WELCOME

selamat datang wahai para pencari tuhan, kami akan membantu anda memasuki dunia yang penuh warna...

Selasa, 20 Juli 2010

KEADILAN TUHAN


A. Pendahuluan
Di antara sifat-sifat Tuhan, keadilan itu sangatlah penting sehingga banyak sifat lainnya bermuara ke situ. Keadilan dalam pengertiannya “meletakkan segala sesuatu pada tempatnya”, maka sifat-sifat yang lain seperti Maha Bijaksana, Maha Pengasih, Maha penyayang serta sifat yang lain semua tergantung pada sifat adil.
Dalam kenyataannya manusia tidak menyalahkan Tuhan dalam kehidupannya ketika ada problema yang terjadi pada dirinya baik berupa fisik yang tidak normal ataupun batin yang kurang bersahabat. Mereka lebih memilih mengoreksi pribadinya dari pada menyalahkan Tuhan, kerena manusia sejatinya sudah tahu bahwa Tuhan Maha Adil dan Tuhan akan menepati janji-Nya.
Terlepas dari keadilan Tuhan, keadilan sendiri memang sudah menjadi pokok penting dan ini bisa dibuktikan baik secara pribadi maupun kelompok bahkan dalam skala besar sekalipun, karena kesemuanya mempunyai hak yang sejatinya ingin hidup dengan tenang. Tangan, kaki, hidung, mata, hati, perut dan kesemua anggota badan mempunyai hak yang kebutuhannya berbeda satu dengan yang lainnya, dan jangan sekali-kali mendholimi.
Pemahaman keadilan sangatlah perlu agar dalam penerapannya tidak ada yang dirugikan. Dengan pemahaman yang baik seseorang bisa mengontrol diri sendiri untuk bisa berbuat dan menyikapi masalah dengan sangat baik tanpa ada rasa gejolak dalam hati. Dalam ruang lingkup yang kecil saja sudah berbahaya apalagi menyangkut prioritas yang besar seperti halnya pemerintahan.
B. Pengertian[1]
Secara etimologis kata keadilan atau adil berasal dari bahasa Arab adala ya’dilu adlan yang artinya sama karena bentuknya serapan. Sedangkan secara terminologis adalah sikap yang berpihak kepada yang benar, tidak memihak salah satunya, tidak berat sebelah sedang secara garis besar pengertian adil mengandung dua makna yang berbeda.
1. Pengertian secara umum, seperti telah diketahui,”menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.” Dengan kata lain dalam keadaan seimbang. Pengertian adil dalam hal ini berlaku atas segala sesuatu ciptaan di dunia ini. Sehingga tidak ada ketimpangan, contohnya dalam hidup berkeluarga seorang ayah harus bisa bersikap adil misalnya memberi uang belanja atas istri dan anak-anaknya. Dengan bersikap adil maka tidak akan ada kecemburuan sosial dalam keluarga.
2. Arti lain adalah mengikuti hak-hak individual. Lawannya lalim atau zalim dalam pengertian mengambil hak seseorang dan memberinya kepada orang lain secara ekslusif; berbuat diskriminasi, dalam pengertian bahwa sebagian orang diberi hak-haknya sedang yang lainnya tidak.
Perlu dipahami adil beda dengan sama, dengan kata lain seseorang harus adil bukan berarti harus menyamaratakan. Memang dewasa ini keadilan sering dikacaukan dengan kesamaan, sehingga keadilan seakan dijuruskan kepada pengertian bahwa adil itu harus sama padahal hakikatnya tidak begitu, adil berdiri sendiri sedang sama berdiri sendiri juga.
Persamaan bukan merupakan syarat bagi keadilan. Yang harus dipertimbangkan ialah hak-hak dan prioritas. Misalnya keadilan dalam suatu kelas di sekolah bukan berarti bahwa semua murid harus mendapat angka evaluasi belajar yang sama namun hal itu ditentukan oleh sekeras apa seorang murid itu belajar sehingga mempunyai pengetahuan dan kecakapan yang luar biasa. Begitu juga keadilan bagi pekerja bukan berarti mereka mendapat gaji yang sama namun mereka dinilai sesuai dengan pekerjaan dan kegiatannya.
Keadilan terletak pada kenyataan bahwa setiap makhluq menerima hak-haknya sebanding dengan kemampuan dan kebutuhannya.
C. Latar belakang
Sejarah menuturkan bahwa pembahasan teologi dimulai pada pertengahan abad pertama Hijri, dan persoalan “keterpaksaan dan kebebasan” merupakan persoalan teologi yang paling klasik. Pada mulanya, pembehasan “keterpaksaan dan kebebasan” hanya berkisar pada pokok persoalan manusia, tetapi selanjutnya berkisar juga pada pokok persoalan Tuhan dan alam. Sepanjang tema kajian kita berkenaan dengan manusia seperti halnya apakah manusia itu bebas atau tidak ? dll, maka yang demikian itu terkategorikan dalam persoalan ketuhanan. Selanjutnya, apabila pembahasan tersebut menyangkut hukum sebab-akibat (kausalitas) dan menyangkut faktor alamiah yang lain, maka persoalan tersebut adalah persoalan kosmologis.[2]
Pembahasan mengenai “keterpaksaan dan kebebasan” dengan sendirinya akan mengantar kita pada kajian tentang keadilan. Dari satu segi, ada hubungan langsung antara kebebasan dan keadilan; dan pada sisi yang lain antara keterpaksaan dan ketidakadilan. Artinya ketika manusia itu bebas memilih, maka pahala dan siksa akan memiliki konsep dan makna yang penting. Sedangkan manusia yang kehendaknya dipasung dan kebebasannya dirampas, atau yang keinginannya berlawanan dengan kehendak tuhan atau dengan faktor-faktor alamiah, adalah orang-orang yang kedua tangannya terbelenggu dan kedua matanya tertutup sehingga taklif (perintah Allah SWT yang wajib kita laksanakan) menjadi tidak bermakna.
Dari akar itulah para teolog muslim berbeda pendapat dalam memahami keadilan dalam artian keadilan Tuhan dalam pembahasannya perkembangan dari perbedaan sebelumnya tentang “keterpaksaan dan kebebasan” dan mengenai “kekuatan akal, fungsi wahyu”.
D. Keadilan Tuhan
Paham keadilan Tuhan banyak bergantung pada paham kebebasan manusia dan paham sebaliknya, yaitu kekuasaan mutlak Tuhan.[3]Dari berbagai literatur yang ada yang diungkap oleh para teolog hanya berkisar, apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat? Ataukah manusia itu terpaksa saja?. Perbedaan pandangan terhadap bebasa tidaknya manusia ini menyebabkan perbedaan penerapan tentang makna keadilan.
Aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan manusia cendrung memahami keadilan tuhan dari sudut kepentingan manusia. Sedangkan aliran kalam tradisional yang memberi tekanan ketidakbebasan manusia di tengah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, cendrung memahami keadilan Tuhan dari sudut Tuhan sebagai pemilik alam semesta.[4]Di samping faktor-faktor di atas, perbedaan aliran-aliran kalam dalam persoalan ini didasari pula oleh perbedaan pemahaman terhadap kekuatan akal dan fungsi wahyu.
1. Mu’tazilah
mu’tazilah yang berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa keadilan memiliki hakikat tersendiri, sepanjang Allah SWT itu Maha Bijak dan Maha Adil, maka ia akan melaksanakan perbuatannya menurut kriteria keadilan.[5] Dan tidak mungkin Allah swt berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya itu untuk menanggung akibat perbuatanya. Dengan demikian manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaan sedikitpun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah manusia dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberi pahala atau siksa kepada hamba-Nya tanpa mengiringinya dengan memberi kebebasan terlebih dahulu.
Selanjutnya sebagaimana dijelaskan oleh Abd Jabbar, keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan memberi seseorang akan haknya kata-kata Tuhan Adil mengandung arti bahwa Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuataan-Nya adalah baik. Hal seperti ini mengharuskan ketidakbolehan sifat zalim dalam menghukum bagi Allah seperti halnya memberi beban yang terpikul serta memberi upah pahala kepada yang tidak patuh. Dengan kata lain, Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah, mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri buat diri-Nya.[6]
Selanjutnya keadilan juga mengandung arti berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia, dan memberi upah atau hukuman kepada manusia sejajar dengan corak perbuatannya. Menurut al-Nazzam, tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan berdaya untuk bersifat zalim, berdusta, dan untuk tidak berbuat apa yang terbaik bagi manusia.
Kaum Mu’tazilah juga berargumen bahwa semua makhluk lainnya diciptakan Tuhan demi kepentingan manusia. Artinya manusia yang berakal sempurna, kalau berbuat sesuatu , mesti mempunyai tujuan. Manusia yang demikian berbuat atau untuk kepentingannya sendiri ataupun untuk kepentingan orang lain. Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tetapi karena Tuhan Maha Suci dari sifat berbuat untuk kepentingan diri sendiri, perbuatan-perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan Mawjud lain, selain Tuhan. Berdasarkan argumen ini kaum Mu’tazilah berkeyakinan, bahwa wujud ini diciptakan untuk manusia, sebagai makhluk tertinggi, dan oleh karena itu mereka mempunyai kecendrungan untuk melihat segala-galannya dari sudut kepentingan manusia.[7]
Ayat-ayat Alquran yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapanya adalah ayat 47 surat Al-Anbiya’, ayat 54 surat Yasin, ayat 46 surat Fushshilat, ayat 40 surat An-Nisa’ dan ayat 49 surat Al-Kahfi.
Ayat-ayat tersebut dalam pandangan Mu’tazilah sebagaimana dijelaskan oleh Abd Jabbar, mengandung makna keadilan Tuhan. Ayat 47 surat Al-Anbiya’ beliau tafsiri bahwa Tuhan tidak akan menganiaya seseorang sedikitpun, tidak menahan hak seseorang walau sedikit, dan ia mempergunakan neraca dengan adil untuk melakukan perhitungan dengan cermat. Sementara hamka menafsiri bahwa semua amalan yang baik walaupun sebesar zarrah akan kelihatan juga, dan amalan yang buruk sebesar zarrah pun akan kellihatan juga. Hamka juga mengatakan, salah satu sifat Tuhan adalah sifat adil, oleh sebab itu Tuhan tidak mempunyai kepentingan untuk berbuat aniaya.
Keadaan Tuhan tidak melakukan aniaya terhadap hamba-Nya, menurut Hamka, memberi jaminan bahwa Tuhan akan selamanya berlaku adil kepada hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu, tidaklah perlu khawatir bahwa kebaikan yang diperbuat selama di dunia tidak akan mendapatkan ganjaran dari tuhan bahkan seberat zarrah pun tidaklah manusia akan dirugikan.[8]
2. Asy’ariyah
Asy’ariyah berpendapat bahwa sifat adil bersumber dari perbuatan Allah SWT, dari segi bahwa keadilan merupakan perbuatan Allah SWT. Mereka berpendapat bahwa suatu perbuatan pada dasarnya tidak adil, juga tidak zalim. Setiap perbuatan menjadi adil apabila perbuatan tersebut adalah perbuatan Allah SWT, di samping tidak ada pelaku perbuatan selain Allah, baik dengan cara berdiri sendiri maupun dengan cara yang lainnya.[9]Dengan demikian bahwa setiap perbuatan yang merupakan perbuatan Allah adalah perbuatan adil; dan tidak setiap perbuatan adil adalah perbuatan Allah SWT. Oleh karena itu , keadilan bukanlah tolak ukur untuk perbuatan Allah, melainkan perbuatan Allahlah yang menjadi tolak ukur keadilan.
Demikian juga kaum Asy’ariyah, karena pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, mereka menolak paham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu. Tuhan berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan buka karena kepentingan manusia atau tujuan lain.[10]Mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluq-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya.[11]Maka mereka mengatakan ketidakadilan Tuhan justru terletak ketika Tuhan tidak dapat berbuat sehendak-Nya.
Ayat-ayat yang menjadi sandaran Asy’ariyah banyak diambil tentang penjelasan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dikerenakan timbulnya paham keadilan tuhan bermuara dari permasalahan tersebut. Seperti halnya ayat 16 surat Al-Buruj, ayat 99 surat Yunus, ayat 31 surat As-Sajadah, ayat 112 surat Al-An’am dan ayat 253 surat Al-Baqarah.
Dari paham tersebut dapat kita pahami bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah kalau memasukkan manusia ke dalam surga dan tidaklah bersifat zalim jika Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Perbuatan salah dantidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum, maka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak pernah bertentanaga dengan hukum. Dengan demikian Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil.
Hal ini sesuai dengan pendapat Al-Ghazali yang mengatakan bahwa ketidakadilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar hak orang lain dan jika seseorang harus berbuat sesuai dengan perintah dan kemudian melanggar perintah itu; perbuatan yang demikian tidak mungkin ada pada Tuhan.[12]Oleh karena itu,Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak, dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dengan makhluq-Nya.
3. Maturidiyah
Sedangkan Maturidiyah dalam pandangannya terbagi menjadi dua. Pertama, Maturidiyah Samarkand, kelompok ini condong sama pendapatnya dengan kaum Mu’tazilah dikarenakan mereka menganut paham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan tetapi kekuatan akal dan batasan yang di berikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil daripada yang diberikan kaum Mu’tazilah.[13]
Dalam pendapatnya, kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukum karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim. Tuhan akan memberi upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatanya.
Yang kedua, Maturidiyah Bukhara, mereka mempunyai sikap yang sama dengan Asy’ariyah. Menurut Al-Bazdawi, tidak ada tujuan yang mendorong untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak hati-Nya.[14] Ini berarti, bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain konsep keadilan tuhan bukan di letakkan umtuk kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.
Jika dalam soal keadilan ini kaum Mu’tazilah dan Maturidi Samarkand tidak menghadapi dilema, kaum Asy’ariah sebaliknya, dihadapkan dengan persoalan yang sulit. Karena dalam paham meraka perbuatan pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan, maka Tuhan akan bersifat tidak adil, bahkan zalim, jika memberi hukuman kepada seseorang atas kejahatan yang terpaksa ia lakukan atau lebih tegas lagi atas kejahatan yang pada hakikatnya bukanlah perbuatannya. Untuk mengatasi kesulitan ini, kaum Asy’ariyah mengubah definisi yang biasa dipakai untuk keadilan, sehingga keadilan dalam paham ini sesuai dengan teori mereka yaitu tentang al-kasb dan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Sedang bagi Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand, persoalan demikian tidak timbul karena bagi mereka perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan tetapi perbuatan manusia sendiri. Jadi manusia bukan dihukum karena paksaan tetapi kerana kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Dan bagi maturidiyah Bukhara, karena sepaham dengan Asy’ariyah, persoalan itu pada dasarnya ada, tetapi paham masyi’ah dan rida’ membebaskan golongan Maturidiyah Bukhara dari persoalan ini. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sungguhpun manusia, dalam paham Maturidiyah Bukhara, berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi perbuatan tersebut tidak diridha’i Tuhan. Karena menetang ridha Tuhan, tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan bersiaft tidak adil kalau Ia memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat.[15]
E. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan tentang keadilan Tuhan dapat ditarik beberapa poin yang dianggap penting antara lain.
Ø Paham keadilan Tuhan merupakan perkembangan dari pemikiran tentang kehendak dan kekuasaan Tuhan, dan lembaran baru atas perbedaan-perbedaan pandangan para teolog dari paham sebelumnya. Semisal perbedaan tentang kekuatan akal, fungsi wahyu, kebebasan manusia dan kehendak Tuhan.
Ø Keadilan paham Mu’tazilah adalah keadilan Raja Konstitutional, yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum, walaupun hukum tersebut adalah buatannya sendiri. Ia mengeluarkan hukuman sesuai dengan hukum dan bukan dengan sewenang-wenang.
Ø Keadilan dalam paham Asy’ariyah adalah keadilan Raja Absolut, yang memberi hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu kekuasaan, kecuali kekuasaannya sendiri.
Ø Kaum Maturidiyah Bukhara mengambil posisi lebih dekat kepada posisi Asy’ariyah, sedangkan Maturidiyah Samarkand mengambil posisi lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution Harun, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 2008.
Rozak Abdul, Anwar Rosihon, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2009.
Muthahhari Murthadho, Keadilan Ilahi (terj) Al-‘Adl Al-Ilhiy, Mizan, Bandung, 1992.
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Penamadani, Jakarta, 1990.
Makarim Syirazi Nashir, Belajar Mudah tentang Allah SWT, kenabian, Keadilan Ilahi, kepemimpinan, Hari Akhir (trj) Lessons about Allah, Prophet, Justice, Imamate, Resurrection, Lentera, Jakarta, 2000.


[1] Nashir Makarim Syirazi, Belajar Mudah tentang Allah SWT, kenabian, Keadilan Ilahi, kepemimpinan, Hari Akhir (trj) Lessons about Allah, Prophet, Justice, Imamate, Resurrection, (Jakarta: Lentera, 2000) h 111
[2] Murthadho Muthahhari, Keadilan Ilahi (terj) Al-‘Adl Al-Ilhiy, ( Bandung : Mizan, 1992) h 16
[3] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta : Ui Pres,2008) h. 123
[4] Yusuf Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, ( Jakarta : Penamadani, 1990) h.93
[5] Murthadho Muthahhari, Keadilan Ilahi (terj) Al-‘Adl Al-Ilhiy, ( Bandung : Mizan, 1992) h
[6] Yusuf Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, ( Jakarta : Penamadani, 1990) h.94
7 Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta : Ui Pres,2008) h. 123
[8] Yusuf Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, ( Jakarta : Penamadani, 1990) h.171
[9] Murthadho Muthahhari, Keadilan Ilahi (terj) Al-‘Adl Al-Ilhiy, ( Bandung : Mizan, 1992) h 48
[10] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta : Ui Pres,2008) h. 123
[11] Abd Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia,2009) h.184
[12] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta : Ui Pres,2008) h. 126
[13] Abd Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia,2009) h.184
[14] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta : Ui Pres,2008) h. 126
[15] Hasun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta : Ui Pres,2008) h. 127