al-Nis.’: 176), dan Qs. al-Tawbah: 128-129.
Salah satu diskursus yang dirilis dalam situs submission, namun tidak dijelaskan dengan detail dalam bukunya, Khalifa menolak Qs. al-Tawbah: 128-129 sebagai ayat al-Qur’an, bukan saja sebagai ayat terakhir. Alasannya adalah ketidaksesuaian rumus angka 19 dalam hitungan kata rah.m dalam al-Qur’an apabila kedua ayat ini termasuk di dalamnya. Selain itu, alasan lainnya adalah—menurutnya—kata-kata dalam kedua ayat ini tidak mungkin sebagai firman Allah karena menceritakan kisah Rasulullah. Untuk membantah alasan pertama, Quraish Shihab pernah menjelaskan bahwa kata rah.m di dalam kedua ayat tersebut berbeda dengan kata yang sama di dalam ayat-ayat lain. Dalam al-Tawbah: 128-129, kata rah.m merupakan sifat dari Rasulullah, sedangkan pada ayat-ayat yang lain merupakan sifat untuk Allah. Lihat http:/www.submission.org dan M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 25
Khalifa, Quran, h. 71-73
Operasi perkalian ini juga dapat dianggap sama dengan operasi pembagian, dikarenakan berorientasi hasil sesuai angka yang diinginkan. Misalnya: 114 = 19 x 6 sama dengan 114 : 19 = 6, karena menyangkut kesesuaian dengan angka 19.
Daftar nilai-nilai numerik abjad yang digunakan oleh Khalifa adalah sebagai berikut:
ا = 1, ب = 2, ج = 3, د = 4, ه = 5, و = 6, ز = 7, ح= 8, ط = 9, ي= 10, ك= 20, ل = 30, م = 40, ن = 50, س = 60, ع = 70, ف = 80, ص = 90, ق = 100, ر = 200, ش =300, ت = 400, ث = 500, خ = 600, ذ = 700, ض = 800, ظ= 900, غ = 1000. Lihat Khalifa, Quran, h. 70
Kaidah ini diperoleh dari komentar Na‘.m al-Himsh. terhadap karya Khalifa. Tidak dijelaskan secara pasti bahwa kaidah ini dibuat oleh Khalifa atau disimpulkan dari penelitiannya. Lihat Na‘.m al-Himsh., Fikrah, h. 281
‘Abd al-Razz.q Nawfal, al-I‘j.z al-‘Adad. li al-Qur’.n al-Kar.m, (Beirut: D.r al-Kit.b al-’Arab., 1983), cet. ke-3, h. 2
Ibid.
Shihab, Mukjizat, h. 140-143. Kelima kategori yang disebut Shihab adalah keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya; keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan sinonim atau kata yang dikandungnya; keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya; keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya; dan keseimbangan khusus.
Kategori terakhir ini, menurut hemat penulis tidak menjadi bagian dalam rumus keseimbangan, meskipun termasuk penemuan Nawfal. Karena, perbandingan antara dua bilangan angka tidak dapat dikatakan seimbang jika kedua bilangan tersebut berbeda. Apabila yang ditunjuk seperti perbandingan antara angka 57 dan 114 (sama dengan 1 : 2 ), maka hal itu merupakan keterhubungan dalam bilangan semata. Jelasnya, satu dan dua tidak dapat dianggap sama atau seimbang, tetapi satu dikali dua sama dengan dua.
Nawfal, al-I‘j.z, h. 2. Nawfal tidak membedakan terminologi al-‘adad (bilangan) dan al-his.b (hitungan). Dengan demikian, kalaupun digunakan istilah al-his.b tidak dianggap salah.
Ibid.
Nawfal, al-I‘j.z, h. 2
Kata al-syayth.n dan al-mal.’ikah (dalam bentuk ma‘rifah dengan alif-l.m) disebut sebanyak 68, sedangkan kata turunan dari syayth.n (baik dalam bentuk jamak [syay.th.n], dan bentuk nakirah [syayth.n(an)]) berjumlah 20, sama dengan bilangan kata malak, mal.’ikatahu, malak(an), dan malakayn
Kedua kata tersebut tanpa beserta kata turunannya.
Dua kata ini disebutkan secara bersama-sama dalam tiga belas ayat yang sama.
Nawfal, al-I‘j.z, h. 251
8 Nawfal, al-I‘j.z, h. 49-50. Dalam penjelasannya, seringkali Nawfal menyebutkan perbedaan-perbedaan penggunaan kata dalam al-Qur’an berdasarkan dham.r muttashil, nakirah-ma‘rifah, i‘r.b atau harakah-nya.Contoh : لعنهم - لعنة – الملعونة - ملعونين- اللا عنون - لعنتي – لعنا – لعن – لعنهما- نلعن – لعناهم – لعنا- لعنت – لعن – لعنوا - يلعنهم - يلعن – لعنه -. Ibid, h. 46-48.
Cara penghitungan atau pengelompokan kata seperti ini hampir sama dengan cara yang dilakukan oleh M. Fu’.d ‘Abd al-B.q. dalam kitab al-Mu‘jam. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam al-Mu‘jam digunakan kategorisasi lafal-lafal dalam al-Qur’an berdasarkan perubahan-perubahan bentuk kata dan penggunaannya dalam ayat-ayat. Lihat. Fu’.d ‘Abd al-B.q., al-Mu‘jam al-Mufahras li Alf.zh al-Qur’.n al-Kar.m, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.)
Nawfal, al-I‘j.z, h. 42
Ibid., h. 77-78
Nawfal, al-I‘j.z, h. 91
Contoh-contoh ini dapat dilihat dalam ibid, h. 137-155, 182, dan 246. Dalam penjelasan Nawfal, keterangan mengenai status isytiq.q (derivasi) dari suatu kata disebutkan dalam uraian pada masing-masing kata. Namun, pada contoh-contoh kata yang disebutkan dalam karya tulis ini tidak mesti ditulis statusnya
Nawfal, al-I‘j.z, h. 166
Ibid., h. 168
Ibid., h. 168 -169
al-Najd., al-Qur’an, h. 73
Ibid.
Hal ini termasuk dalam contoh metode takhsh.sh untuk mencari hal-hal khusus dari objek yang diteliti
al-Najd., al-Qur’an, h. 81-82
Kedua belas tempat tersebut adalah Qs. al-A‘r.f:187, al-Tawbah: 117, Y.nus: 45, al-Hijr: 85, al-Kahf: 21, Maryam: 75, Th.h.: 15, al-Anbiy.’: 49, al-Mu’min.n: 7, al-Furq.n: 11 (2), al-Ahz.b: 23, 63, al-Mu’min: 40, al-Sy.r.: 17,18, al-Zukhruf: 43, al-Dukh.n: 32, al-J.tsiyah: 32, al-Ahq.f: 35, Muhammad: 18, al-Qamar: 46 (2), al-N.zi‘.t: 42
Jumlah 34 rakaat tersebut jika shalat sunat fajar (subuh) dihitung 2 rakaat, 8 rakaat shalat sunat zuhur, 8 rakaat shalat sunat asar, 4 rakaat shalat sunat maghrib, dan sunat isya dipandang satu rakaat dari dua rakaat dengan satu duduk, ditambah dengan 11 rakaat sunat malam. Al-Najd. menyatakan: “Semua itu merupakan karunia Allah yang membuktikan secara jelas kebenaran mazhab fiqh yang memandang bahwa bilangan shalat sunat sehari semalam 34 rakaat.” Tetapi ia tidak menjelaskan mazhab yang dimaksud
Bilangan ini tidak menghitung basuhan untuk kaki. Hal ini dimungkinkan dalam salah satu qir.’ah atau penafsiran atas ayat tentang wudhu, yakni kaki termasuk bagian yang diusap. Lihat poin selanjutnya
Di antara nabi/rasul terdapat lima orang dari kalangan rasul yang tergolong ul. al-‘azm , yaitu memiliki keutamaan sabar yang luar biasa), yakni: Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw
Tidak jelas alasan perolehan bilangan nama dalam iq.mah dan tasyahhud ini, sebagaiman tidak jelas bacaan yang dimaksud olehnya. Bagi kalangan sunn., nama Muhammad terdapat satu kali dalam iq.mah, dua kali dalam tasyahhud awwal, dan tiga kali dalam tasyahhud akhir (bagian bacaan wajib), dan totalnya sebanyak enam kali.
Syi‘ah pada mulanya adalah golongan pendukung ‘Ali ibn Abi Thalib pada saat perselisihan dengan Mu‘awiyah ibn Abi Sufyan. Di antara paham dalam Syi‘ah adalah pengakuan kepada 12 khalifah setelah Nabi Muhammad, dan di antara sekte Syi‘ah yang terkenal dengan paham ini adalah Imamiyyah.
Menurutnya al-Najdi, jumlah ini sama dengan jumlah Nuqaba’ bani Isra’il, dan jumlah Hawari Isa as. Lihat al-Najdi, al-Qur’an, h. 98
Disarikan dari al-Najdi, al-Qur’an, h. 98-142. Dari kata-kata ini dikenal istilah seperti: imam, khalifah, washi, ma‘shum, syuhada’, mushthafa, mujtaba, dan sebagainya.
Kata ini berkaitan secara khusus dengan para syuhad.’ Allah swt., selain para Nabi, dan mereka adalah orang-orang yang bersaksi di hadapan Allah atas para hamba-hambanya di hari kiamat dan hari tegaknya kesaksian. Jadi, maksud kata syuhad.’ ini, bukanlah orang yang terbunuh di jalan Allah.
Yang dimaksud dengan surga ialah yang ditetapkan Allah bagi orang-orang yang benar, bukan surga dunia seperti dalam firman Allah: “Sesungguhnya Kami uji mereka sebagaimana Kami uji penghuni-penghuni surga… (Qs. al-Qalam/68: 17). Surga yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah surga dunia. Selain dalam ayat ini, surga yang dimaksudkan adalah surga yang ditetapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang saleh
Kata ishthaf. ini dalam pengertian legitimasi Allah swt kepada orang-orang pilihan dari dan atau bagi makhluk-Nya. Pengertian ini didasarkan pada Qs. Fathir: 31-32. Yang dimaksud dengan s.biq bi al-khayr.t (orang yang lebih dulu berbuat baik) adalah imam yang dipilih dan diwarisi kitab oleh Allah; muqtashid adalah orang yang konsisten dengan kebijaksanaan imam; sedangkan zh.lim li nafsih adalah orang yang keluar dari jalur imam.
Yang dimaksud oleh al-Najd. dalam hal ini adalah jumlah para penguasa sesat yang sesuai dengan jumlah penguasa penguasa hingga datangnya masa al-Ghaybah al-Kubr.-nya al-Mahd. pada tahun 329 H. (Ia tidak menyebutkan ketiga puluh tujuh penguasa yang dimaksud). Jumlah tersebut juga sesuai dengan tahun wafatnya ‘Al. al-S.mir., wakil (n.’ib) Imam Mahd. yang paling akhir. Lihat al-Najd., al-Qur’an, h.128
Keanehan dari model ini, kata-kata sulth.n yang pada umumnya mengandung makna bukti mukjizat, keterangan, kekuatan, dan kekuasaan, menjadi penguat adanya 37 penguasa yang sesat atau mempunyai persamaan sifat dengan nif.q (munafik), dengan alasan kesamaan jumlah penyebutan
Al-Najd., al-Qur’an, h. 98-99
Rosman Lubis, Keajaiban Angka 11 dalam al-Qur’an, (Jakarta: PT. Pustaka Pelajar, 2000), cet.ke-1, h. 2-3
Khalifa menjelaskan bahwa angka kunci 19 bemakna keesaan Allah dengan kata w.hid (esa) dilihat dari nilai numerik huruf–huruf w.w, alif, h.’ dan d.l, yaitu: 6, 1, 8, 4 dengan total 19. Lihat Khalifa, Quran, h. 243
Lubis, Keajaiban, h. 3
Ibid., h. viii
Di dalamnya termasuk penghitungan terhadap iqra’, nomor surat dan jumlah ayat; surat dengan jumlah ayat 11/kelipatan 11/unsur 11.
Nomor urut berarti menggunakan bilangan bertingkat (ordinal number), seperti ke-1, ke-2, dan ke-10. sedangkan nilai numerik menggunakan bilangan biasa (cardinal number), seperti 1, 2, dan 10. Lubis melakukan penjumlahan hanya melihat simbol angka yang terlihat, tanpa melihat kedudukan atau substansi dari bilangan tersebut. Bilangan cardinal dengan ordinal tentunya tidak mempunyai status yang sama, sehingga keduanya tidak dapat dijumlahkan. Misalnya, mungkinkah terjadi: kesatu (ke-1) ditambah satu (1) menghasilkan angka tertentu?
Lihat lebih lanjut dalam uraian tentang numerologi/gematria (bab IV).
Lubis menghitung huruf hamzah yang ditulis ( أ, ؤ , ئ ) dengan dua huruf (hamzah dan alif/waw/ya’), padahal cara menulis hamzah adalah seperti demikian. Misalnya seperti dalam menghitung nilai numerik kata al-mu’min dan al-b.ri’. Lihat Lubis, Keajaiban, h. 165-166.
Selengkapnya lihat ibid., h. 6-14. Terdapat kejanggalan dalam pengklasifikasian surat-surat al-Qur’an ini—yang tidak disebut sumbernya, atau memang dibuat oleh Lubis sendiri—antara lain: pada kelompok nama nabi, terdapat 6 nama nabi saja yang menjadi nama surat, namun masih harus ditambah surat al-Anbiy.’, untuk menghasilkan total surat yang bernilai angka 11, padahal surat ini dapat masuk dalam kategori lain: nama manusia/golongan/julukan. Selain itu, kategori nama manusia/golongan/julukan dan nama suku/bangsa merupakan kategorisasi yang tumpang tindih karena terdapat surat yang mempunyai kemungkinan masuk dalam dua kategori ini, seperti al-Sh.ff.t (bersaf-saf), al-Zumar (rombongan), al-Shaff (barisan) yang bisa masuk kategori pertama, serta al-Ahz.b (golongan yang bersekutu) dan al-Ins.n (manusia) yang bisa masuk kategori kedua. Cara seperti ini memungkinkan untuk tukar-menukar tempat untuk mendapatkan angka yang diinginkan
Lihat Lubis, Keajaiban, h. 15-18. dalam kasus penghitungan 26 surat ini hanya dicari surat yang jumlah ayatnya adalah 11/kelipatan 11/unsur 11, dengan mengabaikan nomor suratnya. Untuk mendapatkan angka 11, ia melakukan cara perkalian/kelipatan 11, dan pemampatan terhadap jumlah ayat dalam tiap surat. Meskipun total dari nomor-nomor surat dapat dimampatkan menjadi 11, namun total dari jumlah ayat dari 26 surat ini bukan kelipatan 11 atau dapat dimampatkan menjadi 11, yaitu 2088. Dengan demikian, tidak setiap jalur yang dimaksud menampakkan konsistensi angka 11, tetapi hanya bagian-bagian tertentu saja.
Lihat ibid., h. 19-29.
Tidak dijelaskan alasan pengambilan huruf dari empat kata tersebut.
Misalnya pula, dalam kelompok 11 ayat pertama (Qs. al-F.tihah: 1-7 ditambah Qs. al-Baqarah: 1-4) huruf alif dihitungnya sebanyak 78 buah—termasuk hamzah yang ditulis dengan alif—dan hanya ada 2 huruf hamzah (yaitu dalam lafal yu’min.n yang diulang dua kali). Dengan demikian, ketika tidak membedakan antara huruf alif dan hamzah (yang ditulis dengan alif), Lubis justru menghitung hamzah yang ditulis dengan waw dan hamzah ( ؤ ) secara terpisah. Lihat ibid., h. 44-47
Lubis, Keajaiban, h. 103-106
Lihat Lubis, Keajaiban, h. 18 dan 213. Meskipun Lubis menyebutnya sebagai mushaf ‘utsm.n., tetapi dalam catatan kaki dan daftar pustaka disebutkan bahwa mushaf tersebut adalah al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya, diterbitkan oleh CV. Toha Putra, Semarang, dan al-Qur’an dan Terjemahnya, diterbitkan oleh Departemen Agama RI. Kedua mushaf al-Qur’an ini mewakili contoh mushaf yang disesuaikan dengan standar Indonesia sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI nomor 25 tahun 1984, tanggal 29 Maret 1984, atau disebut mushaf standar Indonesia.
Disarikan dari penghitungan Rosman Lubis dalam Keajaiban Angka 11 dalam al-Qur’an
Lubis, Keajaiban, h. 226. Dari kombinasi ini dikatakan terdapat 12 huruf, padahal seharusnya 13. Huruf-huruf yang disebutkan adalah:ا, ل , ه , ج , ب , ر , ي , ق , ن , م , ح , د . ia tidak menghitung hamzah (ء) yang terdapat dalam kata al-Qur’an karena hamzah ditulis dengan alif (القران).
Penjumlahan antar digit (dari awal hingga akhir) seperti itu disebut dengan teknik pemampatan.
Untuk penghitungan angka-angka hingga ratusan digit, digunakan cara manual yang, menurut Lubis, lebih praktis dan mudah, selain dengan bantuan komputer. Misalnya, angka: 234567894 dibagi 11. Penghitungan dimulai dari angka 23 dibagi 11 hasilnya 2 sisa 1. Angka 2 ditulis tepat di bawah angka 3, sedangkan angka 1 ditulis di atas angka 3, menjadi :
1
2 3
2
Selanjutnya, angka sisa 1 digabung dengan angka berikutnya ( 4 ) menjadi 14 dan dibagi 11 hasilnya 1 sisa 3. Angka 1 ditulis dibawah angka 4 dan angka 3 di atasnya, begitu seterusnya hingga diperoleh hasil seperti berikut:
1 3 2 4 3 5 4 0
2 3 4 5 6 7 8 9 4
2 1 3 2 4 3 5 4
Angka baris bawah, 21324354 adalah hasil dari pembagian ini. Dengan sisa angka 0 bahwa angka 234567894 habis dibagi 11. Lihat Lubis, Keajaiban, h. ix